Mohon tunggu...
Rimayanti Z
Rimayanti Z Mohon Tunggu... widyaiswara - Praktisi Pendidikan

Pengajar walau bukan guru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aplikasi Injil Berbahasa Minang, Relevankah?

9 Juni 2020   20:21 Diperbarui: 10 Juni 2020   09:09 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kawasan Seribu Rumah Gadang: Sumber Wikipedia

Secara individu tidak ada pemaksaan dalam hal beragama di Minang Kabau. Namun tidak dalam konteks kesukuan. Seandainya ada orang Minang yang keluar dari Agama Islam, maka kepada yang bersangkutan diberlakukan sanksi dibuang sepanjang adat. Ini berarti dia tidak diakui lagi sebagai orang Minang. Konsekwensinya yang bersangkutan akan kehilangan hak-hak yang melekat padanya sebagai orang Minang. Termasuk dalam hal ini adalah hak waris pusaka dan gelar pusako. Seandainya beliau adalah seorang Datuk sekalipun, gelar tersebut harus dilepas.  

Inilah ketentuan dalam adat Minang. Melanggar hak asasi? Tidak juga. Kalau pembatasan boleh jadi. Bukankah norma itu ada termasuk norma adat sesungguhnya memang mengurangi sebagian hak asasi untuk kebaikan bersama dalam masyarakat dalam arti yang lebih luas.

Masing-masing suku punya keunikan sendiri dalam menetapkan hukum adatnya. 2016 yang lalu Tjokorda Sri Maya Kerthyasa, seorang puteri kerajaan Ubud Bali melangsungkan pernikahan dengan seorang pria asal Australia. Sayangnya karena hal tersebut sang puteri harus melepaskan gelar kebangsawanannya. Aturan adat di Kerajaan Ubud mengharuskan seorang puteri kerajaan harus menikah dengan orang Bali dan haruslah memiliki kasta yang sama tinggi. Itulah aturan adat. 

Kalau dilihat dari perspektif umum bukankah hal ini sebetulnya melanggar hak asasi? Apalagi kalau ditinjau dari pernikahan yang mengharuskan kesamaan kasta. Bukankah manusia itu sama? Tidak ada yang rendah dan yang tinggi. 

Tapi kita yang orang luar Bali tidak bisa mengatakan demikian. Semua menghormati adat yang berlaku di sana. Masyarakatnya sendiri menjalani dengan ikhlas. Karena itulah ketentuan dalam adat dan agama mereka. Untuk itu Tjokorda Sri Maya Kerthyasa melepas dengan sukarela gelar kebangsawanannya. Karena beliau paham betul konsekwensi yang diterimanya.

Hal yang seperti ini tidak hanya berlangsung pada suku-suku di Nusantara saja. Jauh sebelum ini hal yang hampir mirip terjadi pada kerajaan Inggris. Raja Edwar VIII harus melepaskan tahtanya karena menikahi Wallis Simpson. Seorang janda dua kali bercerai. Seharusnya tidak ada yang salah dengan pernikahan itu. Secara hak azazi hal tersebut  adalah hak dari seseorang untuk menikahi siapapun yang dicintainya. Namun tidak demikian dalam peraturan kerajaan Inggris. 

Aturan gereja Inggeris saat itu tidak memperbolehkan seseorang menikahi perempuan yang sudah pernah menjadi janda. Karena itu rakyat tidak akan menerima Simpson sebagai ratu. Sebagai raja dari kerajaan Inggris Edwar VIII sekaligus juga adalah pimpinan tertinggi gereja di Inggris. Karena itu sudah seyogyanyalah perilaku beliau mencerminkan tindakan yang mendukung ajaran-ajaran gereja. Apa boleh buat, aturan tidak boleh dilanggar. karena bersikeras menikahi Simpson Edwar memilih melepaskan tahtanya.

Sampai di sini rasanya semua cukup memahami, bahwa aturan adat memang berlaku dan dipatuhi oleh masyarakat adatnya. Demikian juga dengan yang berlaku pada Suku Minang Kabau. Di mana salah satu aturan adatnya membuat seseorang yang keluar dari Agama Islam praktis keluar dari Suku Minang. Sehingga ketika  seorang suku Minang keluar dari Agama Islam, maka secara kesukuan dia tidak lagi diakui sebagai orang Minang. Jadi fix, tidak ada orang Minang yang tidak beragama Islam.

Karena itu keberadaan aplikasi Injil berbahasa Minang dirasa mengada-ada. Jikapun ada beberapa dari pemeluk kristen yang memahami Bahasa Minang, tidaklah perlu sampai membuatkan Injil khusus berbahasa Minang untuk mereka. Bukankah Injil Berbahasa Indonesia tersedia lengkap di mana-mana. Dan dirasa semua mereka memahami dengan baik Bahasa Indonesia. Jangan salahkan jika masyarakat Suku Minang mempertanyakan kepentingan dan relevansi dari Aplikasi Injil berbahasa Minang ini dibuat.

Adapun untuk pemeluk kristen yang bukan dari suku Minang yang ada di Sumatera Barat, orang Minang tidak pernah mempermasalahkan keberadaan kitab suci mereka. Ada injil berbahasa Mentawai yang dipakai oleh pemeluk kristen suku Mentawai. Atau bahasa suku lainnya yang dicantumkan dalam kitab suci tersebut tidak pernah dipersoalkan oleh masayarakat Suku Minang. Asalkan jangan berbahasa Minang.

Selama ini kehidupan beragama di Sumatera Barat sebagai Provinsi dengan suku Minang terbanyak berjalan baik-baik saja. Belum pernah terjadi konflik vertikal yang tajam di provinsi ini. Semua pemeluk agama hidup damai saling berdampingan. Menjalankan syariat agamanya masing-masing. Kehadiran aplikasi ini justeru memancing riak di tengah masyarakat. Semoga ada solusi yang mencerahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun