Mohon tunggu...
Rina Darma
Rina Darma Mohon Tunggu... Penulis - Ibu Rumah Tangga

Happy Gardening || Happy Reading || Happy Writing || Happy Knitting^^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepenggal Kisah Ketangguhan dari Anggrek Merpati

26 September 2023   05:27 Diperbarui: 26 September 2023   05:42 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku merona ketika akhirnya dia kembali menghampiri. Semenjak ia pergi tak ada lagi yang berbincang dengan kami. Kami hanyalah objek pemercantik halaman. Bahkan tak sedikit obsesi. 

Tapi aku tahu ini tak akan lama, karena segera pasti dia akan mengucapkan sampai jumpa lagi. Dan, sesudah itu kalau kata pujangga setelah sekian purnama, dia baru akan menyapa lagi seperti hari ini.

Lelaki itu, kalau aku boleh membencinya. Dia mengambilnya dari pemilik rumah ini. Dia telah merenggut sahabat dariku. Bolehkah aku menyebutnya sahabat. Itulah istilah yang digunakan manusia menyebut sesuatu yang lebih dari sekedar teman.

Aku kehilangan banyak rahasianya. Dahulu, aku adalah kepercayaannya. Tapi kini, dia membagi kisahnya dengan makhluk asing yang bahkan tak pernah melirik sedikit pun terhadap kami.

"Kenapa sih dia harus berjumpa dengannya?" gerutuku. "Kalau boleh aku meminta, tetaplah tinggal di sini bersama kami semua yang kamu tumbuhkan dengan cinta."

"Anggrek, ikut denganku ya. Temani aku di tanah asing," segala yang aku pikirkan barusan ambyar. Tak hanya merona, kalau kata manusia kepalaku ikut membesar. Betapa beruntungnya aku, dia memilihku menemaninya. 

***

Hawa di sini begitu panas. Sejauh mata memandang hanyalah atap-atap rumah. Aku pun tak leluasa menjangkarkan akarku ke batang pohon. Sebagai gantinya, aku diberi media tanah dengan batu-batu. Oh, aku masih tak masalah.

"Maafkan aku ya, di sini tak seperti di rumah, tak ada pohon yang bisa menjadi inangmu," katanya suatu ketika.

Melihat senyum di bibirnya setiap pagi menyapa aku dan kawan-kawan baruku pun aku sudah sumringah. Tapi, senyum itu perlahan hilang. Ia lebih sering dan nampak sekali banyak pikiran. Sudah kubilang dari sebelumnya, kalau saja ia tak bertemu lelaki yang perasaannya entah tertinggal dimana itu. Mungkin senyumnya itu tak akan pernah pudar.

Di kota pegunungan ini, aku lebih banyak melihatnya menangis. Sesekali dia cerita padaku. Namun, karena permasalahan yang merundungnya, dia kerap mengabaikan kami. Seoalah kami tak ada, hanya hilir mudik sembari komat-kamit. Panjatan doa kepada Maha Kuasa. Puncaknya, ketika dia malah memindahkanku ke tanah.

Aku berteriak, "Hei, cantik... Kamu itu kenapa? Aku itu epifit... kenapa ditanam di tanah yang malah terus disirami dengan air. Akar-akarku mulai busuk..."

Tapi, entah apa yang menutup telinganya.

Aku mencoba terus bertahan, meski batang-batangku mulai keriput. Daun-daunku layu mengerut. Akarku satu per satu membusuk. Rimpang tempat ku bersandar pun mulai kisut. Aku takut seperti lagi aku tak akan pernah melihatnya lagi.

"Apapun masalah yang menimpa kamu semoga Tuhan segera mencabutnya."

***

Anggrek Merpati (Dendrobium crumenatum) - Dokumentasi pribadi
Anggrek Merpati (Dendrobium crumenatum) - Dokumentasi pribadi

Mentari begitu hangat. Hujan yang belum kunjung datang membuatku bertahan dari serangan organisme tanah yang akan mempercepat pembusukanku. Si cantik merentangkan kedua tangannya. Wajahnya menghadap sang seroja. Senyumnya manis sekali. Senyum yang lama tak kulihat itu akhirnya kembali merekah.

Matahari itu kembali bersinar. Usai sekian lama awan menutupinya. Matahari, kadang aku begitu memanggilnya. Karena aku tahu, dia suka sekali dengan matahari.

Aku terus menatapnya. Kedua tangannya meraih pot dimana aku berada. Raut mukanya menampakkan penyesalan. Akhirnya, dia menyadari kalau aku hampir mati.

Aku suka belaiannya. Penuh hati-hati, ia memindahkanku. Entah berapa kali, ia mengucapkan permintaan maaf. Campuran batu alam, humus, dan batu bata merah. Dia memilih media itu untuk mengganti pohon, habitat dimana aku seharusnya.

"Semoga ini lebih baik ya. Semoga aku segera bisa memberikan rumah yang nyaman bagimu dan yang lain ya," katanya.

Pagi ini, dia kembali menengokku. Aku rasa dia telah kembali ke dirinya yang lama. Meski gurat beban itu masih ada di mukanya. Otot-ototnya belum lepas. Semangat dan optimis itu, itulah yang aku suka darinya. Sejak dulu pertama mengenalnya.

"Anggrek merpati, terima kasih telah bertahan. Dendrobium crumenatum."

Dia mengibaratkan dirinya sepertiku. Mampu bertahan bahkan dalam kondisi terburuk sekalipun. Senyumnya merekah dan dia begitu bahagia ketika aku menghadiahinya, sekuntum bunga anggrek merpati berwarna putih. Bunga yang aku simpan di ambang keputusasaan. Dia terus menciumiku, memotretku, dan mengatakan aku begitu cantik. Sampai akhirnya, ia paham makna yang ingin aku sampaikan.

"Aku akan kembali mekar begitu cantik sepertimu!"

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun