petani milenial tapi anak petani tradisional. Kalau ditanya apakah mau meneruskan profesi orang tua?Â
Saya bukanJika saya menjawab iya, maka saya akan menjadi petani tapi bukan petani saja, namun dengan embel-embel milenial. Sehingga, saya akan disebut petani milenial. Sebab, usia saya masih dalam rentang generasi milenial.
Dengan saya memutuskan merantau usai kuliah sudah menunjukkan apa jawaban saya. Jangankan saya, orang tua pun tak menyarankan jadi petani. Jadi petani (tradisional) itu berat!
Berangkat pagi, lantas dibakar terik mentari. Rehat saat tengah hari. Pergi lagi saat matahari mulai bergerak di angka dua, kadang sebelumnya. Menikmati senja di alam terbuka. Terlelap setelah isya. Esok. Begitu lagi siklusnya.
Apakah cita-cita bapak menjadi petani? Saya rasa tidak. Awalnya itu adalah "keterpaksaan" karena ketiga anak-anaknya mulai sekolah makin tinggi.Â
Ia butuh sampingan dari pekerjaan utamanya untuk menafkahi keluarga. Mulai dari petani penggarap lahan hingga layak disebut petani. Sekarang, usai pensiun bapak mengabdikan dirinya untuk sawah.
Dalam ingatan saya sewaktu masih kecil, bapak dan ibu jarang mengeluh soal sawah. Kami anaknya tidak tahu masalah orang tua.Â
Saat kami ikut ke sawah sepulang sekolah, yang saya tahu hanya senang-senang alias bermain.Â
Tugas kami hanya membantu menyebar benih jagung atau kacang dan saat panen cabe. Pekerjaan yang ringan saja. Isinya kami hanya bercanda.
Belakangan, mereka mulai mengeluh cari tenaga kerja susah. Tenaga kerja sekarang "ngregani" alias sudah mematok harga.Â