Mohon tunggu...
Rimas Kautsar
Rimas Kautsar Mohon Tunggu... pegawai negeri -

bismillah

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Membangun Masa Depan Demokrasi Lokal Dengan Memperkuat Pemberantasan Korupsi

1 Oktober 2014   01:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:52 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tanggal 25 September 2014 Rapat Paripurna DPR memutuskan untuk mengesahkan opsi pilkada oleh DPRD, ini adalah akhir dari pertarungan politik di DPR antara koalisi pendukung pilkada oleh DPRD (yang dimotori oleh fraksi-fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih) dan koalisi pendukung pilkada langsung (yang dimotori oleh FPDI-P dan FPKB), sedangkan fraksi terbesar di parlemen yaitu FPD lebih memilih walk out karena usulan “jalan tengah”nya tidak direspon positif oleh fraksi-fraksi lain di DPR. Manuver politik walk out-nya FPD inilah yang dituduh oleh FPDI-P sebagai biang kekalahan voting opsi pilkada langsung.

Tulisan ini tidak untuk mempersoalkan kembali perdebatan antara pilkada langsung vs. pilkada oleh DPRD, namun lebih untuk memberi perenungan kembali politik hukum pasca disahkannya RUU Pilkada dan RUU Pemda. Parlemen ternyata lebih memilih untuk menerapkan opsi pemilihan kepala daerah oleh DPRD baik di tingkat Kota/Kabupaten dan Provinsi.Beberapa pihak menyatakan ini sebagai sebuah kemunduran bagi demokrasi karena memasung hak rakyat untuk memilih langsung kepala daerahnya, dan kekuatan partai politik seperti Partai Demokrat dan PDI-Perjuangan langsung menyatakan akan mengajukan permohonan uji materi UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi, hal yang sama juga akan dilakukan oleh elemen masyarakat sipil seperti Perludem. Tindakan tersebut adalah suatu hal yang positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita, karena masing-masing pihak yang merasa dirugikan dengan adanya UU Pilkada dan UU Pemda menempuh jalur yang konstitusional, meskipun di sisi lain media massa masih melakukan “perang opini” dengan memberi gambaran protagonis dan antagonis pada elit-elit politik negeri ini.

Namun demikian ada yang perlu diingat adalah mengenai apa selanjutnya yang akan terjadi pasca pengesahan oleh DPR terhadap RUU Pilkada? Karena yang menarik adalah Presiden SBY terkesan enggan untuk menandatangani UU tersebut karena tidak sesuai dengan keinginan pribadinya yang lebih memilih opsipilkada langsung. Hal yang demikian adalah bentuk penolakan moral saja, karena meskipun Presiden tidak menandatangani UU Pilkada yang sudah disahkan oleh DPR tersebut maka UU Pilkada akan otomatis diundangkan dan berlaku dalam tempo 30 hari setelah UU tersebut disahkan oleh DPR (Pasal 20 Ayat (5) UUD 1945 Amandemen).

Hal yang menarik selanjutnya bagaimana nasib UU Pilkada dan UU Pemda ini? Meskipun UU Pilkada dan UU Pemda diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi bukan berarti UU ini tidak berlaku dan inskonstitusional, karena seperti halnya asas presumpstion of innocence dalam hukum pidana, yaitu seorang tersangka atau terdakwa harus dianggap tidak “bersalah” sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka dalam hukum konstitusi suatu undang-undang harus dianggap konstitusional sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan sebaliknya. Jadi semua pihak tanpa ada kecualinya harus menaati UU Pilkada dan UU Pemda ini.



Memperkuat KPK

Kekhawatiran terbesar mengenai Pilkada oleh DPRD ini adalah akan maraknya kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme antara calon Kepala Daerah dengan para Anggota DPRD yang akan memilihnya sebagai Kepala Daerah. Tentu hal ini sangat tidak kita inginkan, untuk itu maka diperlukan adanya mekanisme untuk membatasi ruang gerak orang untuk berbuat korupsi, yaitu dengan upaya sebagai berikut:


  1. Memperkuat kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi;
  2. Mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset.

Kelembagaan KPK perlu diperkuat sebab kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum di bidang pemberantasan korupsi seperti Polri dan Kejaksaan masih lebih rendah dibandingkan kepercayaan terhadap KPK. Polri dan Kejaksaan dianggap masih kurang gesit dalam memberantas korupsi dan adanya kekhawatiran masyarakat bahwa integritas aparat Polri dan Kejaksaan masih di bawah aparat KPK karena masih ada aparat Polri dan Kejaksaan yang terindikasi terlibat korupsi atau malah mempermainkan proses penegakkan hukum di bidang korupsi, contohnya seperti kasus Jaksa Urip Tri Gunawan dan Jaksa Cirus Sinaga yang menodai isntitusi Kejaksaan serta kasus Brigjen Pol. Samuel Ismoko dan Irjen Pol. Djoko Susilo yang menodai institusi Polri. Kita sama-sama yakin saat ini pimpinan Polri dan Kejaksaan berjuang keras untuk memperbaiki dan menegakkan disiplin dari jajarannya dalam rangka pemberantasan korupsi, namun tetap efek gentar penindakan kasus korupsi di mata masyarakat masih melekat pada sosok KPK, sehingga kelembagaan KPK harus lebih diperkuat. Lalu bagaimana cara memperuat kelembagaan KPK, hal ini dapat dilakukan dengan cara berikut:


  1. Membentuk cabang regional KPK, misalnya untuk Indonesia bagian barat, tengah dan timur;
  2. Menambah jumlah penyidik KPK yang hanya berkisar 50-an orang dan jaksa KPK;
  3. Menambah anggaran pendanaan KPK;
  4. Memberi fasilitas infrastruktur kepada KPK seperti gedung kantor permanen dan rumah tahanan KPK.

Ada kritikan mengenai pembentukan cabang regional KPK ini karena dianggap sebagai pemborosan uang negara, dalam perspektif pemberantasan korupsi saya pikir ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam hal ini:


  1. Adanya cabang regional KPK adalah untuk mengimbangi rentang kendali wilayah NKRI yang begitu luas dan untuk memasifkan upaya pemberantasan korupsi sampai ke daerah-daerah sebab, lembaga-lembaga lain seperti peradilan Tipikor dan Badan Pemeriksa Keuangan juga sudah memiliki cabang dan perwakilan di daerah;
  2. Besarnya uang negara yang bisa diselamatkan kita asumsikan lebih besar dibandingkan dengan besarnya biaya operasional KPK di cabang regional;
  3. Upaya pemberantasan korupsi tidaklah semata-semata dimotifkan pada aspek efektivitas dan efisiensi anggaran semata tetapi juga aspek menjaga wibawa hukum di mata masyarakat.

Optimisme mengenai penguatan kelembagaan KPK ini dapat peroleh dari janji politik para Capres/Cawapres pada saat kampanye Pilpres 2014 seperti janji Jokowi-JK yang akan terus mendukung KPK dalam pemberantasan korupsi dengan meningkatkan anggaran KPK menjadi 10 kali lipat dan menambah ribuan penyidik (KPK Catat Janji Prabowo dan Jokowi, Sindonews.com, 27 Juni 2014) dan janji Prabowo-Hatta untuk memperkuat KPK (Prabowo Janji Perkuat KPK, Abraham Hanya Tersenyum, Merdeka.com, 25 Juni 2014), ini artinya bahwa ide penguatan kelembagaan KPK diharapkan tidak akan menemui hambatan politik sebab baik pemenang pemilu pilpres maupun koalisi oposisi di parlemen sama-sama telah membuat janji politik untuk memperkuat KPK.



Mewujudkan UU Perampasan Aset

Dalam sistem hukum di Indonesia perampasan aset sebebanrnya sudah diatur namun dalam porsi yang sangat terbatas, yaitu dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Perampasan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Lain. Meskipun sudah ada Perma dimaksud, namun cakupannya masih terbatas karena sebagai alasan berikut:

1.Perma No. 1 Tahun 2013 ini merupakan pelaksanaan Pasal 67 Ayat (2) dan (3) UU No. 8 Tahun2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, cakupannya hanya terbatas pada aset berupa uang yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang yang tidak dapat “ditemukan” siapa pemilik uang tersebut;

2.Perma No. 1 tahun 2013 sengaja dipersiapkan untuk mengisi kekosongan aturan tentang mekanisme perampasan aset, sebab hingga saat ini draft RUU Perampasan Aset masih dipersiapkan oleh pemerintah untuk dibahas bersama-sama dengan DPR (MA Terbitkan Perma Perampasan Aset, Hukumonline.com, 7 Februari 2013).

Dengan adanya Perma No. 1 Tahun 2013 jelas masih dirasa kurang sebagai alat untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi dan mempersempit ruang gerak para koruptor.

Lalu bagaimana dengan nasib RUU Perampasan Aset? Kepala PPATK Muhammad Yunus sudah mengajukan konsep perampasan aset tanpa tuntutan pidana (llicit enrichment). Konsep tersebut dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang naskahnya sudah diusulkan PPATK ke Kementerian Hukum dan HAM sejak tahun 2013 (PPATK Usulkan Ada RUU Perampasan Aset Koruptor, Tempo.com, 16 April 2013). Menurut Deputi Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, Mas Achmat Santosa memberikan penjelasan mengenai apa itu illicit enrichment dalam RUU Perampasan Aset sebagai berikut:


  1. Prinsip yang digunakan dalam dugaan illicit enrichment adalah logika deduktif, yang diperiksa adalah asapnya bukan apinya, yaitu tindak pidana yang memungkinkan kekayaan yang tidak wajar;
  2. Penerapan metode pembuktian terbalik serta standar pembuktian yang lebih rendah. Kualitas standar pembuktian perampasan aset lebih rendah dibandingkan dengan standar pembuktian pengadilan pidana, karena biasanya menggunakan standar pembuktian mirip pengadilan perdata namun menggunakan konsep pembuktian terbalik, karena perampasan aset menerapkan asas in rem bukan in personam, jadi yang dikejar adalah aset hasil tindak pidana, aset yang terkait tindak pidana, atau aset yang digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana bukan pelaku tindak pidananya (-catatan dari penulis-);
  3. Penerapan illicit enrichment diharapkan bisa mengefektifkan upaya pemberantasan korupsi, terutama yang dilakukan oleh penyelenggaranegara.

Mas Achmad Santosa juga mengkritisi draft RUU Perampasan Aset tersebut dengan menyarankan agar objek pengaturan dibatasi pada pejabat negara, karena tujuan utamanya adalah pemberantasan korupsi (PPATK Usulkan Ada RUU Perampasan Aset Koruptor, Tempo.com, 16 April 2013).

Meskipun RUU Perampasan Aset sudah dinisiasi sejak tahun 2013 namun ternyata pembahasannya belum selesai antara Pemerintah dan DPR, posisi RUU Perampasan Aset saat ini malah sudah masuk dalam agenda Prolegnas tahun 2015, itu artinya kecil kemungkinan RUU Perampasan Aset akan disahkan DPR pada tahun ini. Adalah tugas kita bersama untuk mengawal terwujudnya UU Perampasan Aset dengan maksud khusus untuk mempersempit ruang gerak terjadinya praktik korupsi dalam Pilkada oleh DPRD, dengan demikian dapat mewujudkan demokrasi lokal yang lebih sehat meskipun konsep demokrasi lokal yang dilaksanakan itu adalah demokrasi perwakilan bukan demokrasi langsung.

(tulisan ini adalah opini pribadi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun