Mohon tunggu...
Rimas Kautsar
Rimas Kautsar Mohon Tunggu... pegawai negeri -

bismillah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Surat Al Maidah Ayat 51 dalam Sistem Demokrasi dan Prinsip Negara Hukum di Indonesia

13 Oktober 2016   13:42 Diperbarui: 13 Oktober 2016   16:32 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jika ummat Islam yang ber-KTP Jakarta menginginkan seorang Gubernur yang beragama Islam, tegas, santun, berintegritas, anti KKN, memberikan solusi banjir dan macet dengan cara-cara yang manusiawi apakah itu salah?

Demikian halnya jika ummat beragama lain menginginkan seorang Gubernur yang se-agama dengan dirinya, tegas, santun, berintegritas, anti KKN, memberikan solusi banjir dan macet dengan cara-cara yang manusiawi apakah itu juga salah?

Sama halnya jika ada warga yang menginginkan seorang putra daerah yang tegas, santun, berintegritas, anti KKN, memberikan solusi banjir dan macet dengan cara-cara yang manusiawi apakah itu juga salah?

Menurut saya dalam prinsip demokrasi dan negara hukum semua keinginan itu adalah sah sepanjang dijalankan dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan yang hukum berlaku dan kesusilaan, misalnya jika anda ingin memaksakan preferensi pilihan calon Gubernur idaman anda kepada orang lain menggunakan cara-cara kekerasan atau mengintimidasi untuk memaksakan kehendak anda atau melakukan penistaan terhadap suatu agama tertentu dengan tujuan mencari keuntungan-keuntungan politik bagi diri anda sendiri maka itu jelas melanggar hukum sehingga cara-cara ini tidak dibenarkan dalam negara hukum dan sistem demokrasi.

Di sisi lain, seorang Warga Negara Indonesia apapun latar belakang suku dan agamanya secara konstitusi berhak untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur karena dijamin oleh konstitusi sepanjang ia memenuhi persyaratan sesuai hukum yang berlaku, jadi hak yang bersangkutan tidak boleh dihalangi atau dilarang (pengecualian untuk daerah yang berstatus istimewa yang secara konstitusional mengatur secara khusus).

Dalam atmosfer pilkada serentak yang semakin panas ini, ada banyak tokoh yang berbicara soal kebebasan dan persamaan serta menganggap bahwa pendapatnyalah yang paling benar, saya pikir ini sah-sah saja sepanjang dilakukan dalam koridor sistem demokrasi dan negara hukum, artinya ia tidak boleh memaksakan pendapatnya itu dengan menggunakan cara-cara kekerasan atau mengintimidasi untuk memaksakan kehendak anda atau melakukan penistaan terhadap suatu agama, atau menghina orang lain.

Mencermati kondisi yang berkembang, saya pribadi melihat mulai ada fragmentasi di masyarakat dalam memandang masalah ini dan ada kecenderungan beberapa pihak mulai membangun argumentasi dan opini bahwa di negara lain terdapat suatu wilayah atau bahkan negara yang dipimpin oleh seseorang yang berasal dari golongan minoritas (non muslim) sedangkan penduduknya mayoritas muslim dan menyatakan bahwa tidak ada masalah sebagaimana yang terjadi di sini. Bahkan ada juga argumentasi yang dibangun bahwa jabatan Gubernur itu bukanlah jabatan pemimpin melainkan jabatan sebagai pelayan masyarakat. Ada juga orang yang berpendapat bahwa Indonesia bukanlah negara agama melainkan negara Pancasila sehingga orang tersebut menganggap bahwa faktor agama bukanlah faktor yang menentukan pilihan seseorang dalam memilih seorang Gubernur, sehingga persoalan terkait dengan preferensi terhadap calon pemimpin ideal seperti tentang "Surah Al Maidah ayat 51" semakin menimbulkan debat yang berkepanjangan.[1]

Menurut pendapat saya, benar Indonesia adalah negara berlandaskan Pancasila, Indonesia bukanlah negara agama dan bukan juga negara sekuler. Sehingga saat ini sekan-akan sengaja dimunculkan persoalan klasik mengenai relasi antara agama dan negara, sesuatu yang menurut saya seharusnya sudah selesai diperdebatkan, karena berdasarkan “konsensus nasional” kita telah memilih Pancasila sebagai jalan tengah.

Ada hal yang menarik di mana saya pikir ada suatu “kegagalan” dalam melihat persoalan antara ajaran agama Islam dengan persoalan imamah (kepemimpinan), dalam ajaran Islam tidak dikenal prinsip pemisahan antara kehidupan sosial berbangsa dan bernegara dengan kehidupan sebagai seorang muslim, sehingga istilah sekularisme tidak dikenal dalam ajaran Islam. Namun kemudian seringkali hal ini disalahpahami bahwa Islam dianggap tidak cocok dengan sistem demokrasi dan prinsip negara hukum, dalam konteks kekinian berkaitan dengan persoalan “Surah Al Maidah ayat 51”. Selanjutnya muncul pertanyaan apakah benar demikian?

Saya pribadi berpendapat jawabannya adalah tidak, karena Surah Al Maidah ayat 51 itu merupakan seruan atau tuntunan yang ditujukan kepada ummat Islam saja sehingga tidak ditujukan bagi ummat agama lain. Menurut saya sebagai suatu tuntunan dan panduan Surah Al Maidah ayat 51 bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi ummat Islam dalam memilih pemimpin. Ajaran agama Islam memberikan tuntunan kriteria ideal seorang pemimpin. Menurut Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Sa'adi mengatakan ada empat kriteria yang harus dipenuhi agar seseorang layak menjadi pemimpin, yaitu:[2]

  • Pertama, memiliki aqidah yang benar (aqidah salimah);
  • Memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas (ilmun wasi`un);
  • Memiliki akhlak yang mulia (akhlaqul karimah);
  • Memiliki kecakapan manajerial dan administratif dalam mengatur urusan-urusan duniawi.

Sebagai suatu way of life (tuntunan hidup), ajaran agama Islam memiliki karakteristik komprehensif dalam mengatur sendi-sendi kehidupan ummat Islam, semua itu semata-mata ditujukan untuk keselamatan manusia baik di dunia atupun di akhirat.[3]

Muncul persoalan, bagaimana jika ummat Islam di Indonesia tidak mengikuti Surah Al Maidah ayat 51 ini dikaitkan dengan sistem demokrasi dan negara hukum?

Menurut saya konsekuensi hukum yang timbul dari hal itu adalah tidak ada karena tidak ada satupun undang-undang di Indonesia yang menyatakan bahwa ummat Islam Indonesia akan dikenakan tindak pidana jika anda tidak mengikuti tuntunan Surah Al Maidah ayat 51. Meskipun, menurut saya bahwa dengan begitu ummat Islam Indonesia sudah melewatkan suatu kesempatan emas untuk memilih pemimpin yang ideal menurut ajaran agama Islam.

Dalam konteks demokrasi hukuman dari pilihan setiap warga negara dalam pemilihan umum adalah dirinya akan dipimpin oleh pemimpin yang terpilih melalui proses pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah selama 5 (lima) tahun, jadi suka atau tidak suka maka selama masa 5 (tahun) orang itulah (yang terpilih secara sah menurut hukum) yang menjadi Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota anda.

Kemudian dalam konteks negara hukum, berdasarkan hukum yang berlaku maka hubungan antara kepala pemerintahan dengan rakyat diatur dengan hukum. Masing-masing pihak, baik kepala pemerintahan atau rakyat memiliki hak dan kewajiban yang sudah diatur di dalam hukum, dan berdasarkan hukum pula barang siapa melanggar hukum, baik dia berkedudukan sebagai rakyat atau kepala pemerintahan maka akan dikenakan proses hukum, serta, jika berdasarkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (in kracht) bahwa ia dinyatakan bersalah, maka ia akan mendapatkan hukuman berdasarkan hukum yang berlaku.

Persoalan selanjutnya, bagaimana jika ummat agama lain tidak mengikuti Surah Al Maidah ayat 51 dikaitkan dengan sistem demokrasi dan negara hukum?  Menurut saya konsekuensi hukum yang timbul dari hal itu adalah tidak ada, ummat agama lain akan dikenakan sanksi pidana jika tidak mengikuti Surah Al Maidah ayat 51, jadi tidak ada yang perlu dipermasalahkan atau dikhawatirkan terhadap masalah ini.

Persoalan selanjutnya, bagaimana jika ada calon Presiden atau calon Gubernur atau calon Walikota/Bupati merasa dirugikan dengan adanya Surah Al Maidah ayat 51 ini?

Menurut pendapat saya, ini pertanyaan yang sangat lucu dan aneh, karena Surah Al Maidah ayat 51 bukanlah suatu norma hukum positif di Indonesia, jadi bagaimana bisa seorang calon Presiden atau calon Gubernur atau calon Walikota/Bupati merasa dirugikan dengan adanya Surah Al Maidah ayat 51 ini? Dalam demokrasi dan prinsip negara hukum, setiap calon Presiden atau calon Gubernur atau calon Walikota/Bupati yang sudah memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan akan diperlakukan sama serta memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum. Jadi adalah tidak relevan jika ada calon Presiden atau calon Gubernur atau calon Walikota/Bupati merasa dirugikan dengan adanya Surah Al Maidah ayat 51 karena Surah Al Maidah ayat 51 tidak membawa konsekuensi hukum apapun bagi dirinya atau pencalonan dirinya sebagai calon Presiden atau calon Gubernur atau calon Walikota/Bupati. Jadi kesimpulannya adalah tidak tepat jika ada calon Presiden atau calon Gubernur atau calon Walikota/Bupati merasa dirugikan dengan adanya Surah Al Maidah ayat 51 ini.


[1] Terjemahan Surat Al Maidah ayat 1 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

[2] 4 Kriteria Ideal Menurut Islam

[3] Terjemahan Surah Ibrahim ayat 1 berbunyi “Alif, laam raa. (ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun