Setiap saya mengusulkan agar seluruh biaya dari persiapan hingga panen dicatat, agar terlihat untung ruginya, mereka menjawab ya kalau dihitung pasti rugi. Belum tenaga sendiri jika dihitung. Apa mereka kapok? Tidak.Â
Saat ini banyak lahan pertanian di daerah saya yang beralih fungsi dari menjadi pabrik dari gudang hingga operasional dan perumahan.Â
Rasanya tak ada yang gigih mempertahankannya menjadi lahan pertanian. Karena memang menjadi petani "tradisional" itu tak menggiurkan.Â
Gambaran Petani Milenial 4.0
Saya pernah membaca kicauan dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengenai lowongan menjadi petani milenial.Â
Darah petani dalam tubuh mendorong saya untuk meng-klik informasi tersebut. Petani terpilih akan diberi akses permodalan, pendampingan hingga pemasaran asal mau ditempatkan di desa. Begitu singkatnya.
Enak sekali, begitu pikir saya. Tapi apa ada yang mau tinggal di desa? Generasi milenial sangat mengutamakan teknologi digital. Tapi kalau tidak di desa memang ada lahan pertanian yang cukup di kota?
Namun ternyata animo milenial Jabar mengikuti program ini tergolong tinggi. Dikutip dari laman jabarprov.go.id jumlah pendaftar mencapai 8.998 orang.Â
Pada gelombang pertama tersebut yang lolos seleksi 2.240 orang. Program pertanian tersebut mencakup juga bidang peternakan, perikanan, dan perkebunan. Kick off dilakukan pada Jumat, 25 Mei 2021 di Desa Sunten Jaya, Kabupaten Bandung Barat.
Apa yang diberikan dalam program petani milenial sangat menarik. Namun, menurut saya jika bertani masih mengandalkan tenaga manusia saya rasa cukup sulit untuk menarik milenial berkecimpung di sektor pertanian.Â
Berkaca dari apa yang dilakukan petani tradisional, dari persiapan lahan hingga panen masih didominasi tenaga manusia.Â
Saat pengolahan tanah menggunakan traktor itu pun masih dioperasikan manusia sehingga manusia harus ikut berkeliling memutari sawah dengan mengendalikan traktor.Â