Mohon tunggu...
Rima Gravianty Baskoro
Rima Gravianty Baskoro Mohon Tunggu... Pengacara - Trusted Listed Lawyer in Foreign Embassies || Policy Analyst and Researcher || Master of Public Policy - Monash University || Bachelor of Law - Diponegoro University ||

Associate of Chartered Institute of Arbitrators. || Vice Chairman of PERADI Young Lawyers Committee. || Officer of International Affairs Division of PERADI National Board Commission. || Co-founder of Toma Maritime Center.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Problematika Monetisasi YouTube sebagai Objek Pajak

2 Juli 2023   11:31 Diperbarui: 2 Juli 2023   11:36 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

IV. Permasalahan Monetisasi Kanal Youtube Sebagai Objek Pajak

Mengutip pada laman resmi YouTube.com, Kanal YouTube adalah aset digital milik pengguna akun Youtube yang dapat digunakan untuk mengunggah dan membagikan video, memberikan komentar, dan membuat playlist. Dengan kanal Youtube, banyak konten kreator maupun pengelola akun Youtube yang akhirnya menerima pendapatan melalui skema monetisasi dengan bermacam-macam pilihan. Salah satu mekanisme monetisasi akun Youtube adalah menggunakan iklan tradisional atau yang dikenal dengan adsense. Tujuan Youtube menerapkan konsep monetisasi untuk para konten kreator maupun pengelola akun Youtube adalah sebagai bentuk penghargaan atas konten yang telah dibuat di kanal Youtube para konten kreator maupun pengelola akun Youtube. Seluruh data monetisasi ini secara rinci dapat dilihat pada laman Youtube Studio.

Monetisasi pada akun Youtube didapatkan setelah mengaktifkan akun adsense dengan cara menghubungkan kanal Youtube pembuat atau pengelola konten dengan akun adsense dan telah mendapatkan izin atau persetujuan dari akun adsense. Dalam proses aktivasi akun adsense, terdapat beberapa informasi yang harus diberikan oleh pembuat atau pengelola konten antara lain tentang cara pembayaran dan informasi perpajakan. Apabila pembuat atau pengelola konten tidak memberikan informasi pajak, maka monetisasi pembuat atau pengelola konten akan dipotong sebesar 24%. Selain itu, agar monetisasi dapat diterima oleh pembuat atau pengelola akun Youtube, maka harus pula dipenuhi informasi atau identitas pribadi. Hal ini merupakan salah satu bentuk proteksi data dari Youtube dan Adsense agar terhindar dari penipuan maupun kejahatan digital lainnya. Google adsense bahkan dapat menangguhkan pembayaran monetisasi tersebut jika pembuat atau pengelola akun Youtube tidak bisa memberikan kata kunci dan tidak bisa memberikan verifikasi identitas diri. Untuk metode pembayaran dari monetisasi akun Youtube dapat disesuaikan dengan pilihan pembuat atau pengelola akun Youtube, antara lain melalui transfer dana elektronik, melalui Single Euro Payments Area, transfer bank, cek, dan Western Union. Sejak tahun 2016, google adsense memungkinan pembuat atau pengelola konten Youtube untuk menerima pembayaran dalam bentuk mata uang Rupiah, bagi pembuat atau pengelola konten Youtube Indonesia. Konsekuensinya adalah, pembuat atau pengelola konten Youtube yang ingin mendapatkan monetisasi harus rela memberikan identitas personalnya kepada Youtube, dan terkualifikasi sebagai WNI yang menerima penghasilan.

Monetisasi kanal Youtube pada prakteknya saat ini menjadi objek pajak, karena menjadi penghasilan untuk konsumsi atau untuk menambah pembuat atau pengelola akun Youtube. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU No. 36/2008 yang menyatakan bahwa penghasilan yang menjadi objek PPH adalah setiap tambahan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Konsekuensinya, setiap pembuat atau pengelola akun Youtube yang menerima monetisasi wajib untuk membayar pajak dengan cara melaporkan perhitungan atau pembayaran pajak kepada Dirjen Pajak.

Namun demikian, dalam proses pelaporan dan pembayaran pajak atas monetisasi tersebut, ditemukan beberapa persoalan, salah satunya adalah kurang tepatnya penggunaan rumusan perhitungan yang dilakukan oleh institusi perpajakan yang berakibat pada perbedaan pendapat dan munculnya hutang pajak pembuat atau pengelola akun Youtube. Sebagai contoh, institusi pajak berpendapat terdapat kekurangan bayar pajak atas monetisasi akun Youtube karena institusi pajak mendasarkan perhitungannya pada jumlah subscribers dan likes seluruh unggahan Youtube tahun 2019 namun dilihat di tahun 2022. Padahal jumlah subscribers dan likes unggahan video Youtube di tahun 2019 dengan tahun 2022 berbeda, yang kemungkinan besar terjadi penambahan. Adapun data valid dari monetisasi 2019, sebagaimana telah dijelaskan di atas, dapat dilihat di laman Youtube studio dan hanya yang memiliki kata kunci saja yang dapat membukanya, yang sudah pasti bukan institusi pajak. Konsekuensinya, banyak akhirnya surat klarifikasi dikirimkan kepada pembuat atau pengelola akun Youtube sehubungan dengan adanya perbedaan pendapat tentang perhitungan pajak yang harus dibayarkan atas penerimaan monetisasi akun Youtube dan adanya resiko dikenakan persentase sebesar 62,5% apabila pembuat atau pengelola akun Youtube tidak memiliki pencatatan keuangan atau pembukuan dan diklasifikasikan sebagai pekerja bebas.

Permasalahan lainnya adalah penggolongan atau klasifikasi profesi pembuat konten Youtube sebagai aset digital, yang secara regulasi belum didefinisikan secara pasti. Kekosongan atas regulasi ini mengakibatkan banyak asumsi untuk menentukan dasar hukum pengenaan pajak monetisasi kanal Youtube. Konsekuensinya, akan terdapat ketidakpastian persentase pengenaan pajak terhadap penghasilan berupa monetisasi, dari aset digital berupa kanal Youtube. Pada akhirnya, pembuat atau pengelola konten kanal Youtube diklasifikasikan sebagai pekerja bebas dan tidak menggunakan sistematika perhitungan pajak penghasilan berdasarkan Pasal 2 ayat (3) dan (4) Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Konsekuensinya, pembuat atau pengelola konten Youtube harus rela menghitung pajak penghasilannya dengan menggunakan tarif pasal 17 Undang-undang No. 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Selain dua persoalan di atas, persoalan lainnya adalah pihak yang memiliki kewajiban pembayaran pajak penghasilan atas monetisasi akun Youtube. Faktanya, banyak pembuat konten yang terikat kontrak dengan manajemen artis yang mengelola kanal Youtube pembuat konten. Dengan kata lain, pembuat konten tidak menerima monetisasi langsung dari Youtube karena manajemen artis sebagai pengelola kanal Youtube-lah yang memegang kendali penuh atas kanal Youtube pembuat konten, sehingga mulai dari Youtube studio hingga penerimaan monetisasi kanal Youtube dikuasai oleh manajemen artis dan pembuat konten Youtube hanya menerima honorarium dari manajemen artis selaku pengelola kanal Youtube. Dengan adanya dua subjek hukum dalam satu kanal Youtube yang menggunakan nama popular pembuat konten Youtube, menimbulkan kerancuan siapa yang harus membayar berapa atas pajak penghasilan.

V. Penutup

Ketidakpahaman peraturan pajak penghasilan berujung pada pengabaian pembayaran dan pelaporan pajak penghasilan oleh para pembuat konten dan pengelola kanal Youtube. Hal ini dipahami karena begitu banyaknya regulasi dan cepatnya perubahan peraturan yang menjadi dasar perhitungan pajak penghasilan, mulai dari Undang-undang hingga Peraturan Menteri Keuangan RI. Padahal, pembuat konten YouTube adalah individu yang membuat konten untuk YouTube yang dapat menghasilkan uang dari kontennya melalui monetisasi. Dengan kanal Youtube, banyak konten kreator maupun pengelola akun Youtube yang akhirnya menerima pendapatan melalui skema monetisasi dengan bermacam-macam pilihan. Salah satu mekanisme monetisasi akun Youtube adalah menggunakan iklan tradisional atau yang dikenal dengan adsense. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU No. 36/2008, monetisasi kanal Youtube pada prakteknya saat ini menjadi objek pajak, karena menjadi penghasilan untuk konsumsi atau untuk menambah pembuat atau pengelola akun Youtube. Namun demikian, dalam proses pelaporan dan pembayaran pajak atas monetisasi tersebut, ditemukan beberapa persoalan, antara lain sebagai berikut: [1.] kurang tepatnya penggunaan rumusan perhitungan yang dilakukan oleh institusi perpajakan yang berakibat pada perbedaan pendapat dan munculnya utang pajak pembuat atau pengelola akun Youtube; [2.] penggolongan atau klasifikasi profesi pembuat konten Youtube sebagai aset digital, yang secara regulasi belum didefinisikan secara pasti; [3.] pihak yang berkewajiban pembayaran pajak penghasilan atas monetisasi akun Youtube.

Oleh karena itu, penting kiranya agar Indonesia segera memiliki pengaturan yang tegas tentang pengenaan pajak penghasilan kepada pembuat konten dan pengelola kanal Youtube sebagai aset digital, dengan cara: [1.] penegasan klasifikasi profesi seniman yang terlibat dalam pembuatan aset digital, misalkan sebagai musisi, sutradara, produser, dan lain-lain; [2]. Penegasan persentase pajak penghasilan bagi pembuat konten Youtube yang menerima monetisasi lebih sedikit dibandingkan manajemen artis pengelola kanal Youtube; dan [3.] Melakukan sosialisasi atas kebijakan pajak penghasilan secara berkesinambungan untuk meminimalisir ketidaktahuan para pembuat konten dan pengelola akun Youtube tentang kewajiban pembayaran dan pelaporan pajak penghasilan.

Referensi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun