Dar... der... dor.. bunyi petasan. Kepulan asap berbau aneh ikut menyeruak. Kami takut dan saling berpegangan. Namun, kami kelompok anak-anak perempuan tetap mengintil rombongan anak laki-laki. Mereka tertawa bangga melempar petasan jenis korek/cabe rawit ke sana ke sini. Sesekali pun dimarahi oleh para orang tua yang melintas. Namun, itulah kenangan masa kecil kami saat Ramadhan. Dimana setiap usai salat subuh, kami akan berjalan-jalan berkeliling kampung.
Ramadhan selalu ramai, menyenangkan, dan penuh kebersamaan. Saat jalan-jalan subuh, seringkali kami bertemu anak-anak kampung yang lain. Kadang kami saling mengejek saling melempar petasan tapi tak tak pernah berujung berantem. Hanya bermuara pada sorak-sorakan ala bocah. Itulah kami memaknai bulan puasa.
Namun, ulah teroris telah merenggut kenangan kebahagiaan itu. Kenangan itu mungkin hanya dimiliki oleh generasi kami tapi tak terwariskan pada anak-anak kami. Termasuk long bumbung (mercon dari batang bambu yang dilubangin kemudian diisi minyak tanah dan dinyalakan dengan api) juga telah antah berantah.
Ingat sekali, sepupu yang pernah terbakar sebagian alisnya pun tak pernah kapok bermain. Tapi kini tak lagi, sebab warga sudah makin trauma dengan segala bunyi-bunyian yang keras mirip bom.
Berawal dari tragedi Bom Bali tahun 2002 yang menewaskan sedikitnya 202 orang lalu diikuti ledakan-ledakan bom berikutnya hingga belum lama ini terjadi Surabaya dan Riau perlahan tapi pasti membuat petasan semakin dimusuhi dan dijauhi karena dianggap cikal bakal bom yang mengancam dan membahayakan.
Mercon-mercon mulai disita. Penjual petasan mulai dilarang. Bermain petasan kini telah diidentikkan dengan bahaya. Hanya akibat buruk petasan yang disorot. Padahal ada sebab, ada akibat.Â
Hasilnya, Ramadhan pun sepi dari riuh keramaian bocah bermain mencari kesenangan. Anak-anak hanyalah makhluk polos penuh imajinasi tapi telah menjadi korban dari mereka yang katanya para pengejar surga.
Kami pun mengejar surga tapi melalui fastabiqul khoirot berlomba-lomba dalam kebaikan, bukan berlomba-lomba bunuh diri dan membunuh orang. Hanya Kalian yang mengetahui apakah setelah meledakkan diri, Kalian dianggap syahid dan dijanjikan surga?Â
Dalam pandanganku, Kalian tidak hanya melukai orang lain yang belum tentu berbuat buruk pada Kalian, bahkan Kalianpun menyakiti anggota badan sendiri sebelum meninggal. Dalam sebuah firman Alloh SWT, anggota badan pun akan dimintai pertanggungjawaban di hari akhir.
Apa Kalian sudah memikirkan, apa yang akan anggota tubuh katakan dengan yang telah mereka saksikan? Belum lagi, jenazah Kalian yang ditolak dimana-mana. Padahal orang yang meninggal harus segera dikebumikan untuk ditanyai oleh malaikat.Â
Aku hanyalah seorang ibu yang ingin menciptakan kenangan masa kecil yang indah bagi anak-anak terutama nuansa Ramadhan yang tak terlupakan. Tolong jangan nodai khayalan kecil anak-anak dengan ketakutan-ketakutan yang Kalian ciptakan?
Syahid itu harum namanya, sedangkan teroris itu cela namanya...
Baca juga artikel aku sebelumnya ya: Menangis Membatalkan Puasa, Mitos atau Fakta?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H