Ia pun akhirnya mantap bersyahadat dan sejak saat itu berbeda agama dengan keempat anaknya. Namun, ia tak pernah memaksakan anaknya mengikutinya. Begitu juga anak-anaknya yang cukup melihat mamanya bahagia usai menjadi Muslim sudah cukup bagi mereka.
Pelajaran dari Mama Elly
Aku sebagai ibu tiga anak, tentu saja menahan haru mendengar kisahnya ditinggal suami. Ia yang segala dilayani tiba-tiba harus "melayani".
Selain Mama Elly, sebenarnya banyak kisah mirip di luar sana. Kondisi yang tiba-tiba unpredictable. Itulah mengapa perempuan itu harus berdaya buat aku.Â
Ketika tiba-tiba ada situasi tak terduga entah suami sakit, meninggal, atau seperti Mama Elly terjadi (na'udzubillahi min dzalik, semoga kita semua dijauhkan dari keburukan tersebut), tidak hanya mental tapi finansial juga siap. Ketika seorang ibu yang tiba-tiba menjadi single fighter untuk anak-anaknya.
Mama Elly ini adalah teladan. Ia tak depresi dengan hantaman yang menggencetnya. Ia juga membuktikan anak broken home, bisa sukses dan harmonis hubungan dalam keluarganya.
Aku jadi teringat kembali ucapan Bu Retno Marsudi dalam sebuah wawancara (aku lupa nama acaranya), intinya orang tua Bu Retno berpesan kepada suaminya saat itu, agar memberi kesempatan Bu Retno berkembang.Â
Bahwa perempuan itu bukan hanya identik dengan masak (memasak), macak (berhias), dan manak (melahirkan). Dan, Bu Retno siapa yang mengingkari pencapaiannya untuk negeri ini.
Sayangnya, masih ada anggapan oleh suami yang jika istrinya bekerja atau mempunyai penghasilan lebih tinggi darinya katanya akan membuat harga dirinya jatuh.Â
Menurut aku sebenarnya bukan masalah penghasilan tinggi siapa tapi kesempatan untuk perempuan berdaya dan mandiri. Meskipun digarisbawahi baik suami dan istri bertanggung jawab atas hak dan kewajiban masing-masing. Komitmen dan komunikasi.