Lihat smartphone Anda, amati broadcast yang beredar. Lihat lini masa media sosial Anda. Orang-orang seperti berlomba membagikan informasi terkini, ulasan paling detil, paling mengerikan sisi paling sensasional yang mereka dapat lebih dulu. Lalu kata-kata ‘s***mi’ menjadi familiar, meningkat frekuensi penggunaannya.
Ada bagusnya tentu. Kewaspadaan orang tua meningkat. Orang tua yang cemas ini mencari tahu cara-cara menghindari kekerasan seksual, mulai meningkatkan pengawasan pada anak-anaknya. Kita semua takut kecolongan. Kita semua khawatir.
Seiring dengan kekhawatiran yang memuncak, kecemasan yang bertambah, informasi terus saja disebarkan. Kita menjadi konsumen yang ‘terpaksa’ rajin menenggak ramuan berita vulgar dan deskripsi detil dan kronologilengkap kejadian. Tanpa kita sadari, kita tahu anak-anak, adik-adik, keponakan kita, anak-anak tetangga kita, terbawa menjadi konsumen berita yang sama. Televisi terus menayangkan berita yang lebih tajam lagi, berbagai media online mengulas yang lebih membuat perut menggelegak dan mereka yang belum cukup umur, mereka yang belum cukup punya kemampuan memahami, dipaksa menerimanya lebih dini.
“Pedofil itu apa, Bunda?”
“S***mi’ itu diapain sih sebenernya?”
Anda dan kita semua menjadi harus menceritakan lebih dini kepada mereka. Bahkan mendahului informasi lain yang seharusnya mereka terima lebih dahulu: kesadaran tentang tubuh, kesadaran tentang hak terhadap tubuh, kesadaran bahwa mereka berharga, yang perlu ditanamkan lebih dahulu dibandingkan pengetahuan yang pada saatnya kemudian, baru bisa dicerna.
Kabar lainnya adalah, anak memiliki rasa ingin tahu yang lebih tinggi daripada orang dewasa. Mata mereka terbuka lebih besar daripada mata kita. Semua hal adalah baru. Spons dengan rongga-rongga menganga di dalam kepalanya, siap menyerap apa saja. Ketika Anda tidak memiliki upaya dan waktu yang cukup, cara yang baik dan tepat menyampaikannya, media siap sedia menayangkan apa saja dalam genggaman mereka. Teman-teman mereka dengan senang hati akan menjelaskannya pada mereka. Bahkan mungkin dengan cara-cara yang tidak bisa Anda bayangkan sebelumnya.
Sebuah teori; vicarious learning, dikemukakan oleh pakar Psikologi belajar: Albert Bandura. Ia bereksperimen tentang teori belajar sosial. Belajar secara tidak langsung dari contoh. Hasilnya mengonfirmasikan bahwa perilaku seseorang secara kuat dipengaruhi oleh bagaimana ia mempelajari perilaku orang lain yang dilihatnya di media (Bandura, 1971). Bagaimana eksperimennya? Sekelompok anak yang melihat melalui kamera orang dewasa yang melakukan tindakan agresif pada boneka. Anak-anak itu kemudian mengulani perilaku yang sama kepada bonekanya.
Bukankah kita, belajar sebagian besar dari perilaku dan keterampilan yang kita lakukan melalui meniru? Kita melakukan imitasi tentang bagaimana orang bersikap, kita meniru model perilaku orang yang sering kita lihat. Ketika Anda berada pada sebuah lingkungan baru, Anda mengamati apa yang dilakukan orang lain. Ketika Anda sedang makan di sebuah lingkungan baru, tidak tahu cara makan kepiting di daerah itu. Anda melihat kanan dan kiri, mengamati apa yang orang lain perbuat dengan kepitingnya, Anda kemudian menirukannya secara persis. Mengapa? Di kepala Anda tidak ada stok bagaimana cara Anda membuka cangkang kepiting. Apa yang ada di depan mata, itulah jawabannya. Begitu juga dengan adik, anak, teman, saudara siapapun yang tadinya tidak tahu menahu tentang pedofilia, tidak pernah mendengar kata S yang memuakkan itu, saat ini saat banyak orang menayangkannya, mereka sedang belajar. Belajar dengan risiko yang sangat amat tinggi dan berbahaya.
Tanpa sadar, niat awal kita yang baik, membuat orang waspada, membuat orang lebih hati-hati atau mengungkapkan kemarahan dan kepedulian Anda untuk berbagi pada orang lain, berakibat terbalik. Anda sedang mengajari orang sekitar Anda tentang kekerasan dan pornografi dengan menyebarkannya.
Kekerasan dan pornografi memiliki kemiripan. Kedua insting itu terdapat dalam diri kita, demikian pakar psikoanalisa berkata. Masih ingat tentang berita sejoli muda yang membunuh teman dan mantan pacarnya? Tidak lama setelah berita itu hangat, di tempat lain, tersiar kabar sekelompok anak mengeroyok temannya. Ya, itu semua ‘hasil belajar’. Hasil melihat, berulang, dan terus menerus diulang oleh media. Efek negatif yang sulit dihindarkan dari media.
Anda tentu ingin lingkungan terdekat Anda aman, terlindung dan terhindar dari kejahatan bentuk apapun. Mulai lah dengan melindungi sekitar Anda, dengan lebih hati-hati menyebarkan, me-repost, me-retweet, mem-broadcast berita sensasional itu. Fokuslah dan banjiri diri Anda dan sekitar Anda dengan edukasi pencegahan, dengan pendidikan dan pengawasan penuh kasih sayang, bukannya kecemasan. Jangan biarkan kapasitas berpikir Anda dan orang sekitar Anda pun terisi dengan berita negatif itu. Pada akhirnya banyak hal lain yang perlu difokuskan, dibicarakan. Fokus pada hal yang positif. Energy flows where the attention goes. Sehingga Anda tidak menjadi agen-agen penularan kekerasan dan pornografi, namun fokus pada pemberdayaan diri dan kebaikan banyak orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H