"Kalian tahu," kali ini dengan nada suara serius yang lebih pelan dan meyakinkan, Andi meracau sambil menunjuk tv tabung yang ada di pos ronda.
 "Kalau aku benar-benar nyawiji (konsentrasi), aku bisa tembus masuk ke dalam televisi. Aku pernah pernah mencobanya. Aku bersila di depan tv dan lama-lama, aku bisa lihat diriku di sana bertarung dengan Angling Dharma dan Mak Lampir di dalam layar. Coba kalian bayangkan, ilmu itu ku dapat dari guruku di padepokan, pasti kalian tak percaya," ujarnya sambil menunjuk tv tabung yang ada di pos.
Aku menelan ludah. Mat Kipli dan Yoyok tampak hanya bisa berkaca-kaca, iba dan semakin tak tahan melihat kondisi mental Andi yang kian parah.
"Cukup, Di! Sadarlah, Jangan ngelantur lagi!" bentak Mat Kipli keras, menghardik dengan suara menggema memecah pajar ireng di perkampungan kami.
"Ki, sabarlah. Sing waras ngalah," ujar Cak Kus menepuk bahu Mat Kipli, mencoba menenangkannya. Ia sadar, Andi tak akan bisa waras lagi dengan cara seperti itu. Namun, Mat Kipli tak bisa diam saja, ia tak rela sahabatnya menjadi gila, ia berdiri dan menatap Andi dengan mata yang menyala-nyala.
"Ingin rasanya menyiramkan air comberan ke mukamu. Kau mau sadar nggak, Di?" bentak Mat Kipli.
"Kita semua udah pusing lihat kau seperti ini! Ngomong hal yang nggak masuk akal, halusinasi terus. Kapan kau berhenti seperti ini, bangs*t?"
Andi terdiam, menatap ke arah langit. Seketika, air mukanya berubah dan kembali tersenyum aneh. "Kalian tidak akan pernah mengerti," katanya pelan, suaranya menandakan jelas jiwanya penuh luka. "Tidak akan pernah."
Aku terdiam. Mendengar kalimat itu dari Andi membuatku merasa sangat trenyuh. Semua yang ia katakan memang hanya khayalan, tapi di balik itu ada luka batin yang begitu menganga, begitu dalam hingga menelan kewarasannya. Kami semua tahu, ini terjadi karena masa lalu Andi yang begitu pahit dan kelam. Ia sudah mengalami beberapa tragedi yang memilukan sejak usia kanak-kanak. Kehilangan orang-orang dicintai, hingga akhirnya memilih terpuruk dalam kesendirian. Andi hanya berusaha lari dari kenyataan, menciptakan dunia yang ia rasa aman. Dunia memang tidak pernah aman dan nyaman untuknya.
Dulu, rumah Andi adalah tempat anak-anak sebayanya berkumpul, dari mereka yang baru belajar nakal hingga beberapa akhirnya menjadi bajingan sungguhan. Di kampung pesisir yang begitu keras ini, Andi hanya hidup serumah dengan adiknya, Bowok, yang juga kawan sebayaku. Saat keduanya masih bocah, ayah dan ibunya pergi begitu saja entah ke mana. Kemiskinan menjadi alasan meninggalkan dua anaknya selama bertahun-tahun untuk bekerja entah di mana. Tak pernah ada kabar. Ada yang bilang ke Sumatera, ada yang bilang ke Malaysia. Sesekali, mereka memang mengirimkan uang ke kerabat untuk diberikan kepada Andi dan Bowok. Sayang, kasih sayang dan kehadirannya tak pernah sampai. Dua bocah itu pun tak pernah tahu arti keluarga, bahkan akhirnya tak bisa tamat SD seperti kami pada umumnya.
Kenyataan semakin kejam ketika satu waktu Andi pergi melaut bersama pamannya. Tragedi ngeri yang menggemparkan kampung terjadi. Perahu mereka digulung ombak, pecah dihempas badai angin barat di perairan Pantai Utara. Andi masih selamat karena mengapung bersama gembes wadah solar. Sedangkan sang paman, tewas ditelan gelombang laut di depan mata kepala keponakan kecilnya. Tak ada yang benar-benar tahu persis bagaimana kejadian nahas itu terjadi selain Andi sendiri.