Sepait kopi pada cangkir cokelat ukiran belanda pesanan temanku, kurasa memang pilihan terbaik saat ini adalah kita harus berpisah. Banyak sekali kacau disana-sini dan kita butuh lebih dari sekedar waktu untuk saling membenahi. Meski kekurangan itu selalu ada, aku tetap yakin pada kemampuan diri untuk membuat semua setidaknya menjadi selangkah lebih baik.
Kau dan aku tak boleh bertemu untuk waktu yang lama. Sekedar berpapasan pada persimpangan cerita, aku rasa tak apa jika tanpa sengaja. Namun, setelah itu kau dan aku harus sama-sama pergi lagi. Kau dan aku sama-sama tak ingin bersembunyi pada rasa yang belum pantas untuk disandingkan, bukan?
Pekat malam makin membuat resah. Namun, kau dan aku akan selalu baik-baik saja. Entah ketika berpisah kemudian cerita kita diperbaiki oleh seorang yang lain untuk sementara, tak apa selagi itu baik, bukan? Biarkan kita sama-sama mencari bahagia dan luka untuk menyempurnakan apa yang masih kurang. Tak perlu khawatir pada utuhnya rasa.
Ia akan tetap sama ketika kita memang ditakdirkan untuk saling membahagiakan. Tuhan tak akan memberi porsi bahagia lebih banyak pada seseorang yang tidak bertugas membahagiakan.
Cangkir putih berisi teh hijau pesananku sudah dingin tercampur lamunanku. Aku diam-diam berencana. Ya, Kau dan aku tetap boleh merencanakan temu lagi---tapi nanti. Ketika kita sudah sama-sama pantas. Ketika kita sudah benar-benar siap saling membahagiakan dan siap berhenti melukai hati sendiri ataupun hati orang lain. Tepat pada tempat dan rasa yang sama.
Malang, 30 November 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H