Terinspirasi dari tayangan Kick Andy, Metro TV, Minggu, 24 April 2022, pk. 19.05 lalu, episode: Childfree, dan saya pribadi yang merasa sepaham sekaligus penasaran dengan hal tersebut, jadilah saya menulis blog ini. Juz sharing ya...review dan opini pribadi, yang mudah-mudahan bisa disikapi dengan positif, terbuka dan obyektif oleh para pembaca yang budiman. Semoga bermanfaat :)
Â
Menikah dan lalu mempunyai anak adalah fase dalam hidup yang rasanya sudah menjadi pakem...seharusnya...sewajarnya, apalagi di Indonesia. Anak adalah anugerah, salah satu sumber bahagia, penerus garis keturunan dan melestarikan keturunan. Maka tidak heran jika ada pasangan yang sudah lama menikah dan lalu tidak juga diberi anak, mereka rela mengusahakannya dengan berbagai cara. Agama mengatakan untuk "beranak cuculah, penuhilah bumi..." dan teknologi terkini semakin mendukung dan mempermudah untuk itu.
Namun dalam beberapa tahun terakhir banyak orang memutuskan untuk Childfree. Dan itu mulai menggeser pakem yang sudah ada tersebut. Childfree adalah keputusan untuk tidak memiliki anak dalam hidup. Bisa pasangan suami istri, bisa juga yang masih single secara sadar memutuskan begitu. Di luar negeri seperti di Eropa, Amerika dan Australia childfree sudah merupakan fenomena yang umum dan wajar. Sementara di Indonesia, slow but sure...
Kick Andy, Metro TV, Minggu, 24 April 2022, pk. 19.05, episode: Childfree. Dalam tayangan ini host Andy F. Noya (Bang Andy) didampingi oleh co host psikolog  Analisa Widyaningrum (Mbak Ana). Ada 3 narasumber yang dihadirkan: seorang wanita single, dan dua yang lain adalah pasangan suami istri muda. Sangat menarik :)
Narasumber pertama adalah Victoria Tunggono. Seorang wanita single, 38 tahun, penulis dan pengarang buku "Childfree and Happy". Tori (demikian dia biasa dipanggil) memutuskan untuk childfree bahkan sejak usia 14 tahun! What's wrong? Dikisahkan, ada sebuah kejadian di masa sekolah Tori pernah berdebat dan "menyerang" Mamanya secara frontal. Tidak diceritakan secara detail apa penyebabnya (Tori mengaku lupa...). Kejadian itu begitu membekas dalam pikiran Tori, sekaligus dia membayangkan jika berada di posisi Mamanya akan bagaimana. Mungkin sedih, marah...dan itu bukan perkara mudah! Pemikiran orang tua dan anak juga tidak selalu sejalan, yang mana jika dipaksakan tentu akan membawa dampak yang buruk bagi masing-masing. Dan Tori mengaku dulu saat remaja memang sering beda pendapat dengan Mamanya. Berangkat dari latar belakang inilah, Tori memutuskan untuk tidak ingin punya anak kelak. Dan sampai dengan usianya sekarang, keputusan itu tidak pernah berubah. "Kalau toh berubah, itu lebih pada alasan yang mendasarinya saja. Aku rasa, aku yang tidak siap (punya anak)," begitu jawabnya ketika ditanya Bang Andy.
Tori juga mengaku pernah pacaran 6-7x dan salah satu penyebab putusnya adalah karena keputusan childfree tersebut. Di saat pacar-pacarnya dulu mulai membayangkan, nanti kalau punya anak...bla...bla..., dia memilih mundur saja. Sekarang dia lagi tidak ada pacar tapi bukan berarti orientasi seksnya berubah. Tori tetap normal dan masih ingin menikah, hanya saja memang tidak ingin direpotkan dengan anak dalam rumah tangganya kelak.
Dia bahagia dengan keputusannya. Mamanya pun mendukung dan tidak terlalu kaget juga. Mungkin Tori juga beruntung dalam hal ini. Dia anak sulung dari tiga bersaudara (adiknya cowok dan cewek), adiknya yang cewek sudah menikah dan punya anak. Jadi sebenarnya keputusannya untuk childfee juga aman, setidaknya Mamanya sudah ada cucu :D "Momentnya dia pas banget memang," kata Mbak Ana menanggapi kisah Tori.
***
Narasumber kedua adalah pasangan suami istri muda, Paulus Partohap dan Gita Savitri. Paulus, 28 tahun adalah seorang penyanyi dan Gita, 29 tahun adalah seorang youtuber. Tinggal di Jerman dan cukup aktif sosmed membuat keputusan mereka untuk childfree menimbulkan banyak reaksi pro kontra dari para netizen. Nyatanya keputusan tersebut memang sudah mereka buat sejak masih pacaran. Masa pacaran mereka juga tidak bisa dibilang mudah, banyak tantangan seperti beda keyakinan dan restu orang tua masing-masing. Karena latar belakang tersebut, mereka hanya ingin fokus hidup berdua dengan bahagia tanpa ribet mengurus anak. Gita bahkan mengaku dari dulu memang tidak terlalu punya cita-cita menjadi seorang Ibu. Bagaimana dengan Paulus? "Anda kan laki-laki ya? Ini orang Batak kan harus ada kelanjutan marga?" tanya Bang Andy. Paulus membenarkan, apalagi dia anak pertama dalam keluarganya sekaligus jika dia punya anak, akan menjadi cucu pertama juga bagi orang tuanya. Tidak mudah bagi keluarga besar untuk menerima keputusan childfree ini. Alm. Papanya dulu sering menanyakan, "kapan?", "apa Gita sudah mengandung?" Sampai 2 tahun pernikahan masih selalu ada pertanyaan semacam itu. Untungnya Paulus punya dua orang adik yang bisa membantu menjelaskan ke orang tua, "Kebahagiaan Kak Paulus dan Kak Gita itu bisa jadi dari hal lain, bukan dari punya anak...," demikian. Dan pelan-pelan mereka mengerti, walau Mamanya belum 100% bisa menerima dan  berharap dia mengubah keputusan. "Kadang Mama masih bilang...ayo lah satu (anak) aja...," kata Paulus.
Menanggapi ini, Mbak Ana jadi penasaran. Kalau biasanya kebahagiaan orang yang sudah menikah adalah jika mempunyai anak, terlebih value seorang wanita adalah sempurna jika menjadi seorang Ibu. "Bagaimana dengan mereka ya, Bang?" katanya pada Bang Andy. Yang lalu juga ditambahkan, "Apa kalian pernah terpikir untuk adopsi anak?"
Menjawab pertanyaan tersebut, baik Paulus maupun Gita menjelaskan hal yang sama. Bahwa dengan hidup hanya berdua tanpa anak, bisa saling mengisi, ngobrol, cerita, melengkapi kekurangan masing-masing, itu sudah merupakan hal yang membahagiakan :D  Gita juga menambahkan bahwa stigma menikah dan lalu mempunyai anak sudah terlanjur melekat di benak masyarakat kita. "Ngapain lu nikah kalau nggak mau punya anak?!" begitu. Menurut Gita, kenapa tidak ditanya balik, "Kenapa harus punya anak? Memang nggak ada hal lain ya selain itu dalam pernikahan?" Mengingat juga bahwa mempunyai anak berarti seumur hidup harus mau untuk merawat, mendidik dan membesarkannya dengan kasih sayang. "Nggak mungkin kan...duh anak gue kok gini ya, udah gue kasih buat lu (orang lain) aja," kata Gita lagi.
Dan pada akhirnya hingga usia pernikahan 4 tahun ini Paulus dan Gita tetap teguh dengan keputusan untuk childfree, tidak ingin untuk adopsi. Keputusan ini juga bukan karena ada masalah kesehatan dalam diri mereka. Tapi memang sudah menjadi semacam prinsip dengan segala resiko yang sudah dipikirkan dengan matang. Mereka enjoy...mereka happy :)
***
Narasumber ketiga adalah pasangan suami istri, Muhammad Arief Maulana dan Citra Hayu. Mereka sudah menikah selama hampir 10 tahun. Ketika menikah Arief berusia 26 tahun dan Cibi (demikian dia biasa dipanggil) 23 tahun. Di usia yang relatif muda saat itu mereka sudah membicarakan soal chidfree. Arief yang lebih dulu mengatakan, "Aku mau menikah denganmu, ada tidak ada anak...tidak masalah." Bang Andy spontan bertanya, "Kenapa bisa terlontar begitu?" Arief menjelaskan bahwa pada umumnya saat pasangan menikah dan mempunyai anak, "beban" itu akan lebih banyak di pihak wanita (Ibu). Dia harus mengandung, melahirkan, keseharian akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan anak tersebut (suami mungkin sibuk bekerja). Karena itu terserah pihak wanita mau punya anak atau tidak.
Menurut Bang Andy, yang juga diiyakan oleh Mbak Ana pendapat Arief ini sungguh menarik. Karena biasanya soal anak selalu menjadi "tuntutan". Banyak pasangan yang ketika tidak juga punya anak, mereka saling menyalahkan dan lalu berakhir dengan perpisahan.
"Bagaimana dengan Cibi, apa punya konsepsi sendiri tentang perkawinan tanpa anak atau dipengaruhi oleh Arief dan pengalaman?" tanya Bang Andy. Cibi menjelaskan bahwa pengalaman masa lalu sempat membuatnya ingin punya anak. Suami pendiam dan dia butuh sesuatu (anak) untuk limpahan kasih sayang. Namun ketika Cibi bertemu Arief dan lalu diajak menikah semua jadi berubah. "Oh ternyata ada ya pria yang tidak melulu ingin anak. Ternyata bisa ya menikah seperti itu (=chidfree, istilah ini belum booming kala itu)," katanya. Ditambah lagi Arief yang tampak pendiam, ternyata bisa menjadi teman ngobrol dan cerita yang rame dan menyenangkan. "Saya bisa jadi diri saya sendiri, tanpa perlu jaim dengan dia," lanjutnya. "Tidak ada dusta di antara kalian ya," sahut Bang Andy lalu dilanjutkan dengan, "Bagaimana Anda bisa setuju dengan pemikiran Arief soal childfree, kan Anda bisa saja menolak?"
Ternyata Arief dan Cibi pacaran tidak terlalu lama. Sehingga awal menikah ingin lebih mengenal satu sama lain dulu. Faktor usia yang masih relatif muda dan merasa belum siap juga menjadi alasan untuk menunda punya anak. Namun seiring berjalannya waktu mereka enjoy hanya berdua, bahagia sebagai partner hidup dan yakin di tahun-tahun mendatang akan tetap seperti ini. Orang tua juga mendukung (ada rekaman video yang menampilkan Ibu masing-masing). Intinya mereka menganggap Arief dan Cibi sudah menikah, sudah dewasa dan apapun yang menjadi keputusan pasti sudah melalui pemikiran matang :)
Lebih lanjut Bang Andy menanyakan tentang masa lalu Arief dan Cibi, apakah mungkin ada pengalaman pahit nan traumatik yang mempengarui keputusan childfee? Ternyata sama sekali tidak ada. Mereka, terutama Arief tumbuh dalam kasih sayang keluarga yang normal dan hangat. Dan Cibi walau Ayahnya cukup keras dalam mendidik, tapi dia tidak pernah merasa ada kekerasan dalam hidupnya, baik fisik maupun verbal. Justru yang akhirnya menjadi pertimbangan untuk chidfree adalah rasa respek terhadap orang tua. "Orang tua saya sangat bagus dalam mendidik dan membesarkan saya dan adik-adik, jadi semua lah," kata Arief. Hal ini yang membuatnya bertanya pada diri sendiri, apakah dia punya kapasitas yang sama. "Jangan sampai ketika kita memutuskan punya anak, lalu ternyata tidak bisa mengurus kan kasihan anaknya. Saya juga takut tidak bisa menjadi orang tua yang baik dan sabar. Jadi mending nggak usah deh"
Secara psikologis "takut dan tidak siap punya anak" ini menurut Mbak Ana memang menjadi faktor pertimbangan ke-2 (by riset)Â untuk childfree. "Nah, saya jadi penasaran nih. Kan Arief menikahi Cibi...punya anak ayo, tidak juga ayo. Kalau di kemudian hari dia ingin punya anak, kan dirimu cinta dia ya. Atau mungkin Arief sendiri merasa sudah waktunya dan siap punya anak, gimana tuh? Karena banyak loh, Bang...pasangan-pasangan yang berubah pikiran...," tanya Mbak Ana yang juga diiyakan oleh Bang Andy. Menanggapi ini baik Arief dan Cibi, mereka sepakat bahwa untuk hari dan saat ini sudah di posisi mantap tidak ingin ada anak. Lebih memilih dan berat mempertahankan pernikahan. Kalau toh nanti kejadian, ya itu akan dibicarakan lagi.
"Itu kan rencanamu ya, tapi kita percaya ada kuasa yang lebih besar di atas sana. Kalau TUHAN menghendaki tiba-tiba di kemudian hari criingg...kalian dikasih anak, kalian akan melanjutkan atau bagaimana?" Bang Andy bertanya lebih lanjut. Lagi-lagi Arief mengatakan bahwa itu akan didiskusikan bersama. Sejauh ini dia dan Cibi berusaha melakukan pencegahan seoptimal mungkin supaya tidak punya anak. "Inti pertanyaan saya, kalau itu terjadi, kalian akan lanjutkan atau gugurkan (aborsi)?," tanya Bang Andy lagi yang kali ini membuat Arief dan Cibi rada speechless karena mereka belum terpikir sampai disitu :O :D
Pertanyaan terakhir (tidak sempat ditanyakan pada 2 narasumber sebelumnya) adalah soal warisan (legacy). Akan diwariskan ke siapa nanti?! Baik, Arief maupun Cibi ternyata sudah berpikir jauh untuk hari tua nanti, ketika pensiun dan jika telah tiada. Mereka berencana untuk menyumbangkan sebagian besar harta mereka ke beberapa yayasan, khususnya yang bergerak di bidang lingkungan hidup. Tidak terbatas harta, tapi di dalam tubuh jika sehat dan bisa didonorkan, ya sudah (tujuan sosial). Sungguh keputusan menarik sekaligus mulia dan mereka yakin bahwa keluarga bisa mengerti, bahwa banyak orang di luar sana yang lebih membutuhkan legacy mereka :)
***
Dari kisah-kisah para narasumber di atas, Mbak Ana memberi kesimpulan dan perspektif nya. Bahwa keputusan childfree dalam hidup adalah keputusan yang sangat personal. Bukan perkara benar atau salah, tidak untuk dibanding-bandingkan juga dengan yang punya anak 1,2,3, dst...karena pasti tidak akan nyambung. Dia juga menambahkan, di negara-negara maju, warga yang merasa tidak mapan secara finansial apalagi miskin, mereka sadar diri untuk tidak usah punya anak (childfree). Karena logikanya "mau dikasih makan apa nanti anakku?!". Sementara di Indonesia justru warga miskin malah banyak anak. Banyak anak banyak rezeki :O :( Jadi memang banyak sekali faktor yang mempengaruhi untuk childfree atau tidak. Semua kembali pada hati nurani dan bagaimana masing-masing individu memaknai bahagia dalam hidupnya :)
Di awal tulisan ini, saya pribadi mengatakan tentang sepaham...pro dengan childfree. Walau belum sampai pada keputusan final, tapi makin kesini saya makin setuju. Childree is not bad for me :)  Yaa...ada kemiripan saya dengan narasumber pertama. Sama-sama sulung dari tiga bersaudara, dengan adik cowok dan cewek. Dan adik yang cewek juga sudah menikah dan punya anak hehehe...Bedanya hanya pada alasannya saja.
Kalau Tori di usia 14 tahun sudah memutuskan childfree, saya jelas belum kepikir di usia segitu. Masih senang-senangnya sekolah dan gaul. Saya baru pacaran serius di usia 22 tahun dan ingin menikah di usia 25 atau maksimal 27 tahun. Bermimpi di usia 30 tahun jadi ibu rumah tangga saja, hidup bahagia mengurus suami dan anak :) Nyatanya di usia 25 tahun saya malah putus pacaran. Lalu entah mungkin sudah jalanNYA, setahun berikutnya pindah ke Jakarta...ibukota yang mengubah hidup saya dalam banyak hal. Mulai dari pola pikir, karir, pergaulan dan pada akhirnya juga mempengaruhi pandangan saya terhadap pernikahan dan punya anak.
Ketika target menikah di usia 25, 27, 30 tahun lewat...saya sempat mikir, 'what's wrong with me?' Apalagi ketika melihat begitu banyak teman sebaya yang sudah pada menikah dan punya anak. Saya sempat merasakan syndrom dan stressnya, belum lagi pertanyaan "kapan?" dari orang-orang yang menurut saya hanya memancing emosi, tidak solutif (copas istilah Bu Tejo di film "Tilik" hehehe...). Thanks GOD, saya tinggal di Jakarta, banyak teman single senasib sepenanggungan. Saya juga cukup gaul dan banyak ikut kegiatan dan komunitas...hal-hal yang menyibukkan sekaligus menghibur hati. Single happy setidaknya sampai usia 30 tahun lewat...
But life has other plan for me...Usia 35 tahun mungkin menjadi titik balik saya dalam hidup. Saya memutuskan back for good to Malang menjelang usia itu. Keputusan yang tidak mudah yang sudah melalui pertimbangan dan perhitungan resikonya. Saya pernah berdoa untuk tidak lagi kerja kantoran, berhenti menjadi wanita karir di usia 35 tahun dan itu dikabulkan TUHAN. Lalu saya menjadi independent property agent dengan jalan yang dimudahkanNYA :) Namun di usia 35 tahun pula saya juga sempat down ketika adik saya yang cewek (bungsu) menikah lebih dulu. Ego saya sebagai anak pertama saat itu meronta 'aku yang biasanya selalu yang pertama hampir di semua hal, untuk pertama kalinya tidak akan menjadi yang pertama (menikah)!' Saya belajar ikhlas dan tidak mau menjadi penghalang kebahagiaan adik saya. Dan ketika akhirnya hari itu datang dan terlampaui, ehh...kok ternyata tidak seburuk yang dibayangkan ya :D Saya mulai santai, lebih cuek, masih tetap ingin menikah. Tapi yaa...gimana mau nikah wong pergaulan makin terbatas?! Sejak di Malang saya juga tidak segaul waktu di Jakarta. Sudah malas dan lelah juga sih. Merasa sudah lewat masanya...
Lalu bagaimana dengan mempunyai anak? Saya tentu memikirkannya walau jujur, saya bukan pecinta anak-anak dan itu sudah terasa sejak saya masih kecil. Kalau suka pun saya milih-milih, lebih suka anak cowok atau anak kembar :D Cuma suka dan lihat saja, bukan ngajak main lucu-lucuan gitu...saya nggak telaten! Tapi...saya pernah sih ingin punya anak kembar, lucu dan praktis kali ya...sekali jalan pas lahiran :P Â Saya juga sudah punya nama untuk calon anak-anak saya kelak, nama cowok dan cewek hehehe...Dan itu sempat saya bicarakan dengan seorang teman dekat pria, di usia 30 an. Sudah sejauh itu...
Ketika adik saya yang cewek menikah dan mempunyai anak, hidup saya ikut berubah juga. Keponakan saya itu cowok, ganteng, lucu, ndut, nggemesin dan ngangenin. Entahlah, mungkin naluri keibuan saya terusik...saya bahagia jika bersamanya :) Saya nggak pernah bisa marah, diajak main apapun saya selalu mau...saya nggak bisa egois dengan anak ini. Begitu yang saya rasakan dalam lima tahun ini, dia selalu sukses mengalihkan dunia saya :D
Di sisi lain, keberadaan keponakan juga mungkin mendatangkan rasa aman juga buat saya. Aman dari "kewajiban" menikah dan lalu memberi cucu ke orang tua, dalam hal ini ke Mami saya (Papi saya sudah meninggal 11 tahun lalu). Saya sempat membicarakan juga hal ini ke Mami dan Thanks GOD, beliau fine-fine saja. Saya bersyukur dari dulu orang tua saya memang tidak pernah menarget anak-anaknya harus begini begitu dalam hal apapun :) Tapi ketika saya membahas persoalan ini dengan beberapa teman sebaya, reaksinya pro kontra. Kala itu usia saya sudah menjelang 40 tahun...
"Jangan ngomong gitu ke Mama lu lah, Rin...kasihan, namanya ortu gimana-gimana pasti pengen cucu...," kata seorang teman. Saya cuma mbatin, 'Terus yang kasihan ama gue siapa? Lu enak ngomong gitu karena udah nikah. Lah gue?' (realita yang terjadi, teman saya ini baru punya anak setelah 9 tahun menikah)
Lalu ketika saya ada kesempatan ke Jakarta, saya ketemu seorang teman dan kami membahas tentang pernikahan dan anak. Kami sama-sama sulung dari tiga bersaudara dengan adik cewek dan cowok dan mereka menikah lebih dulu.  "Gue sekarang santai, Rin. Adik-adik gue sudah married semua, tinggal gue doang...baru juga pacaran setahun, nggak narget mesti nikah kapan lah gue. Lagian ya, umur kita segini mau married sekarang atau tahun depan juga nggak ada bedanya." Saya yang mendengarkan hanya mengiyakan, mencoba mencerna juga kata-katanya. "Umur sekita ini juga mau punya anak umur berapa coba? Kalo langsung dikasih anak mah enak, lah kalo nggak? Umur kita ntar lewat 40, makin tua...makin resiko juga," dia menambahkan. Dan kata-kata teman saya ini lumayan masuk, saya pikir dia ada benarnya juga...
Lalu saya mencoba jujur pada diri sendiri lagi seperti, 'aku masih ingin nikah nggak sih?', 'masih perlu kah?, 'kira-kira aku nanti nikah nggak ya? ama siapa?', 'ingin punya anak nggak?' Self questions ini saya jawab dalam hati, saya pertimbangkan dengan melihat realita yang terjadi pada saya. Pada akhirnya hidup harus bahagia dan bermanfaat kan? Dan itu bukan melulu karena menikah dan mempunyai anak, ada begitu banyak cara...kembali ke masing-masing individu. Saya tak hendak munafik, saya masih ingin menikah suatu hari nanti. Namun seiring waktu dan usia saya yang kini sudah 40 something, saya pasrah 'nikah syukur, nggak nikah juga nggak papa yang penting happy' . Dan kalau TUHAN ijinkan saya menikah pun, tujuannya lebih pada teman hidup, spend the rest of life together. Soal punya anak atau tidak, kayaknya kok mending tidak ya hehehe...Saya nggak yakin bisa ngurus anak dengan baik, lagipula juga dengan usia sekarang, saya nggak mau take a risk...mesti sadar diri juga walau saya tidak ada masalah kesehatan dan normal, Â tapi tiap wanita itu punya masa expired (menopause). Saya tidak takut sendiri di hari tua. Saya bisa masuk panti jompo, ketemu teman-teman senasib sambil tetap bisa berkarya disana. As simple as that...dan saya mengimani bahwa TUHAN itu baik dan pasti akan memelihara saya dengan caraNYA nanti :)
Thanks GOD! Thanks Kick Andy, Metro TV. Episode : Childfree sungguh mengena, terasa gue banget dan memberi wawasan buat saya. Bahwa tidak menjadi Ibu itu bukan masalah besar, bukan berarti tidak punya value. Kita (saya) tetap bisa menjadi orang yang berguna dengan apa yang dimiliki. So, enjoy! Tetap semangat :)
notes : ditulis di Malang dari awal Mei 2022 dan baru selesai menjelang akhir bulan hehehe...Nulisnya campur-campur, ketik-ketik di hp dan laptop, di sela-sela kesibukan kerja yang begitu hectic dan melelahkan. Senang sekali akhirnya selesai juga blog ini :D Thanks GOD!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H