Sebuah artikel yang berjudul “Terjadi Pergeseran Makna, "Hari Ibu" Berbeda dengan "Mother's Day” yang ditayangkan pada 13 Desember 2020, dimana menurut penilaian Giwo Rubianto Ketua Kowani (Konggres Wanita Indonesia) telah terjadi pergeseran makna pada masyarakat terutama pada kalangan Milenial.
Lebih lanjut, dalam peringatan hari ibu lebih memiliki nilai sejarah pergerakan perempuan yang menggambarkan kebangkitan kaum wanita dalam perjuangan bangsa Indonesia. Hari ibu yang biasanya diperingati pada tanggal 22 Desember adalah salah satu momen untuk mengenang dan memberikan penghargaan pada perjuangan perempuan saat masa-masa kemerdekaan bangsa Indonesia.
Banyak sekali aktivitas yang biasanya dilakukan dalam memperingati hari ibu seperti kegiatan sosial, ziarah ke taman makam pahlawan atau mengadakan bazaar dan lain-lain. Pada tahun 2020 ini, peringatan hari ibu akan mengangkat beberapa isu peranan perempuan yang marak di Indonesia seperti kewirausahaan, pendidikan anak, kekerasan pada perempuan dan anak, pekerja anak dan perkawinan dini.
Apabila ditinjau dari isu yang diangkat pada peringatan hari ibu di tahun 2020 ini, belum menyentuh isu lingkungan hidup sebagai salah satu peranan perempuan. Hal ini menjadi penting mengingat terjadinya perubahan lingkungan akibat terjadinya bencana seperti banjir dan longsor, kekeringan, pencemaran, kebakaran hutan. Kerusakan ini terjadi karena model pembangunan yang belum ramah terhadap lingkungan. Kemudian, akan muncul pertanyaan: “apa sih hubungan peranan wanita dalam momen hari ibu dengan terjadinya kerusakan lingkungan?”
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa Indonesia memiliki komitmen dan tengah berupaya untuk mencapai 17 target dalam pembangunan berkelanjutan. Beberapa tujuan dari pembangunan berkelanjutan seperti peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat, peningkatan kualitas lingkungan hidup, peningkatan kehidupan sosial masyarakat dan adanya keadilan tata kelola untuk meningkatkan kualitas hidup.
Secara umum, menurut BAPPENAS terdapat beberapa pencapaian yang telah diperoleh Indonesia dalam pembangunan berkelanjutan, akan tetapi masih terdapat beberapa indikator yang belum memenuhi target yang diharapkan seperti penurunan angka kemiskinan, peningkatan konsumsi di bawah 1400 kkal/kapita/hari, HIV/AIDS, penurunan kematian ibu, penyediaan air bersih dan sanitasi.
Forum masyarakat sipil (CSF) untuk keadilan gender telah mempublikasikan sebuah laporan yang menggarisbawahi bahwa perempuan menjadi pihak yang paling rentan dan berpotensi meningkatkan penderitaan dari terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Lebih lanjut, sebuah laporan yang dirilis oleh badan organisasi dunia UNDP dengan judul Gender and disaster risk reduction pada tahun 2013 melaporkan bahwa perempuan dan anak-anak memiliki potensi kematian sekitar 14 kali selama terjadinya bencana dibanding dengan laki-laki. Selain itu, UNDP juga mencatat bahwa pada kejadian Tsunami di Aceh pada tahun 2004 telah memakan korban jiwa perempuan sekitar 70 persen.
Tidak seimbangnya peranan gender pada kondisi yang rentan dari risiko terjadinya bencana ditenggarai dari adanya ketidak-seimbangan ekonomi, sosial, geografis, pendidikan, informasi dan politik pada perempuan.
Dalam konteks lingkungan hidup, perempuan lebih cenderung sangat dekat dengan pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam. Akan tetapi pada beberapa sektor yang terkait dengan lingkungan dan sumberdaya alam, sebagian besar peranan wanita di negara-negara berkembang masih belum optimal karena beberapa faktor seperti pendidikan, akses ke sumberdaya, dan kepemilikan lahan. Berkaca dari hal ini, nampaknya proporsi kesetaraan kontribusi masih belum dirasakan sepenuhnya oleh para wanita.
Salah satu prinsip dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan adalah adanya kesetaraan atau keseimbangan. Sehingga, hal ini dapat memberikan ilustrasi mengapa wanita memiliki posisi strategis dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Ketidak-seimbangan gender telah banyak diketahui bersama dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, dimana peran wanita sering dianggap tidak penting dan bukan sebagai bagian dari penentu pengambilan keputusan. Ketidak-seimbangan berlangsung terkadang dilakukan secara tidak sengaja dan tidak terlihat secara lahiriah. Misalnya, adanya anggapan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih dapat mempimpin dibanding jenis kelamin yang lain. Selain itu, adanya perspektif bahwa tugas perempuan hanya melaksanakan rutinitas pekerjaan dalam rumah tangga.
Kerentanan berbasis gender dan adanya potensi paparan risiko dari pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan seyogyanya tidak menghalangi kontribusi besar wanita dalam setiap fase siklus pengeloloaan lingkungan hidup.