Perjalanan pendidikan nasional telah dimulai dari era kolonial Belanda. Pada era itu kesempatan pendidikan hanya diperoleh oleh para bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka dan pegawai kolonial. Pendidikan pada masa ini bertujuan untuk mencetak pegawai administrasi dengan upah rendah. Pendidikan juga tidak melatih daya kritis siswa dimana model pembelajaran menjadikan peserta didik golongan pribumi menjadi generasi inlander. Hal tersebut sesuai dengan pidato Ki Hajar Dewantara yang menyebutkan bahwa pendidikan pada masa ini bersifat intelek dan materialistis. Oleh karena itu, Ki Hajar Dewantara dalam pidatonya mengatakan peserta didik harus didik dengan tuntutan alam dan zamannya sendiri-sendiri, namun selain itu peserta didik juga harus mendapatkan pendidikan kultural dan nasional dalam rangka mencerdaskan nusa dan bangsa. Dimana pendidikan seharusnya menjadi wadah bagi pelestarian kebudayaan, namun pada masa itu hanya mengedepankan kecerdasan pikiran dan tidak ada unsur kebudayaan yang dimasukan.
Selanutnya model pendidikan pada era kolonial Jepang adalah semi militer dengan tujuan utama menyediakan tenaga kerja cuma-cuma (romusha) dan prajurit-prajurit untuk membantu peperangan demi kepentingan Jepang. Oleh karena itu, pelajar diwajibkan mengikuti pelatihan fisik, militer dan indoktrinasi ketat.
Setelah pendidikan masa kolonial Belanda dan Jepang, selanjutnya penjabaran singkat terkait pendidikan pada masa awal kemerdekaan atau Orde Lama. Pada masa ini, pendidikan berlandaskan pada Pancasila dan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang tertera pada Pembukaan Undang-undang 1945 dengan menekankan pada semangat nasionalisme dan bela tanah air. Pendidikan pada masa ini digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan Orde Lama.
Sistem pendidikan pada era ini mengadopsi ajaran dari Ki Hajar Dewantara yaitu Tiga Jalur Sistem Pendidikan Nasional yang terdiri dari Pendidikan Kemasyarakatan, Pendidikan Umum dan Pendidikan Khusus. Namun dalam penerapannya Orde Baru menempatkan Pendidikan Umum dan Khusus sebagai pilar utama. Sehingga relaitanya pendidikan pada era ini bertujuan untuk menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang berdayaguna dan pada akhirnya nanti mampu menggerakan roda ekonom negara. Pada era ini mata pelajaran Kewarganegaraan diapuskan dan diganti dengan mata pelajaran PMP yang menekankan bahwa setiap siswa dan warga negara pada umumnya harus taat dan patuh terhadap negara tanpa dikenalkan dengan hak-haknya. Kebijakan-kebijaka yang lahir pada era ini adalah program wajib belajar 6 tahun dan 9 tahun.
Selanjutnya ialah pendidikan era reformasi. Pendidikan era reformasi merupakan pendidikan yang berkembang di era globalisasi. Oleh karea itu, pendidikan pada masa ini didasarkan pada paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan nasional yang tepat, sesuai dengan realitas masyarakat dan kultur bangsa sendiri. Di era globalisasi dan di tengah gempuran teknologi yang semakin tidak terbendung, seorang guru dituntut untuk menciptakan generasi yang mampu menghadapi dunia modern, namun tidak melupakan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Oleh karena itu, menjadi tantangan besar bagi seorang guru di masa kini karena selain mentransfer pengetahuan, guru juga dituntut untuk mampu menanamkan nilai-nilai dan karakter luhur bangsa Indonesia kepada peserta didik, sehingga sebagai bangsa kita benar-benar merdeka sepenuhnya oleh Ki Hajar Dewantara dan sebagai sebuah negara kita mampu untuk berdikari seperti yang disampaikan oleh Ir. Soekarno.
Setelah melihat proses peralanan pendidikan dari era kolonilal hingga era reformasi, dapat disimpulkan bahwa filosofi pemdidikan oleh Ki Hajar Dewantara tidak lekang oleh waktu. Oleh karena itu, sangat tepat penggunaan kurikulum merdeka saat ini untuk menghadapi Indonesia di tengah genmpuran teknologi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H