Jangan dikira Halimun yang dijadikan judul novel ini adalah nama gunung. Halimun berarti kabut. Sama halnya isi novel ini menyingkap prasangka-prasangka dari tokoh utama, Cahaya Maharani.
Kalimantan adalah impiannya sedari kecil. Makin menggebu sejak SMA. Ia penasaran dengan pulau berjuluk paru-paru dunia itu. Cahaya yang akrab disapa Aya ingin sekali menginjakkan kaki ke tugu khatulistiwa. Monument nol derajat di Kota Pontianak.
Ia tetap nekad berangkat begitu dinyatakan diterima kerja di salah satu perkebunan di sana. Melawan berbagai prasangka dan mitos yang selama ini didengarnya tentang Borneo. Pulau terbesar ketiga di dunia yang menyimpan sejuta misteri. Tentang penduduknya, tentang alamnya, tentang budayanya, dan kemistisannya.
Aya pergi dengan begitu gembiranya menyambutnya mimpinya yang jadi nyata. Sebuah perasaan yang bertolak belakang dengan kegundahan sang ibunda. Ia serasa burung lepas dari sangkar. Akhirnya, ia "keluar" juga dari rumah yang selama ini diidam-idamkannya. Sementara sang ibu tak ada yang lebih membuatnya bahagia kecuali melihat kebuncahan sang anak.
Latar Belakang Pembuatan Novel
Karya Hanum Salsabila Rais yang berjudul "99 Cahaya di Langit Eropa" menginspirasi pembuatan novel ini. Jika Hanum menemukan cahayanya saat di Eropa, Aya mendapatkan suluh ketika di Borneo. Kesamaan keduanya adalah saat menjadi minoritas.Â
Namun, saat menjadi minoritas itulah keduanya menemukan arti kebersamaan dan toleransi. Jika Hanum menjelajah Eropa saat berkesempatan mendampingi suami di Eropa, Aya bertualang di Kalimantan Barat ketika bekerja di sana.
Setting di novel ini hampir semua sudah dikunjungi secara langsung oleh penulis. Dari Kalimantan secara umum mengerucut ke Kalimantan Barat semakin mengecil ke Landak, sebuah kabupaten pemekaran dari kabupaten Pontianak. Di Landak, penulis melalui Aya berkesempatan menjelajah lebih dalam ke Sengah Temila, Menjalin, Raba, Pahauman, Darit, Sompak hingga ke ibu kota Ngabang.
Awalnya novel ini ditulis sebagai kenangan penulis pernah mengunjungi daerah-daerah tersebut dengan rekontruksi cerita secara fiksi. Berbeda dengan kisah Hanum yang merupakan karya nonfiksi dengan tokoh utama adalah penulisnya sendiri.
Sementara pesan yang ingin disampaikan novel ini secara keseluruhan adalah jangan termakan mitos terlebih di era hoak seperti saat ini dengan fanatisme sempit, kedaerahan, dan mengunggulkan kesukuan.Â
Indonesia merupakan negara kaya memiliki beragam suku, agama, serta bahasa yang dikisahkan di novel ini dimana rekan kerja Aya berasal dari suku yang berbeda-beda. Dengan semangat bhinneka tunggal ika mereka saling membaur dalam kebersamaan dan toleransi yang kuat.
Selain itu, penulis juga ingin menggambarkan kemegahan hutan hujan tropis di Kalimantan. Paru-paru dunia yang selayaknya terus dilestarikan namun terancam ekspansi perubahan tata guna lahan. Dalam aspek keluarga, Aya akhirnya menyadari bagaimanapun ia ingin pergi sejauh mungkin, rumah adalah tempat untuk pulang.
Kekurangan Novel Halimun
Novel setebal 204 halaman ini ditulis dengan sudut pandang orang ketiga, namun rasanya hanya diari seorang Cahaya. Tokoh pendukung lainnya belum memiliki karakter kuat karena tokoh Aya sebagai tokoh utama dianggap terlalu dominan.
Di awal cerita, novel ini detail namun penulis tidak konsisten karena terburu-buru menamatkan cerita. Karenanya, novel ini menjadi seperti kehilangan detail yang menjadi kekuatan di awal cerita.
PenghargaanÂ
Novel ini seperti kata pembaca, mencoba melihat sisi lain Borneo yang tak semua orang tahu diganjar menjadi salah satu pemenang favorit dalam Publisher Searching for Authors (PSA) yang diadakan oleh Penerbit Grasindo tahun 2014.
Apa Kalian sudah membaca novel ini? Bagaimana kesan pesannya?^^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H