Mohon tunggu...
Rina Agustina
Rina Agustina Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seorang guru SMK , bidang study Bahasa Inggris yang senang menulis . Saya senang menghasilkan karya tulis untuk mengilustrasikan dan mengantarkan rasa dalam fikiran dan perasaan saya. Mengukir kenangan yang tak akan pernah lekang , mewariskan ilmu dan pengalaman , berbagi cerita bersama rekan dan sesama pejuang pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

" Mengapa Aku Pergi ?"

27 Desember 2024   16:04 Diperbarui: 27 Desember 2024   16:04 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
                                                               (Sumber : Pinterest)

" Ibu..., Delia tidak ingin meninggalkan ibu, Delia sayang ibu ". Hendrawan mengais tangan Delia dan mengajak pulang. Delia berjalan keluar perlahan dengan langkah yang berat dan penuh keraguan.

 

Episode demi episode melintas dalam ingatan Delia menyatakan seluruh rangkaian peristiwa yang terjadi begitu singkat. Perjalanan pulang menuju Bogor saat ini, begitu panjang, lama, dan banyak menghabiskan energinya. Perasaannya saat ini seperti neraka bathin yang tak berujung, penyesalan begitu menghujam relung bathinnya, menyalahkan seseorangpun tak akan mengembalikan ibunda padanya.

desember-1-676e684ded641573895375c2.jpg
desember-1-676e684ded641573895375c2.jpg
                                                                                                                                                       ( Sumber ; Pinterest )

" Andai aku punya sayap, akan kurengkuh segera ibuku saat ini, andai aku ada di sisinya saat ini, andai aku tak ceroboh meninggalkannya kemarin ". Air mata Delia mengalir saat ini tak mampu mengembalikan ibunda yang kini sedang dikebumikan tepat jam 17.30 WIB. Delia berbisik .... " Ibu... aku merasakan ibu tenang menuju tempat terbaik menurut Allah. Allah SWT sangat menyayangi ibu , maka Allah memanggil ibu... , aku ikhlas melepas kepergian ibu.Penyesalan terdalam bagiku ketika aku tidak ditakdirkan untuk menemani kepergian ibu...maafkan anakmu yang lemah ini, ibu ....... Aku yakin ibu sangat memahami apa yang terjadi pada Delia sebenarnya, Delia yakin ibu meridhoi kekhilafan Delia, sekali lagi Delia memohon maaf ibu...., ibu..... selamat jalan.... Delia sayang ibu ". Delia tercenung dalam perjalanan panjang menuju kota kelahirannya ini, seolah tak percaya dengan yang terjadi, baru kemarin, tertekan perasaan bathin mencekam kemudian kejadian dasyat terjadi dan menimpanya.

Tubuh Delia dingin , tangannya sangat gemetar ketika akhirnya mereka tiba di depan rumah ibunda. Bendera kuning di depan rumah ibunda masih terpasang, suasana rumah kelabu, semua mata tertuju pada kedatangan Delia yang berjalan dengan mata kuyu menuju kamar ibunda. Di kamar itu Delia menangis sejadi jadinya. Delia berharap, ibunda ada terbaring di tempat tidurnya, namun kini tidak nampak ibunda. Delia melihat sekeliling kamar ibu, menatap gantungan baju di kamar itu, kini tidak ada baju ibu menggantung di sana. Tidak ada senyuman hangat menyambut kedatangan Delia seperti biasanya ibu lakukan bila Delia datang. Tidak ada lagi sapaan lembut ibundanya dengan bertanya tentang aktifitas Delia , Delia seperti ingin pergi bersama ibu saat itu.... kepala Delia merasa pusing, pandangan bekunang - kunang, dan tiba tiba gelap. Dalam kegelapan tidur Delia, Ibunda hadir mengenakan pakaian putih , ibunda tampak cantik bak bidadari muda yang datang menyapa Delia, Ibunda tidak berkata sepatah katapun... dalam mimpi Delia saat itu, Delia merasakan pelukan hangat ibunya hadir dan tangan ibunda menunjukan rumahnya saat ini. Delia melihat dengan jelas , rumah ibunda saat ini begitu luas, nyaman, tenang dan damai. Ibunda memberi isyarat bahwa ibunda akan pergi ke sana, tangan ibunda terlepas dari pelukan Delia dengan perlahan, dan..... ibunda berjalan dengan bahagia menuju tempat tersebut. Seketika.... tersadarlah Delia dari pingsannya, di sekitarnya, tampak saudara berkumpul, mereka menenangkan Delia, mencoba membujuk dan memberi perhatian pada Delia. Teh Marni bergegas membawakan Delia secangkir teh hangat ... setelah Delia merasa tenang, Delia memeluk erat teteh Marni dengan pelukan penuh penyesalan. Teh Marni berbisik di telinga Delia, " Delia, ibu juga sayang Delia, sebelum beliau meninggal, Ibu tersenyum karena ibu tahu kamu pergi ke Bandung , bukan karena keinginanmu. " . Delia tidak mampu berkata apapun , selain berderai air mata , mengalir deras dalam pelukan teteh kesayangannya.

Keesokan harinya, Delia bersama Hendrawan dan seluruh keluarga kembali berziarah kubur ibunda. Tanah merah bertabur bunga masih basah , wangi menyiratkan ketenangan ibunda beristirahat menghadap Ilahi Rabbi. Delia duduk bersimpuh di samping makam ibunda, memeluk tanah makam, memanjatkan do'a . Delia berbisik dalam hatinya... " Ibu... aku berjanji, akan selalu menemani ibu dengan do'a , aku berjanji akan melanjutkan kebaikan ibu selama ini, terima kasih ibu.... atas kasih sayang ibu pada Delia, maafkan anakmu ini .... " Al fatihah....".

 

Betapa sakitnya sebuah penyesalan terdalam, dan betapa berharganya sebuah momen yang tidak mungkin dapat tergantikan sampai kapanpun. . Bagi pembaca yang masih memiliki orang tua, khususnya ibu, jagalah ibunda, berbhaktilah dengan sepenuh hati, jangan sia siakan kesempatan untuk berbuat kebaikan ketika ibunda masih bersama kita. Allah masih memberi kesempatan bagi anda menikmati indahnya masa bercengkrama bersama ibunda. Berjuanglah untuk mencintai ibunda dengan sekuat tenaga yang mampu kita lakukan. Masa itu begitu singkat .... sangat singkat...maka, berbhaktilah pada ibunda.

Andai aku bisa...

Mengulang kembali...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun