Dalam kehidupan ini, seringkali manusia tidak bersyukur, selalu merasa kurang atas apa yang telah di berikan, dan selalu berambisi untuk mengejar impian walaupun dengan cara yang salah. Seperti yang kita ketahui, setiap orng memiliki impian, namun tak semua bisa meraih impian tersebut.
Kita sebagai manusia juga merasa perlu adanya tujuan yang harus dicapai dalam kehidupan, baik dalam hal materi, pencapaian, dan lainnya. Namun, masih banyak orang-orang diluar sana yang salah persepsi, mereka menjadikan keberhasilan meraih impian sebagai kewajiban yang harus dimiliki dan mencoba segala cara untuk bisa mendapatkan hal tersebut walaupun dengan cara yang salah akibat dari tekanan sosial yang terjadi disekitarnya.
Banyak orang menganggap dengan tercapainya suatu impian material akan membawa kepuasan dan kebahagiaan tanpa mempertimbangkan jalan lain yang mungkin bisa menjadi jalan yang lebih baik daripada yang mereka impikan. Sebaliknya, dengan tidak tercapainya impian tersebut akan membuat hidup tak lagi berharga sehingga banyak orang yang menjadi depresi dan melampiaskan kekesalan atas kegagalan mereka kepada orang-orang terdekatnya, tak jarang pula seseorang bahkan mengakhiri hidupnya akibat tidak bisa menerima kegagalan tersebut.
Terlalu memaksakan impian tentu tidaklah baik, apalagi jika seseorang berasumsi bahwa sukses adalah ketika dia mendapatkan apa yang dia impikan sekalipun harus mengorbankan impian orang lain. Hal tersebut akan membuat hubungan seseorang dengan orang sekitarnya memburuk.
Barangkali itu yang mendasari Arthur Miller, seorang penulis sandiwara panggung, esai, dan buku yang berasal dari Amerika membuat drama Death Of A Salesman. “Death Of A Salesman” karya Arthur Miller yang dipentaskan pertama kali pada tahun 1949, merupakan salah satu drama Amerika yang paling terkenal dan dihormati.
Willy Loman, tokoh utama protagonis dalam drama ini menggambarkan kehidupan orang-orang amerika pasca-perang yang terobsesi dalam mengejar kehidupan sosial tinggi yang mereka sebut sebagai “Impian Amerika”. Tercapainya suatu impian bahkan lebih berharga bagi mereka dibandingkan memiliki hubungan yang harmonis dengan keluarga, lingkungan sosial, dan diri sendiri.
“Percayalah padaku Biff, hanya kau, happy, dan Linda yang bisa membuatku bersemangat untuk terus hidup, kalian adalah milikku. Dan kau Biff, adalah satu-satunya harapan terakhirku, kau harus menjadi hasil dari apa yang selama ini telah aku jalani” - Willy Loman
“Menurutku, satu-satunya di dunia ini yang kau miliki adalah apa yang bisa kau jual. Itu lebih berharga dibanding kami, kau hanyalah selusin sepeser pun” - Biff
Dalam adegan percakapan tersebut terlihat seorang yang terlalu berambisi mengejar impiannya sehingga membuat anaknya terperangkap dalam keharusan untuk memenuhi keinginan nya dan berujung depresi ketika impiannya tak juga tercapai.
Lebih buruknya lagi, saat seseorang tersebut membutuhkan orang lain untuk memberikan dukungan, siapa tahu yang mereka dapatkan tidak sesuai dengan apa yang mereka mau akibat kurangnya rasa peduli antar satu sama lain.
“Lucu, kau tahu? Setelah semua jalan raya, kereta api, janji temu, dan tahun-tahun yang telah berlalu, kau pada akhirnya lebih berharga dalam keadaan mati daripada hidup.” - Biff
Memiliki impian dan tindakan yang serius dalam mencapai impian adalah hal yang sangat bagus, akan tetapi, alangkah lebih baik apabila kita tidak terlalu berambisi untuk mewujudkannya yang membuat kita tidak memikirkan terlebih dahulu apakah hal tersebut melibatkan orang lain dalam masalah ataupun tidak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H