"Ya sudah aku duluan."
Pintu terbuka. Ia sudah siap dengan mukena terlipat di tangannya. Ia harum sekali dan nampak cantik dengan polesan lipstik merah muda di bibirnya.
Kalau aku jadi Rais, aku bakal memilihnya dibanding aku sendiri yang awut-awutan. Tidak pernah mengenal bersolek seumur hidupku. Tak pernah nyobain parfum ini itu.Â
Bahkan pernah suatu ketika aku diberi kertas sampel parfum saat di pusat perbelanjaan, bukannya aku hirup aromanya malah aku masukin kantong. Tepuk jidat kalau ingat saat itu.Â
Pantas saja, aku merasa ada yang aneh dengan tatapan SPG. Dari segi agama, Lika si anak rebahan tentu lebih baik dari aku yang salat saja bolong-bolong.
Seperti Lika yang mendamba Rais, sangat mungkin sekali berlaku sebaliknya. Rais, dia itu bukan tipeku. Jika ada survey yang mengatakan perempuan memilih cowok yang agak "nakal", ya itulah aku. Dan, itu bukan Rais. Walaupun aku akui dia "agak berbeda" karena tidak sok anti perempuan.
Memoriku memutar kembali tragedi salah sarung. Saat aku menyodorkan sarungnya yang aku pikir milikku dengan muka yang merah padam pastinya, ia bukannya memaki kecerobohanku tapi justru sebaliknya.Â
Padahal saat itu aku sudah menyiapkan mental untuk segala makian yang biasa aku dengar di jalan saat aku tak mau maju di depan zebra cross kala lampu merah menyala.
"Terima kasih sudah menyimpan sarungku. Ini sarungmu terlalu bagus buatku."
Hening dan terlalu banyak melamun menemani perjalananku menuju Mushola dengan Lika. Sampai akhirnya, aku tak tahan juga.
"Lika, kamu kenapa sih? Aku minta maaf ya kalau ada salah."