Era globalisasi memberikan warna tersendiri pada munculnya limbah makanan. Dengan adanya konektivitas antar wilayah di dunia membuat rantai pasokan bisa menjadi lebih panjang dan hampir dapat dipastikan makanan tersedia di mana-mana, misalnya apel amerika di Indonesia, mangga Indonesia ada di Australia sepanjang tahun.Â
Panjangnya rantai pasokan makanan mulai dari pertanian sampai hadir di atas meja makan akan mengalami penurunan jumlah atau hilang dalam setiap tahapan perpindahan.
Secara umum, sisa makanan dan kehilangan makanan merupakan pengertian yang biasanya digunakan oleh khalayak umum yang memiliki perbedaan arti. Pada terminologi sisa makanan lebih mengarah pada produk-produk makanan yang dikonsumsi tetapi dibuang oleh konsumen, produsen serta distributor (agen).
Sebuah laporan yang dikeluarkan oleh badan Organisasi Pangan Dunia (FAO) menyampaikan bahwa hampir tidak ada perbedaan tentang volume limbah makanan yang dihasilkan antara negara industri maju maupun negara berkembang, di mana jumlah limbah yang dihasilkan berkisar antara 630 juta ton hingga 670 ton.Â
Lebih lanjut, organisasi tersebut juga melaporkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan tentang bagaimana dan kerugian yang ditimbulkan oleh limbah makanan tersebut.Â
Pada negara-negara berkembang, terjadinya kerugian lebih sering terjadi pada masa-masa awal proses pemanenan, di mana sekitar 83 persen makanan hilang pada proses produksi, penanganan, penyimpanan, dan pemrosesan. Hanya sebagian kecil yang hilang ketika berada di konsumen.
Terdapat pertanyaan yang cukup menarik untuk menjadi catatan terkait dengan hilangnya makanan saat proses produksi di pertanian.Â
Beberapa hal yang diduga sebagai penyebab antara lain, kondisi iklim yang tidak menentu pada masing-masing wilayah, keterbatasan teknologi mulai saat proses penanaman hingga proses panen, serta belum adanya pemenuhan terhadap standar dari hasil produk pertanian.Â
Selain itu, makanan juga mengalami kehilangan setelah pasca panen seperti proses handling, penyimpanan, dan proses transfer ke wilayah lainnya.
Pada permasalahan makanan yang menjadi limbah sering terjadi akibat tingginya jumlah volume makanan yang dimiliki pada negara-negara maju. Selain itu, terdapat faktror kebiasaan konsumen yang juga memberikan kontribusi penting terjadinya pemborosan makanan dalam aliran rantai pasok makanan.
Beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya limbah makanan antara lain, adanya konsep "all you can eat" pada beberapa restauran dan penawaran makanan "beli satu dapat satu". Hal ini berpotensi memengaruhi konsumen membeli lebih banyak makanan dibanding dengan kemampuan yang mereka makan.Â
Sehingga hal ini berdampak pada pemborosan pendapatan dan potensi munculnya sisa makanan. Selain itu, adanya standar yang cukup ketat di beberapa negara maju terkait dengan standar makanan yang dipengaruhi oleh perilaku konsumen.Â
Sebagai contoh, konsumen menginginkan kualitas makanan seperti ukuran, bentuk, tekstur, dan tingkat kematangan. Sehingga, hal ini mendorong para supplier dan petani mulai mengikuti apa yang konsumen inginkan.
Selain masalah kualitas produk makanan, seringkali para konsumen juga mempunyai keinginan yang berbeda tentang varian produk makanan. Ini mendorong dunia industri makanan untuk berupaya memenuhi harapan konsumen.Â
Sehingga, seringkali produk makanan olahan yang dihasilkan dari industri makanan akan habis dengan percuma dan menjadi limbah karena melewati masa pakainya.Â
Lebih lanjut, konsep pemberian label pada produk makanan juga memiliki potensi peningkatan volume limbah makanan. Sebagai contoh, beberapa produk memberi label "dihasilkan dari bahan-bahan pilihan terbaik...", "didistribusikan oleh...". Hal ini juga dapat memengaruhi perspektif pelanggan terhadap produk makanan yang dijual dan pada akhirnya hanya menjadikan produk makanan olahan tersebut menjadi limbah.
Nah, sekarang apa yang menjadi kekhawatiran dari limbah makanan tersebut?Â
Ketika produk olahan makanan menjadi terbuang atau menjadi limbah, maka coba kita tarik ke belakang sedikit saat pertama kali proses penanaman dilakukan.Â
Berapa banyak sumber daya yang dibutuhkan untuk menjadikan hasil pertanian menjadi produk makanan? Berapa banyak bahan bakar yang digunakan selama proses pemindahan, berapa banyak alih fungsi lahan yang terjadi ketika membuka lahan pertanian atau perkebunan, berapa banyak air untuk proses irigasi saat penanaman,?
Sebagai ilustrasi saja, penggunaan air dalam selama proses penanaman. Air yang digunakan adalah air tawar, di mana air tawar merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat berharga di Bumi karena volume yang sangat terbatas. Sebagai contoh, untuk menghasilkan satu buah apel akan membutuhkan 125 liter air.Â
Jika kita membuang sebuah apel, maka hal ini sama saja dengan membuang 125 liter air dengan sia-sia. Sementara itu, pada dunia perternakan juga hampir sama dengan pertanian. Untuk dapat menghasilkan satu kilogram daging sapi akan membutuhkan volume air sekitar 15 ribu liter.
Selain air, sumber daya alam yang juga digunakan pada pertanian dan peternakan adalah tanah. Dengan terjadinya peningkatan populasi penduduk mendorong semakin terbatasnya luas lahan yang ada di Bumi.Â
Untuk dapat menjadi lahan pertanian ataupun peternakan seringkali yang terjadi adalah mengubah fungsi lahan hutan yang mendorong terjadinya deforestasi dan menghilangkan satwa liar dan pada akhirnya hilangnya keanekaragaman hayati satu wilayah. Selain itu, deforestasi juga berpotensi menghilangkan jenis tanaman yang mampu menyerap gas rumah kaca.
Menurut studi yang dilakukan oleh FAO, setidaknya terdapat sekitar 3 milyar ton jejak karbon dari limbah makanan per tahun. Hal ini diakibatkan bukan hanya penggunakan bahan bakar fosil tetapi juga bahan bakar pencemar lainnya selama proses berlangsung.Â
Selain itu, sampah makanan yang dibuang akan mengalami proses pembusukan di tempat sampah dan akan mengeluarkan gas metana yang merupakan salah satu penyebab terjadinya gas rumah kaca.
Dengan mengetahui beberapa dampak yang terjadi, maka perlu kita lakukan beberapa hal terkait dengan pengurangan limbah makanan. Tahapan awal yang dapat dilakukan adalah saat proses produksi mulai penanaman hingga pengolahan di industri.Â
Peningkatan pelatihan bagi petani dan investasi publik dan swasta dalam infrastruktur pertanian dan peternakan dapat mengurangi terjadinya pemborosan. Dengan adanya teknologi yang tepat guna dan penggunaan sumber daya energi terbarukan akan memberikan dampak signifikan selama proses penanaman.
Program lain yang dapat dilakukan adalah mendonasikan kelebihan makanan yang layak pada orang-orang yang tidak mampu. Sebagai contoh, salah satu pengecer di Inggris bekerja sama dengan perusahaan perangkat lunak FareShare FoodCloud untuk memberitahu badan amal setempat tentang kelebihan makanan yang tersedia yang dapat diambil.Â
Lebih lanjut, pembuangan makanan oleh supermarket yang tidak digunakan dianggap tindakan yang ilegal di negara Perancis. Di negara Denmark sebuah perusahaan menjual hasil makanan olahan yang melewati tanggalnya dengan harga yang lebih murah dibanding dengan harga supermarket normal.
Beberapa inisiatif juga dapat dilakukan dengan mengubah kelebihan makanan menjadi lebih memiliki nilai. Sebagai contoh, kelebihan bahan makanan seperti kentang yang dikonversi menjadi bioplastik, sisa makanan menjadi biogas yang dapat menjadi energi di rumah tangga, pembuatan tepung dari bahan singkong atau ubi dan lain-lain.
Yang tidak kalah pentingnya adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang perilaku konsumen dalam membeli makanan. Sebagai contoh, pengembangan metode untuk meningkatkan kesadaran siswa di Amerika Utara mengenai limbah makanan. Misalnya, siswa diajak untuk mengukur volume limbah makanan melalui aktivitas audit limbah. Â
Selain itu, peningkatan pengetahuan masyarakat tentang limbah makanan juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi media sosial dan aplikasi lainnya dalam rangka membangun pemahaman yang sinergis di masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H