Oleh:
Rima Gravianty Baskoro, S.H., MPPM., ACIArb
Managing Partner Rima Baskoro & Partners
Alumni Monash University
I. Latar Belakang
Putusan perkara tindak pidana korupsi di Indonesia merupakan salah satu instrumen hukum dan alat penegak keadilan. Maka dikenal pula adagium judicia sunt tanquam juris dicta, et pro veritate accipitur , yang berarti "putusan merupakan penerapan hukum dan diterima sebagai suatu kebenaran". Hal ini dikarenakan Putusan perkara tindak pidana korupsi menjadi dasar dan pegangan para eksekutor di kekuasaan yudikatif untuk mengembalikan kerugian negara. Kerugian negara merupakan salah satu unsur penting dalam tindak pidana korupsi yang membedakannya dari tindak pidana lain.
Oleh karena itu bentuk pertimbangan hukum dalam Putusan perkara tindak pidana korupsi menggunakan perhitungan angka (untuk menghitung kerugian negara yang ditimbulkan sebagai akibat dari tindak pidana korupsi), didukung dengan bukti identitas aset hasil tindak pidana yang menggunakan angka pengenal tertentu (contoh: nomor sertifikat, nomor rekening, nomor polis asuransi, dll), dan tentunya amar putusan terkait nilai total pengembalian aset yang dikenakan kepada terdakwa. Oleh karena itu, ketepatan penulisan angka-angka tersebut dalam putusan perkara tindak pidana korupsi menjadi hal urgent dan esensial, karena menjadi tolak ukur keberhasilan penegakan hukum di perkara korupsi.
Faktanya, masih terdapat persoalan ketidaktepatan penulisan atau yang biasa dikenal dengan istilah clerical error (kesalahan penulisan), yang dilakukan oleh para penegak hukum dan berujung pada kebingungan eksekusi Putusan perkara tindak pidana korupsi. Salah satu contohnya adalah dalam perkara tindak pidana penyelewengan dana yang dilakukan oleh Yayasan Supersemar milik mantan Presiden RI Soeharto.
Kesalahan penulisan ini pada akhirnya mempengaruhi para pemangku kepentingan terkait penegakan hukum atas perkara tindak pidana korupsi, antara lain, yaitu: pihak Kejaksaan yang diberikan kewenangan oleh negara untuk melakukan eksekusi Putusan perkara tindak pidana korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap, pihak institusi keuangan tempat dialokasikannya aset hasil tindak pidana korupsi, pihak terpidana sendiri yang akhirnya dalam posisi tidak jelas karena seperti tidak tuntas menjalankan hukumannya, dan tentunya masyarakat sebagai pihak yang akan paling bersuara keras terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Kesalahan penulisan dalam putusan perkara tindak pidana korupsi ini penting untuk didiskusikan dan dibahas karena: [1.] Putusan perkara tindak pidana korupsi menjadi salah satu instrumen penegak hukum yang mampu menjaga stabilitas ekonomi Indonesia dan merupakan hasil akhir proses penegakan hukum korupsi sebagai Kejahatan Luar Biasa (extraordinary crime); [2.] Putusan perkara tindak pidana korupsi merupakan pembuktian transparansi kekuasaan yudikatif kepada masyarakat dalam menegakkan hukum di Indonesia; [3.] Mencegah terjadinya kekacauan akibat amarah rakyat kepada kekuasaan yudikatif yang melakukan kesalahan dalam proses penyusunan Putusan perkara tindak pidana korupsi.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka terdapat dua hal yang akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu: [1.] kesalahan penulisan dalam putusan perkara tindak pidana korupsi; dan [2.] perampasan aset dan kesalahan penulisan putusan perkara tindak pidana korupsi. Dengan melakukan evaluasi dan analisa terhadap kesalahan penulisan pada putusan perkara tindak pidana korupsi dalam kaitannya dengan perampasan aset, diharapkan dapat memberikan hasil berupa strategi manajemen para pemangku kepentingan yang memiliki kekuasaan (power) dan kepentingan (interest) yang berbeda-beda dalam proses perampasan aset hasil korupsi di luar negeri.
II. Kesalahan Penulisan dalam Putusan Perkara Tindak Pidana Korupsi
Atas kesalahan penulisan pada putusan perkara tindak pidana korupsi, Majelis Hakim selalu menjadi sosok yang selalu dimintakan pertanggungjawaban. Padahal idealnya panitera pengganti pun memikul tanggung jawab yang sama untuk memastikan tidak ada kesalahan penulisan dalam putusan perkara tindak pidana korupsi. Hal ini dikarenakan panitera pengganti, baik di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, hingga Mahkamah Agung, secara umum memiliki tugas pokok dan fungsi yang sama, yaitu:
[1.] membuat berita acara persidangan, [2.] pemeriksaan dan penelaahan kelengkapan berkas perkara pidana, [3.] mengetik konsep putusan hasil musyawarah Majelis yang akan diucapkan, [4.] melaksanakan pemberitahuan isi putusan kepada para pihak, dan [5.] pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Panitera. Oleh karena itu, meskipun Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan perkara tindak pidana korupsi didasarkan pada hasil rapat musyawarah majelis.
Namun saat penyusunan dan pengetikannya juga dibantu oleh panitera pengganti, yang mana seharusnya panitera pengganti idealnya melakukan pemeriksaan ganda (double check) terhadap seluruh ketepatan penulisan putusan perkara tindak pidana korupsi. Selain itu juga dikarenakan panitera bertugas dan bertanggung jawab terhadap pemeriksaan, penelaahan, dan perawatan kelengkapan berkas perkara pidana, maka pada saat melakukan pengetikan, panitera pengganti dapat melakukan pemeriksaan ganda (double check) dengan merujuk pada berkas perkara yang sebelumnya diserahkan oleh penyidik dan penuntut umum.
Penyusunan Putusan perkara tindak pidana korupsi ini sebetulnya merupakan hasil kerja tim, mulai dari Penyidik sebagai pihak awal yang mengumpulkan bukti-bukti hingga terhitung kerugian negara, kemudian pihak Kejaksaan sebagai penuntut umum yang bertugas menyusun dakwaan dan memasukkan unsur kerugian negara dengan angka dan nominal yang pasti agar tidak mudah dibantah oleh terdakwa, dan puncaknya adalah majelis hakim sebagai pihak yang menentukan nominal ganti rugi yang harus dibayarkan oleh terdakwa melalui putusan yang diberikannya. Oleh karena itu beban tanggung jawab kesalahan penulisan dapat dicari berdasarkan tingkatan kesalahan penulisan berkas perkara. Jika penulisan sudah terjadi sejak penyidikan dan berlanjut hingga putusan, maka tanggung jawab renteng seyogyanya dikenakan kepada penyidik, penuntut umum, hingga ke majelis hakim.
Terdapat beberapa putusan perkara tindak pidana korupsi yang menjadikan perampasan aset sebagai hukuman dengan tujuan mengembalikan kerugian negara. Putusan tersebut antara lain terkait putusan perkara yayasan Supersemar, putusan perkara korupsi dana pengamanan Pemilihan Kepala Daerah Jawa Barat (Pilkada Jabar) dengan terpidana atas nama Susno Duadji, dan perkara korupsi dengan terpidana atas nama Yul Dirga selaku mantan Kepala Kantor Pajak Penanaman Modal Asing (KPP PMA) Jakarta Tiga. Namun yang disayangkan, ketiga putusan yang seyogyanya ideal untuk mengembalikan kerugian negara tersebut ternyata terdapat kesalahan penulisan , yaitu sebagai berikut:
- Putusan kasasi perkara Yayasan Supersemar terdapat kesalahan penulisan berupa amar putusan yang seharusnya dihukum membayar Rp. 185.000.000.000 (seratus delapan puluh lima miliar Rupiah) menjadi Rp. 185.000.000 (seratus delapan puluh lima juta Rupiah). Kesalahan penulisan ini berakibat pada tidak dapat dieksekusinya putusan karena perbedaan mendasar pada nilai hukuman ganti rugi karena kesalahan penulisan ini telah mengubah esensi perkara. Kesalahan penulisan yang nampak sederhana ini, justru berpotensi merugikan negara lagi karena pengembalian ganti rugi tidak sesuai dengan kerugian yang diderita negara. Oleh karena itu, atas adanya kesalahan penulisan pada putusan perkara Yayasan Supersemar, asas manfaat tidak terpenuhi karena kesalahan penulisan ini menimbulkan ketidakpastian hukum nominal ganti rugi;
- Putusan perkara korupsi dana pengamanan Pilkada Jabar atas nama terdakwa Susno Duadji berupa kesalahan pencantuman nomor perkara dan tanggal putusan perkara, yang bukan merupakan perkara terdakwa Susno Duadji. Kesalahan penulisan nomor perkara berakibat pada ketidakpastian eksekusi untuk perkara dengan subjek, objek, dan dasar hukum yang berbeda. Konsekuensinya, eksekutor berpotensi melaksanakan eksekusi atas putusan yang berbeda dengan kewenangan yang diberikan padanya berdasarkan persidangan riil Susno Duadji. Atas kesalahan penulisan nomor perkara ini maka Asas manfaat tidak terpenuhi karena kesalahan penulisan ini menimbulkan ketidakpastian hukum pelaksanaan putusan;
- Putusan perkara korupsi atas nama terdakwa Yul Dirga selaku mantan KPP PMA Jakarta Tiga yang melakukan kesalahan penulisan mata uang asing pada amar putusan uang pengganti. Majelis Hakim menuliskan mata uang asing pada hukuman uang pengganti untuk Dollar Singapura dengan lambang SG $, padahal seharusnya adalah SGD. Kesalahan penulisan mata uang asing yang berakibat pada kerancuan saat eksekusi, sebab lambang SG $ tidak dikenal publik sebagai lambang mata uang asing Dollar Singapura. Konsekuensinya putusan tidak dapat dieksekusi karena mata uang asing SG $ tidak ada. Atas kesalahan penulisan ini, maka asas manfaat dan keadilan tidak terpenuhi karena kesalahan penulisan ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak adanya jaminan ganti rugi terhadap negara atas tindak pidana korupsi yang telah terbukti dilakukan terpidana.
Hingga tulisan ini diterbitkan, belum ada data yang dipublikasikan oleh Mahkamah Agung RI yang membuktikan bahwa Mahkamah Agung RI sebagai pelaksana kekuasaan yudikatif secara rutin telah melakukan evaluasi terhadap kesalahan pekerjaan hakim dan jajarannya, termasuk evaluasi terkait kesalahan penulisan dalam putusan yang mengubah esensi dan substansi perkara pidana korupsi. Hal ini besar kemungkinan terjadi karena tekanan yang diberikan publik maupun institusi kekuasaan yudikatif adalah berfokus pada perbaikan kesalahan penulisan, namun tidak berfokus pada minimalisir dan antisipasi kesalahan penulisan pada putusan korupsi di kemudian hari. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung RI, Sobandi melalui media daring harian republika tanggal 30 juni 2023, yang mengafirmasi perbaikan putusan bisa dilakukan jika terjadi kesalahan.
Berdasarkan pada doktrin ahli hukum acara pidana, M. Yahya Harahap, kesalahan penulisan pada dasarnya masih ada yang bisa ditoleransi, dengan syarat kesalahan penulisan tersebut tidak mengubah esensi dan substansi perkara korupsi. Sebagai contoh, jika pada faktanya harta hasil korupsi terdakwa yang harus disita adalah berupa tanah dan bangunan dengan nomor sertifikat tertentu, maka penulisan nomor sertifikat ini tidak boleh salah sedikitpun. Karena kesalahan nomor sertifikat mengakibatkan kesalahan objek eksekusi. Ketika terjadi kesalahan eksekusi pada objek yang bukan menjadi bagian dari perkara, maka disitu muncul permasalahan baru yaitu ketidakpastian hukum. Sehingga kesalahan pengetikan tidak bisa disepelekan dan dianggap sederhana, terutama jika pada akhirnya mengubah esensi dan substansi perkara korupsi.
III. Perampasan Aset Dan Kesalahan Penulisan Pada Putusan Perkara Tindak Pidana Korupsi
Secara garis besar, terdapat setidaknya 3 (tiga) konsekuensi hukum yang harus diterima kekuasaan yudikatif khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya, atas kesalahan penulisan ada putusan perkara tindak pidana korupsi, yaitu:
- Perbedaan objek perkara maupun perkaranya itu sendiri, sehingga perampasan aset berpotensi tidak bisa dieksekusi;
- Putusan hanya menang di kertas (non-executable), tanpa negara bisa mendapatkan pengembalian atas kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana korupsi;
- Menjadi celah bagi pelaku tindak pidana korupsi untuk mengupayakan clerical error dalam setiap berkas agar hasil kejahatan tindak korupsi yang dilakukannya tidak bisa dieksekusi
Untuk perampasan aset yang berlokasi di luar negeri yang berkemungkinan didasarkan pada Putusan perkara tindak pidana korupsi dengan kesalahan penulisan, maka Kejaksaan Agung RI sebagai pelaksana putusan / eksekutor dikelilingi oleh para pemangku kepentingan dengan skala kekuatan dan kepentingan yang berbeda sebagaimana digambarkan dalam bagan 1 di bawah ini :
Kekuasaan Yudikatif di negara tempat aset berdiam (kekuasaan yudikatif luar negeri) dan Institusi Keuangan di negara tempat aset berdiam (institusi keuangan luar negeri) memiliki kepentingan yang besar dengan kekuatan yang besar pula di yurisdiksi tempat negara berdiam. Hal ini dikarenakan kekuasaan yudikatif luar negeri tersebut memiliki kewenangan untuk mengabulkan atau menolak permohonan perampasan aset yang diajukan oleh Pemerintah RI melalui Kejaksaan Agung RI. Sedangkan Institusi Keuangan luar negeri tersebut memiliki kepentingan untuk mempertahankan aset yang menjadi sumber pemasukan besar, dan memiliki hak hukum pula untuk melakukan perlawanan terhadap upaya perampasan aset yang dimohonkan Pemerintah RI melalui proses re-litigasi di pengadilan luar negeri di bawah kekuasaan yudikatif luar negeri tersebut.
Kekuasaan Eksekutif negara tempat aset berdiam (kekuasaan eksekutif luar negeri), Kementerian Luar Negeri RI (Kemenlu RI) dan Mahkamah Agung RI (MARI) merupakan pemangku kepentingan dengan kekuatan besar namun minim kepentingan dalam proses perampasan aset hasil tindak pidana korupsi di yurisdiksi luar negeri.
Meskipun tidak memiliki kepentingan besar terkait pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang berdiam di negaranya, namun kekuasaan eksekutif luar negeri memiliki kekuatan besar karena menjadi pelaksana regulasi di negaranya, termasuk regulasi soal perampasan aset. Sedangkan Kemenlu RI dan MARI tidak memiliki target apapun yang dibebankan kepadanya terkait pelaksanaan putusan perkara tindak pidana korupsi, namun memiliki peran besar dan posisi penting untuk berkomunikasi dengan kekuasaan eksekutif luar negeri agar proses perampasan aset dapat dimudahkan demi terwujudnya keadilan sosial dan perdamaian dunia sebagai salah satu prinsip hubungan diplomatik yang diwujudkan dalam Mutual Legal Assistance.
Pengadilan Negeri Indonesia tempat perkara tindak pidana korupsi diputus, Terpidana, dan Kementerian Hukum dan HAM RI menjadi pihak yang memiliki kepentingan besar dengan kekuatan yang tidak terlalu besar. Hal ini dikarenakan ketiga pemangku kepentingan ini pada dasarnya tidak bisa menggangu apapun yang nanti diputuskan oleh kekuasaan yudikatif di luar negeri. Pengadilan Negeri memiliki kepentingan menjaga marwahnya sebagai lembaga yudikatif yang mengeluarkan putusan perkara tindak pidana korupsi dan harus diselesaikan sampai tuntas, termasuk pada pelaksanaan hukumannya yaitu perampasan aset di luar negeri. Terpidana, meskipun sudah dihukum berdasarkan putusan di Indonesia, namun masih memiliki hak hukum untuk mengajukan perlawanan di yurisdiksi luar negeri atas permohonan perampasan aset yang dilakukan Pemerintah Indonesia kepada kekuasaan yudikatif luar negeri. Sedangkan Kementerian Hukum dan HAM RI memiliki peran penting untuk memastikan keberhasilan proses perampasan aset ini karena kementerian ini yang bertanggung jawab atas kepastian hukum dalam posisinya di kekuasaan eksekutif.
Putusan perkara tindak pidana korupsi pada dasarnya memiliki beragam jenis pidana dalam putusannya. Pidana tersebut terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok berupa penjara dan denda. Sedangkan pidana tambahan salah satunya berupa pembayaran uang pengganti. Dalam hal uang pengganti ini tidak dapat dipenuhi oleh terdakwa, maka eksekutor diberikan kewenangan untuk melakukan perampasan harta benda milik terdakwa untuk kemudian dilelang dan diberikan. Jika ternyata harta terpidana telah dirampas dan dilelang tidak mencukupi untuk pembayaran ganti rugi, maka dapat digantikan dengan pidana kurungan.
Berdasarkan data putusan perkara tindak pidana korupsi yang sudah diunggah di situs resmi direktori Mahkamah Agung RI, pada tahun 2019 setidaknya ada 57 (lima puluh tujuh) putusan perkara pidana korupsi, dengan angka kerugian negara jauh di atas pendapatan per kapita masyarakat Indonesia di tahun 2019 yaitu Rp. 62.200.000 (enam puluh dua juta dua ratus ribu Rupiah) per kapita.
Dari 57 (lima puluh tujuh) putusan perkara pidana korupsi tahun 2019, hanya sekitar 27 putusan tingkat PN yang menerapkan pidana tambahan berupa uang pengganti. Putusan perkara tindak pidana korupsi dengan pidana uang pengganti tersebut diputus oleh para Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Makassar, Pengadilan Negeri Mamuju, Pengadilan Negeri Semarang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Palu, dan Pengadilan Negeri Samarinda (situs resmi direktori Mahkamah Agung RI yang diakses tanggal 15 Oktober 2023). Dengan kata lain, esensi pengembalian ganti rugi yang diderita negara akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terpidana belum sepenuhnya dilakukan. Padahal perampasan aset untuk mengganti kerugian negara dibolehkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia terkait korupsi.
IV. Penutup
Agar proses pelaksanaan perampasan aset di luar negeri berjalan lancar, meski di tengah proses ternyata ditemukan hambatan akibat adanya kesalahan penulisan, maka penting bagi eksekutor dan majelis hakim untuk senantiasa melakukan stakeholder management guna meminimalisir hambatan. Caranya adalah sebagai berikut:
- Lakukan diskusi berkala dengan kekuasaan yudikatif luar negeri dan institusi keuangan luar negeri. Libatkan ketiga pihak ini dengan komunikasi yang efektif, mendengarkan segala saran dan masukan, bahkan menerapkan usulan mereka jika memang memungkinkan dan tidak melawan hukum di Indonesia dan luar negeri. Membuat ketiga pihak ini terus berada dalam lingkaran kerjasama perampasan aset sangat penting.
- Lakukan komunikasi agar kekuasaan eksekutif luar negeri, Kemenlu RI dan (MARI) memahami bagaimana Kejaksaan RI bergerak dalam perampasan aset untuk kepentingan negara. Dengan komunikasi ini, kelak akan terbangun pemahaman dari ketiga pemangku kepentingan ini bahwa perampasan aset akan memberikan pengaruh positif juga untuk insentif kinerja ketiga pemangku kepentingan ini.
- Berikan informasi penting kepada Pengadilan Negeri Indonesia tempat perkara tindak pidana korupsi diputus, Terpidana, dan Kementerian Hukum dan HAM RI. Perampasan aset tentunya akan berimbas pula kepada tiga pemangku kepentingan ini. Maka untuk menjaga agar konflik tidak terjadi dan tujuan perampasan aset dapat dicapai, perlu diberikan informasi atas perkembangan proses perampasan aset kepada ketiga pemangku kepentingan tersebut.
Referensi:
Undang-undang Tindak Pidana Korupsi
CNBC Indonesia, "PDB Per Kapita RI Rp.62,2 juta Sudah di Atas Pra Pandemi", 7 Februari 2022, diakses pada tanggal 14 Oktober 2023.
PDB per Kapita RI Rp 62,2 Juta, Sudah di Atas Pra-Pandemi
Detik.com, "Beragam Salah Ketik Dalam Putusan Mahkamah Agung", 26 Agustus 2015, diakses tanggal 13 Oktober 2023
Beragam Salah Ketik Dalam Putusan MA.
Direktori Mahkamah Agung RI berisi unggahan putusan perkara tindak pidana korupsi, diakses tanggal 15 Oktober 2023
Direktori Mahkamah Agung RI
Hukumonline, "Jaksa Mulyana Akui Ada Kesalahan Pengetikan", 23 Juni 2005, diakses tanggal 12 Oktober 2023.
Jaksa Mulyana Akui Ada Kesalahan Pengetikan
Kompas.com, "Kesalahan Dalam Putusan Tidak Sengaja", 21 Maret 2013, diakses tanggal 12 Oktober 2023.
Kesalahan dalam Putusan Tidak Sengaja.
Mahkamah Agung RI, "Tupoksi Panitera Mahkamah Agung RI", diakses tanggal 15 Oktober 2023
Tupoksi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, "Kepaniteraan Pidana", diakses tanggal 15 Oktober 2023
https://pn-jakartapusat.go.id/tentang-pengadilan/kepaniteraan-pidana/8
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, "Kepaniteraan Pidana", diakses tanggal 15 Oktober 2023
https://www.pt-jakarta.go.id/tentang-pt-jakarta/kepaniteraan/kepaniteraan-pidana.html
Republika, "MA Perbaiki Putusan Usai Salah Ketik Jenis Kelamin", 30 Juni 2023, diakses pada tanggal 12 Oktober 2023
MA Perbaiki Putusan Usai Salah Ketik Jenis Kelamin | Republika Online Mobile
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H