Ramadan kali ini "istimewa" karena berada di tengah masa pandemi Corona. Saat memasuki Ramadan, saya merasa harga relatif stabil di lingkungan tempat tinggal saya di Kota Bandung. Hanya saja kenaikan tersebut saya rasakan sekitar sebulan pasca Corona dinyatakan positif masuk Indonesia atau beberapa pekan sebelum puasa. Mungkin ini terkait fenomena panic buying yang pada akhirnya mampu diredam oleh pemerintah.
Yang pertama kali saya jumpai adalah kenaikan harga bawang merah. Harga bawang merah melonjak menjadi Rp 40 ribu per kilogram. Saya yang terbiasa memasak menggunakan bawang merah pun sempat kesulitan mendapatkannya.
Warung sayur dekat rumah mengaku tak kulakan bawang merah karena mahal. "Kosong, Neng. Mahal," katanya.
Sementara, saya selalu kehabisan di tukang sayur yang biasa lewat depan rumah. Penjual bawang merah yang biasa lewat pun tak menjual karena pertimbangan harga mending dia ganti dagangan dahulu. Akhirnya, saya baru bisa mendapatkan bawang merah setelah pesan kepada penjual sayur. Situasi dan kondisi tidak memungkinkan saya yang memiliki duo krucil untuk ke pasar sendiri.
Kemudian harga telur ayam, di warung-warung per setengah kilogram berkisar Rp 16 ribu sampai Rp 17,5 ribu. Harga setengah kilogram daging ayam di tukang sayur Rp 15 ribu. Sementara di kampung saya di Klaten, kata ibu saya harga satu kilogram daging ayam hanya sekitar Rp 23 ribu. Jauh ya
Ohya, sedikit cerita kata ibu saya, pedagang daging ayam di pasar menjadi tidak laku atau berkurang drastis karena sekarang terdapat banyak rumah pemotongan ayam di desa-desa. Mereka hanya cukup membayar Rp 5.000, ayam kepunyaan pun sudah disembelih dan dibersihkan. Murah, tak perlu repot ke pasar, dan ayam milik sendiri. Di kampung halaman saya sendiri, rata-rata warganya masih memelihara ayam. Bisa jadi ini menjadi salahsatu penyebab harga daging ayam yang murah di Klaten.
Balik lagi berbicara tentang harga pangan, kenaikan gula pasir menurut saya adalah yang paling banyak diobrolkan di warung sembako. Dari terakhir saya membeli Rp 17 ribu menjadi Rp 20 ribu. Kenaikan harga ini pun diikuti oleh kelangkaan gula pasir di daerah saya. Dua minimarket di dekat rumah saya kehabisan stok gula pasir sejak sekitar seminggu sebelum puasa. Bahkan hari ini ketika saya ke minimarket, stok gula masih kosong.
Harga sayur mayur sendiri selama bulan puasa relatif stabil. Kenaikan terjadi seperti saya sebutkan di atas beberapa waktu pasca pandemi. Harga satu ikat kangkung yang biasanya Rp 1.500 menjadi Rp 3.000. Kenaikan ini membuat penjual seblak di dekat rumah tidak menjual seblak kangkung untuk sementara.
Sebelumnya saya mendapatkan wortel Rp 4.000 setengah kilogram menjadi Rp 3.000 hanya untuk dua buah wortel dengan ukuran agak besar. Harga tahu tempe stabil hanya mungkin beberapa produsen mengurangi ukuran. Harga pindang bandeng ada kenaikan sekitar seribu rupiah. Untuk harga beras, minyak goreng, tepung, cabe, dan bawang putih saya rasa sama saja.
Harga-harga tersebut merupakan harga di tangan terakhir seperti warung atau tukang sayur keliling bukan dari pasar. Mungkin ada selisih harga dengan pasar karena penjual juga ingin untung.
Ohya, untuk takjil seperti cendol dan goyobod ada kenaikan dari Ramadan lalu. Tahun lalu, saya membeli paket es cendol sekitar Rp 12 sampai Rp 15 ribu sementara es goyobod satu bungkus plastik ukuran kecil Rp 5000 dan sekarang ukuran sedang Rp 12,5 ribu.
Bagaimana dengan harga-harga pangan di sekitar Kalian, apakah stabil atau mengalami kenaikan selama Ramadan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H