Penderitaan kita sepertinya belum berakhir dimasa pandemik Covid-19. Terdapat ancaman lainnya yang bisa saja datang sewaktu-waktu ditengah pandemik ini yaitu BANJIR. Banjir….Satu kata yang akrab ditelinga kita.Â
Kata banjir hampir tidak pernah berhenti diucapkan oleh orang-orang mulai dari pedagang sayur keliling, sopir angkot, anak sekolah sampai mahasiswa dan para pejabat pemerintah. Apalagi ditengah-tengah musim penghujan seperti yang terjadi saat ini, potensi risiko bencana banjir akan menghantui kita bersama.
Dikatakan bencana karena banjir menimbulkan potensi kerusakan dan memiliki dampak negative bagi masyarakat seperti kerusakan material masyarakat sampai korban jiwa. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mencatat sebanyak 1927 kejadian bencana alam, dimana 99 persen adalah bencana hidrometerologi seperti banjir, tanah longsor dan banjir bandang.Â
Kejadian ini menyebabkan sebanyak 290 orang meninggal duni dan hilang sementara yang mengalami cidera sebanyak 400 orang dan mengungsi sebanyak 3.8 juta.Â
Sementara itu, menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), banjir tetap menjadi bencana terbesar ketiga di dunia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Institute of Environmental Studies, lebih dari 60% kota di dunia akan rentan terhadap banjir dalam 30 tahun mendatang sebagai akibat dari perubahan iklim akibat pengaruh kenaikan permukaan laut.
Melihat data tersebut merupakan cerminan bahwa banjir merupakan ancaman bagi penduduk dan aktivitas kesehariannya. Selain itu, dampak kerusakan yang diakibatkan oleh banjir merupakan indicator kurangnya kesiapan kita semua terhadap bencana banjir.Â
Banyak studi yang menunjukkan bahwa sebagian masalah ini diakibatkan  oleh adanya perubahan tata ruang wilayah yang disebabkan dari aktivitas manusia, tingginya curah hujan dan kenaikan air laut.Â
Selain itu, terjadinya peningkatan degradasi lingkungan seperti tumbuhan penutup tanah pada catchment area sudah mulai berkurang, rendahnya peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah, sedimentasi yang menyebabkan pendangkalan pada sungai, penyempitan hingga hilangnya alur sungai dan sebagainya.
Banjir tidak pernah memilih korbannya baik di daerah pedesaan maupun perkotaan, mau orang kaya atau orang miskin. Genangan sawah akibat banjir yang menyebabkan gagal panen di pedesaan sampai menghanyutkan atau menghancurkan perumahan dan pemukiman di perkotaan.Â
Banjir juga memberi dampak tambahan seperti terganggunya kegiatan ekonomi dan pemerintahan. Selain itu, banjir juga akan memberikan pengaruh pada beban keuangan negara untuk rehabilitasi dan pemulihan sarana publik yang dihancurkan oleh banjir.
Banjir bukan hanya menyebabkan sawah tergenang sehingga tidak dapat dipanen dan meluluhlantakkan perumahan dan permukiman, tetapi juga merusak fasilitas pelayanan sosial ekonomi masyarakat dan prasarana publik, bahkan menelan korban jiwa.Â
Kerugian semakin besar jika kegiatan ekonomi dan pemerintahan terganggunya, bahkan terhentinya. Meskipun partisipasi masyarakat dalam rangka penanggulangan banjir sangat nyata. terutama pada aktivitas tanggap darurat, namun banjir menyebabkan tambahan beban keuangan negara, terutama untuk merehabilitasi dan memulihkan fungsi parasana publik yang rusak.
Kejadian banjir selalu berulang pada tiap tahunnya dan membutuhkan usaha-usaha yang lebih besar sebagai antisipasi guna mencegah kerugian yang lebih besar. Upaya pemerintah yang menggunakan pendekatan struktural belum sepenuhnya menyelesaikan masalah banjir di Indonesia.Â
Banyak studi menunjukkan bahwa penanggulangan banjir yang telah dilakukan lebih fokus pada tersedianya infrastruktur pengendali banjir guna mengeliminasi risiko dampak bencana. Disamping itu, implementasi di lapangan juga belum optimal bahkan terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga terkadang efektifitasnya sering menjadi debat pada berbagai kalangan, baik akademisi maupun politik.
Hingga saat ini banyak penelitian di bidang pendataan banjir, pemantauan banjir, prediksi banjir, deteksi banjir, sistem peringatan dini dan visualisasi data yang bertujuan untuk mengurangi potensi dampak bencana banjir melalui prediksi dini. Perkembangan terkini dalam teknologi informasi dan internet memberikan peluang besar untuk meningkatkan kegiatan manajemen risiko bencana.Â
Internet saat ini berkembang ke beberapa arah dan teknologi seperti Internet of Things (IoT). Sebelumnya ini dikenal sebagai "Internet of Everything", "machine-to-machine (M2M)", "physical computing" dan bahkan "ubiquitous computing". Saat ini, Internet of Things telah menjadi salah satu teknologi yang digunakan sebagai bahan kajian untuk meningkatkan bidang penanggulangan bencana yang berfokus pada banjir.
Teknologi IoT memberikan manfaat dalam hal pemantauan, pelacakan, pengendalian dan penginderaan lingkungan menggunakan data real time. Penelitian yang dilakukan Fang dkk, memperkenalkan penggunaan IoT untuk meningkatkan pemantauan lingkungan dan tugas manajemen di China. Hasil dari studi kasus mereka menunjukkan bahwa Sistem Informasi Terpadu berbasis IoT sangat berharga dan efisien untuk tugas-tugas kompleks dalam pemantauan dan pengelolaan lingkungan.Â
Kecanggihan IoT juga dapat diaplikasikan untuk menyediakan antarmuka untuk manajemen streaming data secara real time dan di bagian belakang menyediakan analisis dan visualisasi data. Dalam pendekatan ini, data yang dikumpulkan akan terus dikirim melalui infrastruktur komunikasi Internet, ke komponen perangkat lunak.Â
Komponen perangkat lunak dirancang untuk menghitung aliran sungai dan untuk mengukur distribusi spasial risiko banjir untuk setiap DAS yang dikendalikan. Lebih lanjut, IoT juga dapat menjadi salah satu metode dalam memprediksi kemungkinan terjadinya banjir di suatu wilayah sungai dengan menggukur ketinggian air dan kondisi cuaca yang berbeda secara real time.
Dalam rangka mengurangi potensi risiko bencana bagi masyarakat dapat dilakukan tindakan struktural dan non struktural. Pada tatanan aktivitas struktural dapat menggunakan perbaikan infrastruktur untuk pengendalian banjir seperti perbaikan sungai, bendungan multiguna, drainase bawah tanah dan pintu pasang surut.Â
Sementara itu, aktivitas non-struktural merupakan pekerjaan yang berkaitan dengan teknologi, pembuatan kebijakan dan pedoman serta bantuan kemanusiaan selama kejadian banjir. Salah satu tugas yang termasuk dalam tindakan non-struktural adalah sistem peringatan dini. Sistem peringatan dini digunakan untuk memperingatkan masyarakat sebelum banjir terjadi.Â
Peringatan yang dikirimkan bertujuan untuk memberi peringatan dan memberikan waktu tambahan bagi masyarakat untuk bersiap-siap sebelum banjir terjadi. Untuk menghasilkan peringatan, banjir perlu diprediksi menggunakan sistem perkiraan banjir.
Perkiraan banjir diperlukan karena ini akan membantu mengurangi efek banjir dan perencanaan kejadian banjir. Keluaran dari perkiraan banjir dapat menjadi masukan untuk sistem peringatan dini berbasis IoT.Â
Dengan demikian, pengelolaan bencana banjir dapat mengaplikasikan IoT sebagai salah satu mekanisme sistem tanggap bencana karena IoT difokuskan pada tahap prabencana. Selain itu, penggunaan IoT dapat menjadi alternatif solusi bagi kita ditengah masa pandemik Covid-19 ini dalam pengurangan dampak bencana banjir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H