Ibaratnya, ya kalau tuh anak sukses, kalau engga berguna gimana? Apalagi mengurus anak itu tidak mudah dan murah. Belum lagi waktu yang terbuang. Nah, setelah komunikasi dengan suaminya, mereka pun memilih childfree dan dipublikasikan ke publik.
Secara pribadi, aku tidak mempermasalahkan keputusannya. Aku berpikir dia seorang intelek, yang tinggal di negara Eropa, jadi mungkin sedikit banyak pemikirannya jadi terpengaruh. Tapi balik lagi ya itu urusan dia.
Kalau aku sendiri, sampai istilah ini booming pun tidak pernah kepikiran childfree. Apalagi sampai menyesal memiliki anak. Aku hanya ingat pesan ibu aku dulu, jangan buru-buru menikah, kenyangin dulu masa muda (waktu single).Â
Jadi pas sudah menikah engga mikir "aneh-aneh" karena sudah kenyang dolan (mungkin maksudnya pengalaman dan jalan-jalan). Dan, itu benar.
Contohnya, saat suami ke luar kota atau lihat teman posting traveling, ya aku sudah pernah dan ya aku biasa-biasa aja bukan yang terus baper ngambek minta jalan-jalan.Â
Bukan berarti tidak pernah piknik juga ya. Tapi, lebih ke tahu diri dan porsinya. Begitu juga soal mental, berbekal pengalaman seperti pernah bekerja, bertemu banyak orang tentu secara emosi kita lebih baik saat menghadapi polah para bocah. Begitu juga saat menghadapi drama rumah tangga.
Caraku Menghadapi Ketakutan
Sekarang aku sudah memiliki tiga anak. Punya ketakutan seperti Kakak di atas? Jujur, iya... Tapi, bagaimana aku menyikapi ketakutan ini. Dulu bosku pernah berkata, ketakutan itu monster yang kita ciptakan sendiri. Jadi ya jangan diciptakan.
Orang tua mana yang tidak ingin anaknya berkarakter dan sukses. Orang tua mana yang tidak khawatir berada di dunia digital ini. Melahirkan generasi sandwich yang serba instan dan tanpa batas ini.
Ketakutan Anak Tidak Berkarakter
Kembali lagi saat masih sekolah dulu, kita ini dididik sebagai "problem solver" bukan pembuat masalah. Aku takut anakku tidak berkarakter jadi aku memasukkan anak aku ke sekolah swasta dengan porsi mata pelajaran agama lebih banyak.Â