Saya masih berseragam putih merah ketika terjadi krisis moneter tahun 1998. "Krismon" bagi saya waktu itu lebih populer sebagai judul lagu yang dinyanyikan oleh Cindy Cenora. Lewat liriknya, barulah saya mulai mengetahui kalau krismon yang telah menyebabkan harga-harga naik. Akibat krismon, kami anak-anak terpaksa menunda keinginan membeli baju baru, sepatu baru, bahkan mainan baru. Sebab, ekonomi sedang susah sehingga tidak ada yang murah hingga kami anak-anak pun terkena imbas.
Seingat saya, harga mie instan yang biasa dijual seharga 200 Rupiah naik drastis sekitar 1.000 Rupiah. Jika biasanya 1.000 Rupiah bisa membeli empat liter minyak tanah, saat itu satu liter pun tidak dapat. Sebab harga minyak tanah membumbung Rp 2.000 per liter.
Namun tentu saja bukan hanya anak-anak yang terkena dampaknya. Krismon yang terjadi bersamaan dengan gejolak politik saat itu, dalam memori Ketua MPR Zulkifli Hasan telah menyebabkan, di antaranya:
- Anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar secara dramatis dari Rp 2.380/Dolar mendadak menyentuh level Rp 11.000/Dolar.
- Ratusan perusahaan dari skala kecil hingga konglomerat bertumbangan.
- Sekitar 70 persen perusahaan yang tercatat di pasar modal mendadak insolvent alias bangkrut.
- Terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran yang mengakibatkan jumlah pengangguran melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960, yaitu sekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja.
- Pendapatan per kapita dari 1.155 Dolar/Kapita pada 1996 menciut menjadi 610 Dolar/Kapita tahun 1998
- Laju inflansi Agustus 1998 mencapai 54,54 persen
- Ekspor migas anjlok sekitar 34,1 persen periode Januari-Juni 1998
Mengutip Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia, Menteri Keuangan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo, Sri Mulyani Indrawati penyebab utama krisis keuangan tahun 1998 berasal dari neraca pembayaran. Di Asia dengan nilai tukar yang tidak fleksibel, direkomendasikan dengan capital flow yang bebas, tidak ada sinkronisasi dari kurs dan capital inflow, dan ketidaksinkronan itu memunculkan spekulasi dan nilai tukar drastis.
Tahun 2008, Indonesia kembali mengalami dampak krisis keuangan global yang dipicu kegagalan produk suprime mortgage di Amerika Serikat. Puncak krisis keuangan 2008 yaitu Bursa Efek ditutup sementara, IHSG 1.111,4 terendah sejak Desember 2005, IDMA 67.11 terendah sejak SUN diterbitkan Januari 2005, LPS mengambil alih satu bank yang dianggap memiliki dampak sistemik, dan nilai tukar Rupiah 12.650/USD, terendah sejak krisis 1997/1998.
Kedua krisis tersebut telah menyebabkan instabilitas sistem keuangan di Indonesia. Sehingga menjadi pelajaran dan pengalaman berharga khususnya bagi otoritas keuangan untuk menciptakan kerangka Stabilitas Sistem Keuangan (SSK).
Stabilitas Sistem Keuangan
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 16/11/PBI/2014 tanggal 1 Juli 2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial memberikan arahan bahwa stabilitas sistem keuangan merupakan suatu kondisi yang memungkinkan sistem keuangan nasional berfungsi secara efektif dan efisien, serta mampu bertahan terhadap kerentanan internal dan eksternal sehingga alokasi sumber pendanaan atau pembiayaan dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian nasional.
Untuk menjaga SSK di Indonesia diperlukan kerjasama antara berbagai otoritas yang berwenang. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 Tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) menjelaskan peranan antara otoritas yang bekerja sama dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). KSSK melakukan pertemuan setiap triwulan yang terdiri dari:
- Bank sentral melalui kewenangan moneter fokus pada stabilitas harga, makroprudensial fokus pada stabilitas keuangan, dan sistem pembayaran.
- Pemerintah melalui Kementerian Keuangan dalam kewenangan fiskal memiliki tugas utama mengelola keuangan negara terutama untuk membiayai pembangunan, termasuk kebijakan perpajakan dan utang pemerintah.
- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui kewenangan mikroprudensial terutama pada perlindungan konsumen.
- Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai otoritas resolusi bank bertugas melaksanakan penanganan solvabilitas Bank Sistemik serta bank lainnya, termasuk jika bank tertentu mengalami kegagalan. LPS membantu meningkatkan kepercayaan masyarakat pada perbankan nasional, karena adanya garansi pengembalian simpanan
Â
Kebijakan Makroprudensial