Beberapa hari sebelum lebaran, anak saya mendapatan baju baru. Bukan dari saya, tapi dari ibu saya. Ibu saya merasa kasihan kepada anak saya karena saya tak kunjung membelikannya baju baru. Sebenarnya bukan tidak mau membelikan. Saya hanya menunda, nanti setelah lebaran. Bagi saya tradisi baju baru sebelum perayaan lebaran bukanlah sebuah keharusan. Puasa, dan situasi pandemi adalah hal yang harus lebih dulu diprioritaskan, daripada memaksakan diri untuk membeli barang yang bisa kita beli di lain hari.
Singkat cerita, ibu saya membelikan tiga potong pakaian untuk anak saya. Berupa tunik, kaos dan celana jeans. Bentuknya yang unik, membuat anak saya yang tadinya tidak antusias menjadi tertarik. Dia mulai menyukai baju barunya itu. Saya tahu karena anak saya mencuci, menjemur dan menyetrika bajunya sendiri. Padahal biasanya dia mengikutsertakan bajunya bersama baju-baju yang lain di mesin cuci.
“Jadi inget jaman masih TK, punya baju baru sebelum lebaran?” gumam dia sambil menyetrika baju barunya.
Saya tertawa mendengar pertanyaannya. Saya ingat saat masih kecil, momen teristimewa bagi saya adalah memakai baju baru yang saya pakai saat shalat Ied di alun alun kota. Waktu itu saya merasa terlahir kembali sebagai manusia baru dengan memakai baju baru. Ada semacam kepercayaan, mengidentifikasikan bahwa Lebaran adalah klambi anyar.
Bertambahnya umur dan berbagai perubahan situasi membuat saya merubah paradigma lebaran tidak lagi identik dengan baju baru. Saya mengenalkan paradigma baru ini kepada anak saya. Dulu, saat dia kecil sempat saya mengenalkan hari raya Idul Fitri berarti baju baru, makanan-makanan tertentu, dan unjung-unjung dari satu rumah ke rumah yang lain.
Setelah anak saya semakin besar, kebutuhan akan baju baru jelang lebaran semakin berkurang. Perpindahan tempat tinggal dari desa ke kota, dan tuntutan pekerjaan membuat saya lebih mencari segi kepraktisan. Saya hanya membeli baju saat saya atau anak saya memang sedang benar-benar butuh. Itupun saya lebih suka memesannya secara online atau pergi ke mall.
***
Tepat seminggu sebelum lebaran, saya, Ibu, dan anak saya pergi ke sebuat pusat grosir. Kebetulan kami bertiga sedang tidak berpuasa. Ibu yang tidak bisa mudik, terpaksa melewati momen puasa dan lebaran bersama saya. Padahal biasanya ibu selalu menghabiskan saat lebaran di kampung bersama keluarga besarnya.
Ibu tidak pernah melewatkan momen lebaran tanpa membeli baju baru. Berbeda dengan saya yang lebih suka berbelanja baju di mall atau secara online, Ibu lebih suka membeli baju lebaran di pasar grosir biasa. Menurutnya beli di pasar itu menyenangkan. Pertimbangannya adalah mendapatkan harga yang lebih murah sehingga bisa membeli lebih banyak.
Salah satu pasar grosir pakaian di kota saya menjadi pilihan Ibu untuk membeli baju lebaran. Dalam bayangan saya jelang Idul Fitri tempat seperti itu pasti tidak nyaman, penuh sesak oleh orang-orang berbelanja pakaian. Tapi apa boleh buat, perintah Ibu bagi saya sudah seperti sabdo pandito ratu yang tak bisa saya tolak.
***
Ternyata prediksi saya salah total, pusat grosir yang biasanya berisi lautan manusia di masa jelang lebaran, kali ini sepi. Lapak-lapak kecil yang berderet di tengah-tengah lantai gedung menghilang. Saya seperti tengah berjalan di jalan bebas hambatan. Toko-toko atau tenant banyak sekali yang tutup. Ternyata begitu berat pukulan pandemi ini bagi para pedagang baju.
Kami langsung menuju toko langganan Ibu di lantai 4 sudut paling utara. Kami bertiga terkejut karena toko yang kami tuju sudah tutup. Padahal toko itu terkenal dengan model baju kekinian, berkualitas baik dengan harga paling miring. Tak juga menemukan baju yang cocok di toko lain di gedung yang sama, kami memutuskan untuk pindah ke pusat perbelanjaan yang lain.
Ternyata kami dibuat tidak kalah terkejut dengan pusat perbelanjaan kedua ini. Pusat perbelanjaan semi mall yang dimiliki oleh sebuah korporasi besar di negeri ini nampak sangat memprihatinkan. Di bagian department storenya tidak ada tumpukan baju yang menggunung khas departemen store jelang lebaran. Banner atau keterangan diskon yang mencolok di setiap barisan baju juga tidak ditemukan. Baju-baju yang dijual adalah baju-baju lama yang tidak menarik sama sekali.
Kamipun memutuskan untuk menuju pusat perbelanjaan pilihan kami yang terakhir. “Silahkan dipilih baju-baju model barunya Umi,” sebuah sambutan manis yang kami terima dari mbak mbak pelayan toko yang kami kunjungi. Toko baju itu nampak mencolok karena dikelilingi oleh toko-toko lain yang telah tutup.
Saya masih ingat dulu toko ini dijaga oleh 3 orang pegawai, 2 orang khusus melayani pembeli dan yang terakhir bertindak sebagai kasir. Saat ini hanya ada satu-satunya pegawai yang sedang melayani kami. Rasa penasaran menbuat saya bertanya kepada mbak pelayan toko itu:
“Sepi ya Mbak, teman-temannya pada kemana?”
“Udah nggak kerja Umi. Tahun lalu sudah berhenti.”
“Mau lebaran gini rame mbak? Hari ini banyak yang beli?”
“Lumayan Umi. Mau Lebaran gini tiap hari pasti ada yang beli. Sebelum puasa sehari satu (pembeli) saja sudah beruntung banget.”
***
Toko ini memilah menjadi 2 kelompok baju berdasarkan kesamaan harga: pertama adalah deretan baju seharga 50 ribuan, dan deret kedua seharga 100 ribuan. Kelompok pertama lebih banyak menarik perhatian pembeli. Beberapa ibu-ibu berdesakan memilih baju 50 ribuan yang sesuai selera masing-masing.
Kami membeli 4 potong pakaian dari toko ini. 1 untuk ibu saya, 3 sisanya untuk anak saya. Keempat potong pakaian dengan kualitas bahan lumayan bagus ini dibanderol dengan harga 300-an ribu, harga yang tidak mungkin saya dapatkan jika saya berbelanja online atau di mall.
“Mama dan Eyang seneng nih yang kayak gini-gini. Diskon gede-gedean sampe aku dapat tiga!” seru anak saya girang.
Saya tercenung mencermati ungkapan kegembiraan anak saya. Seketika muncul rasa syukur. Keputusan saya untuk menuruti keinginan Ibu menghidupkan kembali tradisi baju baru menjelang lebaran adalah pilihan yang tepat.
Ada rasa senang bercampur dengan keprihatinan dengan keadaan ini. Senang karena mendapatkan bonus diskon besar-besaran, namun juga prihatin dengan hancurnya sebagian besar perekonomian pedagang pakaian. Senang karena Ibu saya sudah ikut andil memberikan perpanjangan waktu bagi Mbak penjaga toko untuk tetap bekerja dan memperoleh penghasilan. Prihatin saat lebaran usai masihkah dia tetap bisa bertahan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H