Mohon tunggu...
Pangrango
Pangrango Mohon Tunggu... Penulis - Ibu Rumah Tangga

Happy Gardening || Happy Reading || Happy Writing || Happy Knitting^^

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar Kebhinekaan di Kota Nol Derajat

20 Mei 2018   19:19 Diperbarui: 20 Mei 2018   19:30 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gambar tugu khatulistiwa di buku IPS sewaktu kelas V SD itu terpatri kuat. Meminjam istilah Donny Dirgantoro, aku yang waktu itu berumur sekitar 10 tahun pun menaruh tugu penanda nol derajat tersebut "5 sentimer" di depan jidatku. "Aku mau ke sana kalau besar nanti!"

Indonesia adalah negara tropis. Sebab dilewati garis lini yang membagi belahan bumi menjadi dua bagian utara dan selatan. Karenanya Indonesia memiliki dua musim yaitu penghujan dan kemarau. Berbeda dengan negara subtropis yang memiliki empat musim yaitu dingin, semi, panas, dan gugur.

Indonesia pun disinari matahari sepanjang tahun. Begitu juga hujan sehingga daerah sekitar khatulistiwa terkenal akan hutan hujan tropisnya. Indonesia merupakan pemilik hutan hujan tropis terluas ketiga di dunia setelah Brasil dan Kongo. Itulah mengapa Pulau Kalimantan menyemat julukan paru-paru dunia. Sayangnya, invansi perkebunan sawit akhirnya menggerus keberadaan hutan alam yang meyongkong ketersediaan oksigen dan cadangan karbon dunia yang bermanfaat dalam meminimalisasi dampak pemanasan global.

Borneo yang berjuluk kota seribu sungai mengalir Sungai Kapuas yang merupakan terpanjang di Indonesia dengan total mencapai 1.143 kilometer. Saking besarnya, kapal ferry pun bisa berlayar di sungai ini dan masih diandalkan sebagai penyeberangan. Sayangnya, penambang emas yang tak ramah di bagian hulu menyebabkan air kali ini menjadi keruh atau kecoklatan.

Tanah Dayak merupakan negeri dongeng buatku. Beragam khayalan indahku tentangnya. Sayangnya lagi, zamrud khatuliswa ini ternoda akibat asap kebakaran hutan yang membumbung akibat keserakahan segelintir oknum. Masyarakat yang mengandalkan perladangan berpindah pun dijadikan sasaran. Padahal mereka mempunyai kearifan lokal bagaimana membuka lahan sesuai arah angin dan luasnya tak akan berhektar-hektar.

Dayak yang Ramah

Dongengan tentang kemolekan lansekap dan topografi sayangnya tak diikuti dengan cerita yang awal aku dengar tentang penduduknya. Mereka bilang orang Dayak itu... ini... itu... Namun, semua terpatahkan begitu aku menginjak Tanah Borneo pertama kalinya tahun 2011, sekitar 10 tahun dari mimpi kecilku. The dream comes true!

Walau kami berbeda suku dan agama, tapi mereka merangkul perbedaan. Menerimaku yang mendadak minoritas apa adanya dengan sepenuh hati. Oh betapa malunya aku dengan fanatisme yang kubanggakan sebelumnya karena berasal dari suku dan agama terbesar. Setiap moment Ramadhan datang setiap itu juga mengalir dengan sendirinya cerita yang membuatku bangga akan masyarakat Dayak.

Ada yang rela mengantarku tarawih di masjid yang berjarak berkilometer bukan hitungan meter lagi. Karena jalanan yang sepi dan melintasi kuburan. Jangan bayangkan di sana banyak lampu dan pemukiman padat. Ada yang membangunkan dan menemani setiap sahurku yang sendiri. Ada yang mencarikan kelapa hijau langsung dari pohon untuk berbuka. 

Seolah aku adalah tamu istimewa bagi mereka. Bahkan yang paling tidak aku duga ada seorang karyawan yang mengangkatku sebagai anak. Istri dan ketiga anaknya pun sangat baik. Ibu sudah seperti ibu sendiri yang mengizinkan akhir pekan pulang ke rumahnya daripada kesepian di mess. 

Termasuk menyiapkan sahur sebelum menoreh getah karet. Sebab rata-rata karyawan adalah masyarakat lokal sehingga akhir pekan akan pulang ke rumah masing-masing. Ada juga karyawan yang mengangkatku sebagai adiknya. Ada yang menyebutku teman main terbaik. Ada yang rela mengantarku ke Bandara karena sopir kantor berhalangan. Aku bukan siapa-siapa tapi orang Dayak membuatku terus bersyukur untuk segala budinya. Aku orang yang beruntung.

Aku tak akan pernah berhenti menceritakan tentang Kalimantan. Karena pulau seberang itu sangat berarti dalam membuka pikiranku terhadap perbedaan. Di sanalah aku berhasil memaknai Bhineka Tunggal Ika yang dicetuskan Mpu Tantular zaman Kerajaan Majapahit abad ke-14. Menyelami walaupun berbeda tapi tetap satu juga bukan di kampung halamanku sendiri. Di sanalah aku berteman dengan orang Batak, akrab dengan orang Toraja, Madura, Padang, Bugis, Melayu, China, Sasak, Dayak dengan berbagai keyakinan mereka bukan di kampus biruku.

Jika ditanya kapan hijrah terbesarku, ya saat di Borneo tersebut. Katak dalam tempurung yang berangkat sendiri tanpa teman dan saudara di perantauan akhirnya melihat dunia. Piciknya pikiranku terbuang jauh-jauh dengan sendirinya. Tidak hanya aku semakin mencintai Indonesia yang kaya suku bahasa dan agama. Akupun semakin menyayangi keluargaku terutama ibuku.

Oleh-oleh selama aku tinggal di Landak, Kalimantan Barat telah tertulis sebagai novel. Halimun, Seberkas Cahaya di Tanah Dayak. Alhamdulillah, diapresiasi menjadi salahsatu  naskah terpilih dalam Publisher Search Author (PSA) 2 yang diselenggarakan Grasindo. Bukunya telah diterbitkan tahun 2014. 

Novel tersebut mengangkat setting lokasi lokal di Tanah Dayak dengan menyelipkan hikmah perjalanan yang aku dapatkan selama di Kalimantan yang harapannya bisa menginspirasi pembaca. Termasuk keberanian bermimpi dan mewujudkannya. Tentang shockculture, tentang menyaksikan kulminasi yaitu waktu matahari tepat di atas garis khatulistiwa sehingga sejenak semua benda tidak memiliki bayangan, tentang masuk hutan, tentang Rumah Panjang, tentang bagaimana Orang Dayak mencari keadilan melalui upacara adat, tentang merayakan kemerdekaan ke-66 tahun, dan sebagainya.

Amazon - Grasindo
Amazon - Grasindo
Penggal kisahku di Tanah Dayak tak akan terlupakan. Bagaimana dengan kisah kompasianer di Kalimantan, sharing juga yuk^^

Baca juga artikel aku sebelumnya ya Mempererat Silaturahim dengan Bukber

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun