Ekologi politik dan isu gender memiliki hubungan yang erat. Kerusakan lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam seringkali berdampak buruk pada perempuan, terutama di negara berkembang.
Perempuan di pedesaan dan masyarakat adat sangat bergantung pada sumber daya alam untuk kehidupan sehari-hari, seperti pengumpulan kayu bakar, air, dan bahan makanan. Ketika lingkungan rusak atau terdegradasi, tugas -tugas ini menjadi lebih berat dan memakan waktu lebih banyak bagi perempuan. Selain itu, perempuan juga rentan terhadap dampak perubahan iklim, seperti bencana alam dan kekeringan yang dapat mengancam ketahanan pangan dan sumber air.
Di sisi lain, perempuan seringkali kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Hal ini disebabkan oleh budaya patriarki dan marginalisasi perempuan dalam ranah publik. Padahal, perempuan memiliki pengetahuan lokal yang berharga tentang konservasi lingkungan dan praktik-praktik berkelanjutan.
Oleh karena itu, gerakan ekologi politik yang memperjuangkan keadilan lingkungan harus juga mengintegrasikan perspektif gender dan memberdayakan perempuan sebagai agen perubahan. Beberapa contoh aktivisme yang menggabungkan keduanya adalah gerakan perempuan petani melawan ekspansi perkebunan kelapa sawit dan gerakan perempuan adat melawan penambangan yang merusak lingkungan hidup mereka.
Kebijakan Perlindungan Perempuan Terus Diabaikan
Indonesia telah memiliki kebijakan yang melindungi perempuan dan menghilangkan ketidakadilan gender. Sebut saja, UU No.7 Tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG), dan beberapa kebijakan lainnya, telah menegaskan pentingnya keterlibatan perempuan dan berbagai upaya untuk menghapus diskriminasi dan ketidakadilan gender. Bahkan Konstitusi Republik Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 juga telah menegaskan hak perempuan sebagai warga negara yang harus diakui, dilindungi dan dipenuhi.
Sayangnya, kebijakan ini tidak diintegrasikan kepada seluruh kebijakan, terutama kebijakan berkaitan lingkungan hidup, sumber daya alam, dan pembangunan. UU Minerba dan UU Cipta Kerja atau dikenal omnibus law, adalah sedikit perundang-undangan yang tidak mempertimbangkan situasi, pengalaman dan pengetahuan local perempuan petani, perempuan nelayan, perempuan adat, perempuan miskin kota dan perempuan marginal lainnya. Bahkan yang terakhir, kehadiran UU Ibu Kota Negara juga tidak mempertimbangkan situasi perempuan dan tidak ada ruang bagi perempuan untuk menyampaikan pandangannya. Ini terbukti dengan tidak adanya kajian gender terhadap rencana pembangunan IKN di Kalimantan Timur.
Adanya perempuan sebagai legislator pembuat perundang-undangan di Indonesia, belum menjamin adanya keberpihakan terhadap perempuan. Meskipun, ini menjadi affirmative action dalam mendorong keterwakilan perempuan di Parlemen, namun penting secara perspektif keberpihakannya pada perempuan. Fakta bahwa kebijakan yang lahir tidak mempertimbangkan situasi dan kondisi perempuan, ditunjukkan dengan data-data kekerasan dan penindasan yang terjadi.
Seharusnya, kebijakan-kebijakan perlindungan perempuan diintegrasikan pada seluruh sektor, termasuk sektor lingkungan dan sumber daya alam. Karena situasi perempuan sangat terikat dengan situasi lingkungan dan sumber daya alamnya. Bahwa alam memiliki makna tersendiri bagi perempuan, tidak hanya dilihat sebagai ekonomi, tetapi juga merupakan ruang sosial dan budaya, serta berkaitan pada identitas politik perempuan.
Pergerakan Perempuan Pejuang Lingkungan.
Sejarah 8 Maret menjadi “Hari Perempuan Sedunia” tidak terlepas dari perjuangan perempuan untuk melawan sistem partiarkhi yang merusak lingkungan dan merampas hak-hak perempuan atas lingkungan hidup dan sumber daya alamnya.
Tingginya pengrusakan lingkungan yang memperparah situasi perempuan, telah mendorong perempuan-perempuan bergerak melawan penghancuran lingkungan. Gerakan perempuan untuk memperjuangkan lingkungan hidup terus meluas untuk menuntut keadilan ekologis. Meskipun suara-suara perempuan masih sering diabaikan oleh penyelenggara negara.
Dengan demikian, upaya memperjuangkan keadilan lingkungan dan keberlanjutan ekologis tidak dapat dipisahkan dari perjuangan melawan ketidakadilan gender dan pemberdayaan perempuan.