Mohon tunggu...
Pangrango
Pangrango Mohon Tunggu... Penulis - Ibu Rumah Tangga

Happy Gardening || Happy Reading || Happy Writing || Happy Knitting^^

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Ditikung Sahabat, Haruskah Memaafkan?

22 Mei 2020   23:22 Diperbarui: 22 Mei 2020   23:22 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Saling Bermaafan (Foto: Koleksi Pribadi)

Sakitnya tuh di sini, di dalam hatiku...

Masa ABG adalah masa ababil, masa cinta monyet. Masa tepe-tepe alias tebar pesona. Masa persahabatan. Masa penuh khayalan tingkat tinggi.

Saat di bangku SMP, aku pernah naksir seorang cowok yang juga teman sekelas. Aku pun kerap berbagi cerita pada teman sebangkuku yang bagi banyak orang kami adalah sahabat.

Hubunganku dengan si cowok bisa dibilang cukup dekat. Karena kami memiliki grup band favorit yang sama, TIPE-X. Kami kerap bertukar lirik lagu. Saat itu tidak semudah sekarang, tinggal klik di google langsung muncul bait-bait lirik lagunya.

Waktu aku remaja, masih zaman kaset dan belum familiar dengan VCD/DVD, apalagi kami adalah anak desa. Kaset saja tidak banyak yang punya. Untuk bisa mendapatkan lirik lagu ya mendengarkan radio lalu mencatatnya. Rajin ya???

Dari selembar kertas itulah cinta monyet mulai bertumbuh. Namun, monyetnya keburu lompat ga jadi deh cinta-cintaannya. Suatu ketika, aku diberitahu temanku, kalau teman sebangkuku itu "nembak" cowok yang aku taksir. Padahal aku hanya bisa diam-diam memendam rasa, karena memegang prinsip cowok harus duluan mengungkapkan perasaan, eh teman sebangkuku itu mematahkan prinsip dan perasaanku.

Namanya juga masih ababil, aku dan teman sebangkuku diam-diaman. Puncaknya, tanpa ada kata-kata dariku, aku memutuskan pindah bangku. Karena jumlah murid kami ganjil, dia jadi duduk sendiri. Aku tak peduli. Sakit sekali rasanya seperti penggalan lirik lagu Cita Citata diatas.

Meskipun si cowok tak menerimanya, tapi aku rasanya  tetap sakit akibat "pengkhianatan" temanku yang aku pikir kita sahabatan itu. Tidak hanya sehari, dua hari, seminggu... kami diam-diaman. Padahal Nabi Muhammad SAW bersabda,

"Tidak halal bagi seorang muslim untuk memboikot (tidak menyapa) saudaranya lebih dari 3 hari." (HR. Bukhari 6237 dan Muslim 2560)

Setelah beberapa waktu, dia datang ke rumahku untuk meminta maaf. Mau tak mau, tanganku menerima uluran tangannya dan mulutku berkata "iya". Hatiku masih harus diajak berkompromi.

Meskipun dia sudah meminta maaf tapi akibat kejadian tersebut sangat membekas buatku. Aku jadi seolah tidak percaya kepada orang lain. Aku tidak pernah lagi curhat segitu dalam kepada orang lain bahkan hingga dewasa. Meskipun aku punya teman dekat, aku tetap punya ranah privasi yang tidak bisa ditembus orang lain. Kejadian itu juga membuat segala perasaan untuk si cowok ikut lenyap. Aku pun sekian lama tak membuka hati buat cowok.

Pengalaman itu menjadi guru yang sangat berharga buatku. Waktu yang akhirnya mendewasakan. Bisa jadi sikapnya jelek dan menyakitkan tapi itu hak dia, toh salahku juga yang tidak berani mengungkapkan. Ternyata jiwanya lebih besar dibanding aku, karena berani meminta maaf duluan. Hampir semua dari kita juga setuju, kalau meminta maaf itu susah kan? Terutama karena gengsi. 

Untuk memberi maaf, ternyata hatiku tak selapang itu. Sebab, saat ia meminta maaf dalam hati aku belum ikhlas, butuh waktu yang lama hingga bisa melupakannya. Ibarat tertebas pedang bisa segera sembuh tapi sakit hati butuh waktu bertahun-tahuan. Aku kekanak-kanakan sekali. 

Usai lulus SMP, lebih dari lima tahun kami tak berjumpa. Akhirnya, Allah mempertemukanku dengan teman sebangkuku itu. Aku sudah bisa memaafkannya meskipun akibat peristiwa itu masih menyisakan trauma bagiku, terutama tentang caraku memaknai persahabatan.

Dalam Al Quran disebutkan jika memaafkan orang lain merupakan salahsatu ciri orang bertakwa yang disukai Allah. Memaafkan orang lain merupakan kebajikan yang diganjar pahala dan dibangunkan bangunan di surga. Jika Allah saja Maha Pengampun, mengampuni kesalahan dan dosa kita kecuali syirik atau menyekutukannya, mengapa sebagai hamba kita tidak bisa memaafkan orang lain?

"Barangsiapa yang ingin dibangunkan baginya bangunan di Surga, hendaknya ia memafkan orang yang mendzaliminya, memberi orang yang bakhil padanya dan menyambung silaturahmi kepada orang yang memutuskannya." (HR. Thabrani)

Lebaran sebentar lagi tiba, saatnya kita saling memaafkan. Di antara hubungan dalam keluarga pun terkadang ada salah paham. Saat bersilaturahim dengan tetangga atau teman pun jangan ada yang dilewat karena masih ada rasa sakit. Inilah saatnya untuk kembali memperbaiki hubungan yang terkoyak dan memperlancar komunikasi. Karena komunikasi adalah solusi dari kesalahpahaman. 

Memaafkan orang lain selain dijanjikan surga dari Allah bermanfaat juga di bidang kesehatan. Dengan berhasil memaafkan orang yang telah menyakiti akan menurunkan tekanan darah. Tekanan darah yang normal akan melindungi dari penyakit jantung dan stroke?  

Mari meraih kemenangan yang sesungguhnya. Menang melawan ego dalam diri. Dan, akan lebih baik lagi jika saling memaafkan tak perlu menunggu moment Idul Fitri.

Ohya, hikmah yang aku dapat dari pengalaman ini adalah kalau ga mau ditikung makanya gercep alias gerak cepat. Kalau gengsi menyatakan duluan, kasih kode cowoknya :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun