Selama beberapa dekade terakhir, gerakan pemberdayaan perempuan telah menjadi agenda global yang penting dalam memperjuangkan hak-hak dan kesetaraan gender. Berbagai kebijakan, program pelatihan, hingga kuota kepemimpinan telah dirancang untuk memastikan partisipasi perempuan di ruang publik, termasuk politik, ekonomi, dan sosial. Namun, agenda ini seringkali menghadapi kritik karena terlalu berfokus pada perempuan itu sendiri tanpa mempertimbangkan transformasi lingkungan yang didominasi oleh laki-laki dan struktur patriarkal yang ada.
Kritik ini semakin relevan dalam konteks di mana meskipun perempuan telah menduduki posisi kepemimpinan strategis, banyak agenda perempuan tetap dikendalikan oleh nilai-nilai patriarkal dan keputusan politik yang tidak berpihak pada keadilan sosial dan perdamaian.
Lingkungan Patriarkal sebagai Kendala Pemberdayaan Perempuan
Pemberdayaan perempuan yang hanya berfokus pada pelibatan perempuan tanpa perubahan signifikan dalam kesadaran laki-laki dan sistem patriarkal dapat menjadi kontra-produktif. Struktur sosial, politik, dan ekonomi yang didominasi oleh laki-laki sering kali memaksakan nilai-nilai yang tetap mengekang kebebasan perempuan dalam mengambil keputusan yang sepenuhnya independen.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi cerminan nyata dari sistem patriarki yang mendominasi. Norma-norma sosial yang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga dan memberikan mereka hak untuk mengontrol perempuan telah menciptakan lingkungan yang memungkinkan terjadinya kekerasan. KDRT tidak hanya merugikan secara fisik, tetapi juga mental dan emosional, sehingga menghambat perempuan untuk mencapai potensi penuhnya. Siklus kekerasan ini diperparah oleh stigma sosial yang melekat pada korban KDRT, membuat banyak perempuan enggan melaporkan kasusnya dan mencari bantuan. Akibatnya, perempuan yang mengalami KDRT seringkali terjebak dalam lingkaran setan dan sulit untuk keluar.
Kepemimpinan Perempuan yang Tetap Dikendalikan oleh Nilai Patriarkal
Banyak yang berharap bahwa kehadiran perempuan di ruang pengambilan keputusan dapat membawa nilai-nilai yang lebih inklusif, damai, dan empatik. Namun, kenyataannya sering kali berbeda. Ketika perempuan bekerja dalam lingkungan yang tidak sensitif terhadap kesetaraan gender, mereka cenderung disetir oleh kebijakan dan norma yang telah lama dikendalikan oleh kepentingan patriarkal.
 Sebagai contoh, Duta Besar (Dubes) AS untuk PBB, Linda Thomas-Greenfield melakukan veto terhadap resolusi gencatan senjata antara Israel dan Palestina. Ia beberapa kali terlihat mendukung keputusan yang tidak berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan, termasuk dalam konflik Israel-Palestina yang dituduh sebagai genosida terhadap rakyat Palestina. Sama halnya dengan kepemimpinan perempuan Ursula Von Der Leyen, Presiden Uni Eropa (UE) mendapat julukan sebagai "Ibu Genosida" oleh anggota parlemen Eropa, Clare Daly. Dibawah kepemimpinan Ursula, UE dianggap tidak tegas mengambil sikap dalam merespon krisis kemanusian yang terjadi di Gaza. Hal ini dikarenakan  Fakta bahwa perempuan berada di posisi strategis tidak serta-merta mengubah dinamika kekuasaan global yang tetap dikuasai oleh kepentingan ekonomi dan politik yang sering kali maskulin dan militeristik.
Ini membuktikan bahwa pemberdayaan perempuan tidak cukup hanya dengan menempatkan perempuan di kursi kekuasaan. Tanpa kesadaran dan transformasi lingkungan yang inklusif, perempuan yang berada di posisi tinggi tetap terjebak dalam sistem yang sama. Akibatnya, nilai-nilai kemanusiaan dan agenda keadilan gender yang seharusnya mereka bawa tidak dapat terwujud secara optimal.
Peran Laki-Laki dalam Kesetaraan Gender
Kesetaraan gender bukan hanya tanggung jawab perempuan, tetapi juga laki-laki. Laki-laki perlu dilibatkan dalam proses pemberdayaan perempuan dengan memberikan edukasi tentang pentingnya kesetaraan gender, menghilangkan maskulinitas toksik, dan mendukung kebijakan yang memungkinkan perempuan berdaya secara penuh.
Program yang melibatkan laki-laki, seperti kampanye "HeForShe" yang diinisiasi oleh UN Women, adalah langkah positif yang dapat ditingkatkan. Kesadaran laki-laki mengenai isu kesetaraan gender dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi perempuan untuk memimpin tanpa terjebak dalam struktur patriarkal.
Kesimpulan: Menuju Transformasi Sosial yang Inklusif
Pemberdayaan perempuan harus mempertimbangkan interseksi antara gender, kelas sosial, ras, dan etnisitas. Perempuan dari kelompok minoritas seringkali menghadapi diskriminasi ganda dan membutuhkan dukungan tambahan. Pendekatan yang holistik diperlukan untuk mengatasi berbagai bentuk ketidaksetaraan yang dialami oleh perempuan.Â
Contoh kasus Linda Thomas-Greenfield dan Ursula von der Leyen menunjukkan bahwa kepemimpinan dan keterlibatan perempuan tidak selalu menjamin kebijakan yang lebih damai dan inklusif. Hal ini menyoroti pentingnya membedakan antara kehadiran perempuan dalam ruang kekuasaan dan transformasi mendasar dalam sistem patriarki.
Selama berabad-abad, konsep maskulinitas yang toksik telah dikaitkan dengan kekerasan, dominasi, dan kompetisi. Nilai-nilai ini telah menjiwai kebijakan luar negeri banyak negara, termasuk dalam konflik-konflik bersenjata. Ketika perempuan menduduki posisi kepemimpinan dalam sistem yang masih didominasi oleh nilai-nilai ini, mereka dapat terjebak dalam dinamika kekuasaan yang sama.
Untuk mewujudkan pemberdayaan perempuan yang benar-benar transformatif, diperlukan perubahan mendasar dalam sistem global. Hal ini mencakup dekonstruksi nilai-nilai maskulinitas toksik, promosi budaya damai, dan penguatan mekanisme akuntabilitas bagi pemimpin, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, peran pemberdayaan perempuan dapat menjadi kekuatan yang mendorong terciptanya dunia yang lebih damai, adil, dan berkelanjutan.
Untuk selalu diingat, pemberdayaan perempuan harus diiringi dengan perubahan struktural dan transformasi nilai di lingkungan yang didominasi oleh laki-laki. Kesadaran gender perlu ditanamkan di seluruh lapisan masyarakat, termasuk laki-laki, agar agenda perempuan tidak lagi disetir oleh kepentingan patriarkal.
Dengan melibatkan semua pihak dalam perjuangan kesetaraan gender, termasuk laki-laki, kita dapat menciptakan dunia yang lebih adil dan damai, di mana perempuan dapat memimpin tanpa dikendalikan oleh sistem yang mengekang.
Referensi:
Antara News. (2023). Anggota parlemen Eropa juluki Ursula Von der Leyen "Bu Genosida" dilansir dari: https://www.antaranews.com/berita/3887850/anggota-parlemen-eropa-juluki-ursula-von-der-leyen-bu-genosida.
Azem, I. (2024). US envoy at the UN Linda Thomas-Greenfield defends using veto against Palestine, ceasefire. Dilansir dari: https://www.newarab.com/news/us-envoy-thomas-greenfield-defends-using-veto-against-palestine,
Watson, E., & Sonderbotschafterin, U. W. (2014). HeForShe. United Nations Headquarters, New York, 20.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI