Awal bulan mulia tidak berbarengan di Indonesia disebabkan karena perbedaan pendekatan dalam penentuan 1 Ramadhan. Kalender Islam menggunakan peredaran bulan pada bumi atau kalender lunar. Tahun 1 Hijriah ditentukan berdasarkan hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah pada 622 Masehi. Sedangkan penanggalan Masehi merujuk pada pergerakan matahari atau kalender solar yang dimulai pukul 12 malam. Setiap tahunnya ada selisih 11-12 hari antara penanggalan tersebut dengan jumlah hari hijriah 354 atau 355 hari.
Perbedaan pendekatan penentuan hilal atau bulan sabit pertama yang teramati bada magrib sebagai penanda bulan baru inilah yang menyebabkan bisa terjadinya ketidaksamaan tanggal 1 Ramadhan. Metode menentukan awal bulan ada dua, yaitu rukyat dan hisab. Rukyatul melalui mekanisme pemantauan hilal di lapangan sedangkan hisab melalui perhitungan ilmu falak atau astronomi.
Jauh hari Muhammadiyah sudah menentukan jatuhnya 1 Ramadhan pada 2 April 2022. Penetapan tersebut merunut hasil hisab hakiki wujudul hilal. Muhammadiyah menilai bahwa Jumat 1 April 2022, ijtimak jelang Ramadhan 1443 H terjadi pukul 13:27:13 WIB.
NU menggunakan metode rukyatul hilal memperkirakan bahwa posisi hilal pada Jumat 1 April 2022 sedikit diatas standar imnakur rukyah (kemungkinan melihat hilal). Konjungsi atau ijtimak bulan terjadi pada pukul 13:25:54 WIB. Jika hilal tidak terlihat, bulan Syaban secara otomatis digenapkan menjadi 30 hari dan awal Ramadhan jatuh pada Minggu 3 April 2022.
Pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) tahun ini menggunakan standar baru dalam menentukan awal bulan Hijriah yang mengacu pada MABIMS 2021 (Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura). Kriteria baru MABISM yaitu ketinggian hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Sebelumnya berpedoman dengan ketinggian 2 derajat, elongasi 3 derajat, dan umur bulan 8 jam. Berdasarkan sidang isybat 2022 yang dilaksanakan Jumat 1 April 2022, awal Ramadhan atau umat Islam mulai berpuasa ditetapkan pada Minggu 3 April 2022.
Begitu pulang kerja dan mendengarkan hasil sidang isybat, suami langsung berkata, "Ayang, besok (Sabtu) Puasa?". Aku pun balik bertanya, "Ayang, puasa minggu?"
Pertanyaan retoris sebenarnya. Kami sudah tahu jawaban masing-masing.
Lalu bagaimana dengan keluarga besarku dan keluarga besarnya. Tidak masalah juga. Ketika mudik ke kampung halamanku dan suami memilih sholat Idul Fitri bersama NU ya tidak apa-apa. Karena kebetulan, mirip di novel, di kampungku juga ada masjid Muhammadiyah dan NU. Bedanya, jika di "Kambing dan Hujan" hanya ada dua masjid itu, di desaku justru ada satu lagi masjid LDII.
Bagi kami berdua, Islam itu agama yang mudah. Namun, terkadang pemeluknya sendiri yang memperumitnya. Sebagaimana Hadits Riwayat Al --Bukhari dari Abu Hurairah, Islam itu baik, indah, dan mudah. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia sendiri akan dikalahkan (semakin berat dan sulit)...".
Kunci bagi kami adalah keterbukaan, komunikasi, dan saling menghargai perasaan masing-masing. Sebab, setelah menikah, ridho Allah SWT tergantung ridho suami. Apa yang aku kerjakan berdasarkan keikhlasan suami. Bukankah, kami satu tujuan membentuk keluarga sakinah, mawadah, dan warohmah. Karena, kebenaran hanyalah milik Allah SWT.
Marhaban ya Ramadhan...