Mohon tunggu...
Rina Darma
Rina Darma Mohon Tunggu... Penulis - Ibu Rumah Tangga

Happy Gardening || Happy Reading || Happy Writing || Happy Knitting^^

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Budayakan Malu Sejak Dini

25 Juli 2016   22:23 Diperbarui: 25 Juli 2016   22:59 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mayuuu..." seru my baby saat belum memakai celana usai pipis. Caranya mengucapkan kata "malu" memang belum jelas benar. Usianya masih 22 bulan. Namun, dengan terang tertangkap, ia mengerti makna "malu" apalagi diucapkannya pas ada bocah lelaki berkunjung ke rumah.

Sebagai ibu, hati saya sedikit lega ternyata kata-kata yang sering saya ucapkan tertangkap dalam alam bawah sadarnya. Acap orang bilang anak kecil terutama balita belum mengerti. Padahal di usia emasnya ini, seorang anak menirukan apa yang dilihatnya, didengarnya, dan ia memulai mengeksplorasi dunia. Pengajaran di usia ini akan menjadi bekalnya kelak menjadi generasi penerus bangsa.

Keluarga sebagai Benteng Pertama

Miris, Indonesia belum lama ini kerap disebut-sebut darurat kejahatan seksual terlebih kekerasan terhadap anak dengan pelaku dibawah umur. Kasus Y di Bengkulu kembali mencambuk kita terutama sebagai orang tua. Tak hanya mereka yang memiliki anak remaja, bulan Mei 2016 lalu di Kabupaten Bogor terjadi kekerasan seksual terhadap balita hingga pembunuhan. Pelakunya masih paman korban. 

Pendidikan seks sejak usia dini tidak harus vulgar. Membudayakan rasa malu sejak dini khususnya terkait seksualitas. Misalnya terhadap bagian-bagian tubuh yang bersifat pribadi tidak boleh terbuka atau terlihat orang lain. Secara otomatis, ia akan malu atau berontak ketika orang lain melihat bahkan menyentuhnya. 

Mengajarkan keterbukaan terhadap anak. Sebagai orang tua, kita tidak hanya berkewajiban memenuhi kebutuhan materialnya saja tapi juga dari sisi emosi. Mengajak ngobrol tentang aktivitas kesehariannya, misal bertanya bermain dengan siapa, melakukan apa saja, dan lain-lain. Sehingga, kita bisa mengontrol kegiatan anak. Terkadang banyak anak yang mengalami kekerasan atau pelecehan seksual tapi tidak mengetahui bagaimana cara menyampaikannya. 

Meskipun, anak masih usia balita jangan melakukan hal intim di depannya. Karena, anak cenderung meniru. Begitu juga dengan tontonan berbau konten dewasa. Masa anak adalah masa anak dengan segala keunikannya jangan sampai tanpa sadar kita merusak masa depannya sendiri.

Lalu, mendekatkan dengan nilai-nilai moral dan agama. Nilai-nilai ini akan mencegah anak berperilaku negatif juga menjadi filter saat berada dalam pergaulan.

Ketika seorang anak sudah mempunyai pondasi yang kuat sejak dini, maka saat remaja atau memasuki usia pubertas, ia akan lari ke arah positif. Mengutip Hippocrates, dalam materi presentasi nangkring "Membangun Kualitas Kesehatan Reproduksi dan Mental Remaja Indonesia", suatu pola hidup tertentu akan mempengaruhi kesehatan otak dan tubuh.

Hal tersebut didukung peran orang tua, masyarakat sebagai kontrol sosial maupun guru di sekolah yang bisa mengarahkan ke hal-hal positif seperti ekstrakurikuler, olahraga, ketrampilan maupun rohis sesuai ketertarikan masing-masing. Harapannya bisa menghindarkan remaja dari pergaulan negatif, nongkrong yang berujung pada konsumsi alkohol maupun menonton pornografi yang merusak mental. Hal negatif tersebut berkecenderungan seseorang untuk berbuat kekerasan seksual maupun seks pra nikah.

Generasi Sehat untuk Bangsa yang Kuat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun