Dalam sebuah Diklat dimana pesertanya adalah para guru saya pernah melontarkan pertanyaan apa judul buku yang terakhir mereka baca. Diluar buku paket guru dan buku siswa yang mereka gunakan sehari untuk mendampingi siswa. Â Pertanyaan tersebut dijawab dengan tawa kecut. Hampir seluruh peserta tidak bisa menjawab dengan cepat.
Ketika pertanyaan tersebut saya lanjutkan dengan kapan terakhir kali membaca buku, jawaban yang keluar lebih mengejutkan lagi. Ada yang menjawab saat Pendidikan Latihan Profesi Guru (PLPG).Â
Artinya itu pada saat mereka terpaksa membaca ketika mengikuti program pendidikan  tertentu.  Ada pula yang menjawab lebih jauh lagi dari itu. Bahkan ada yang menjawab hanya pada saat kuliah.Â
Ilustrasi di atasi  tidak bermaksud mendeskreditkan Bapak/Ibu guru. Sekedar membuka mata inilah gambaran yang terjadi disekeliling kita.  Disaat sebagian besar masyarakat lebih suka membaca percakapan di sosial media, melihat berita online yang kadang tidak di saring kebenarannya buku seolah terlupakan keberadaannya.Â
Semuanya pasti sepakat bahwa buku adalah jendela ilmu. Dengan buku kita bisa mengunjungi semua tempat di dunia. Melalui buku kita bisa bereksperesi sebebas bebasnya. Ada banyak hal yang bisa diungkap dengan membaca buku. Apa saja yang ingin kita ketahui tertera dalam buku.
Tapi mengapa sedikit sekali yang berusaha membacanya. Tingkat membaca penduduk Indonesia tidak pernah naik dari tahun ke tahun. Sebuah riset yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 menyatakan bahwa Indonesia berada pada peringkat 60 Â dari 61 negara yang di survey dalam hal tingkat membaca. Â
Padahal menurut lembaga riset pasar e-Marketer, penggunaan internet di Indonesia berada pada peringkat ke-6 didunia.  Mengapa  hal tersebut tidak berbanding lurus dengan tingkat membaca? Apakah orang Indonesia lebih suka membaca e-book? Ternyata tidak juga. Karena  popularitas e-book belumlah setinggi  aplikasi lainnya di Indonesia.Â
Lalu dimana permasalahannya? Untuk menjadikan membaca menjadi sebuah kebiasaan,  diperlukan sebuah pembiasaan. Agar membaca menjadi sebuah budaya maka  perlu dilakukan beberapa tahapan.
Yang pertama yang harus dilakukan adalah dengan mengajarkan. Sebetulnya pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional  sudah menggulirkan program Gerakan Literasi Nasional (GLN).  GLN  adalah gerakan literasi dalam bentuk yang lebih luas. Tidak hanya sebatas literasi dasar yang mencakup membaca, menulis, dan berhitung.
Lebih jauh dari itu, selain literasi dasar GLN meliputi literasi numerik, literasi budaya, literasi sain, literasi finansial, dan literasi digital. Dalam petunjuk teknis tentang pelaksanaan GLN tertera dengan jelas bagaimana mengajarkan kebiasaan membaca kepada peserta didik. Ini dilakukan untuk GLN yang diterapkan melalui Gerakan Literasi Sekolah (GLS).
Namun GLN tidak hanya sebatas GLS. GLN merupakan kegiatan  yang komprehensif dengan melibatkan semua elemen. Dalam hal ini termasuk orang tua siswa dan masyarakat. Artinya tahapan mengajarkan membaca sebagai bagian dari literasi haruslah  melibatkan semua unsur tersebut.
Tahap berikutnya yang perlu dilakukan agar literasi dapat membudaya adalah dengan pembiasaan. Kebiasaan yang perlu dipupuk terus menerus. Kebiasaan yang perlu di fasilitasi. Tidak hanya di sekolah tetapi juga di rumah tangga masing-masing.
Jika ada pertanyaan pernahkah  kita sebagai orang tua memberikan hadiah buku kepada anak, barangkali tidak banyak yang akan menjawab pernah.  Orang tua lebih cepat memberikan hadiah telfon pintar kepada anak masing-masing. Walaupun harganya berlipat-lipat dibandingkan dengan harga sebuah buku.
Apakah kita pernah mencantumkan membaca dalam daftar kegiatan sehari-hari yang disusun oleh anak-anak kita? Adakah dilakukan diskusi bedah buku dalam keluarga?
Jika semua pertanyaan di atas jawabnya tidak, bagaimana mungkin kita dapat  membiasakan membaca dalam keluarga. Kebiasaan membaca tidak dapat muncul begitu saja. Melainkan melalui proses yang panjang yang dimulai sedari kecil.Â
Hal yang tidak kalah penting dalam meningkatkan tingkat membaca adalah dengan  meneladani. Anak-anak meniru orang dewasa. Jika pemandangan setiap hari yang mereka lihat adalah orang dewasa yang sibuk dengan gadget masing-masing, jangan salahkan anak-anak jika melakukan hal yang sama. Andai semenjak kecil mereka melihat orang dewasa disekelilingnya sibuk dengan buku ditangan, mereka pasti akan meraih buku tersebut untuk kemudian memdacanya.
Bagaimana dengan perpustakaan? Hampir semua perpustakaan yang ada di berbagai lembaga sepi pengunjung. Kalaupun ada perpustakaan yang ramai, biasanya itu perpustakaan yang berada di dalam kampus.Â
Perpustakaan kampus memang terhitung ramai pengunjung yang terdiri dari mahasiswa. Namun hal ini tidak berlaku untuk perpustakaan lain.
Kita harus jujur mengakui kalau perpustakaan hanya dikunjungi oleh para "kutu buku". Julukan yang tidak begitu enak didengar. Dengan stereotip berkacamata tebal dan berpenampilan serius. Padahal tidak selamanya hal itu benar. Banyak pesohor dunia dan Indonesia suka menyambangi perpustakaan.Tasya Kamila contohnya.
Barangkali perlu menggunakan para pesohor ini untuk mengkampanyekan membaca buku. Agar kebiasaan baik mereka dapat diikuti oleh masyarakat lainnya.
Saya jadi teringat sebuat quote. Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya. Maka pastilah bangsa itu akan musnah - Milan Kundera. Bagaiamana kalau buku-buku tersebut tidak hanya hancur tetapi tidak pernah dibaca? Kehancuran seperti apa yang akan terjadi? Semoga hal tersebut tidak terjadi di Indonesia (Rima. Z)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H