Saya tertarik membaca tulisan Susy Haryawan di Kompasiana (1Okt 2016 jam 10.55.31) dengan judul: “Pengampunan Pajak, Ironi di Tengah Prestasi”. Tulisan Suzy Haryawan pas sekali.
Saya salut pada usaha tak kenal lelah dari Presiden kita Jokowi. Jokowi pantas merayakan keberhasilan ini. Pertanyaan sekarang, apakah sukses ini akan berlanjut atau hanya menjadi sukses sekali pukul ? Sangat disayangkan kalau tak berlanjut sebab yg mengambil untung hanya para pengemplang pajak, dan tahun-tahun selanjutnya mereka kembali pada praktek yang sudah biasa.
Apa yang perlu dilakukan adalah merapikan sistim administrasi pajak. Dengan sistim yang rapi kita akan mendapatkan tax base yg sehat dan kuat. Sudahkan kita punya dua-duanya ? Perkiraan saya belum. Laporan IBRD sekitar setahun yang lalu tentang proyek PINTAR (Project on Indonesian Tax Administration Reform) sangat mengecewakan. Proyek ini dibiayai dari loan IBRD sebesar + USD 100 - 150 juta dan mulai beroperasi awal tahun 2000-an. Sekarang dilanjutkan dengan PINTAR jilid II dengan biaya yang hampir sama.
Salah satu yang ingin dicapai proyek ini adalah suatu sistim administrasi pajak modern berbasis IT, satu sistim yang fully computerized. Kalau ini tidak rampung-rampung juga, bagaimana kita mau punya sistim yang bisa diandalkan. Tanpa itu jelas sukses yang sudah dicapai oleh TA tak akan berkelanjutan. Untuk info, diakhir tulisan ini kami tampilkan beberapa contoh administrasi pajak yang rapi.
Siapa yang bertanggung jawab atas kelambanan dalam merampungkan sistim itu? Klik saja laptop anda, maka akan ketahuan siapa-siapa itu yang menjadi Dirjen Pajak dan Direktur IT-nya, Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian dari awal tahun 2000-an sampai sekarang. Mereka pantas bertanggung jawab, karena itu saya hanya salut pada Jokowi atas kerja kerasnya, bukan yang lain. Oh ya saya juga salut pada Menkeu Sri Mulyani atas kerjanya sekembali dari Washington.
Pasca Pilpres saya langsung menulis ke Jl Besuki minta Presiden memprioritaskan penanganan pajak. Kenapa? Pada masa kampanye Jokowi dan Prabowo bicara potensi pajak kita besar, dan kalau tak salah keduanya mengatakan penerimaaan pajak bisa ditingkatkan menjadi 2000 T. Pendapat saya syarat utama untuk itu harus ada adminstrasi yang rapi, disamping SDM yang handal tentunya.
Karena itu dalam surat tadi saya usul agar blusukan pertama Jokowi dilakukan ke Ditjen Pajak untuk mengecek langsung sistim administrasinya sekaligus melakukan gebrakan – agar segera dibenahi. Tak lama kemudian Andi Kristanto bicara bahwa Jokowi akan blusukan ke Kantor Pajak. Saya jadi ge-er, tapi ditunggu sampai Andi dicopot tak ada berita Jokowi berkunjung ke Ditjen Pajak.
Nyatanya akhir-akhir ini penerimaan pajak kita hanya sekitar 1000 – 1200 T. Sudah lama tax ratio kita tak beranjak dari sekitar 12%, dan Ditjen Pajak tak pernah berhasil keluar atau naik dari angka itu. Menurut saya inilah salah satu faktor yang mendorong perlunya TA.
TA sebuah sukses besar ya, tapi selama kita belum bisa menciptakan sebuah sistim adminstrasi pajak yang rapi, saya percaya tak akan ada sukses ikutannya.
Beberapa Contoh Administrasi Pajak yang Rapih
- Australia 1973. Kala menjadi mahasiswa, 43 tahun yang lalu, masa komputer baru muncul, saya bekerja di minimarket saat libur musim panas. Tak lama kemudian tiba-tiba saya terima cek dari Treasury, pengembalian pajak penghasilan karena penghasilan saya dibawah PTKP. Ini tanpa saya minta.
- Bagaimana saat ini di negeri tercinta ? Kalau anda punya nenek yang kehidupannya ditopang pensiun janda dengan sedikit simpanan deposito di bank. Jelas penghasilannya dibawah PTKP, tapi apakah dia akan bisa menikmati pajak bunga deposito yang sudah terlanjur dipotong bank ? Karena sistim yang jelek negara tak bisa lain terpaksa menzalimi warga sendiri.
- Timothy Geithner Menkeu Obama jilid I. Sebelum resmi diangkat jadi Menkeu, dia dipanggil Kongres (hearing ?) dan ketahuan dia belum bayar PPh sewaktu menjadi konsultan, mungkin hanya 2 minggu atau sebulan, di IMF, untung dimaafkan. Ini bisa ketahuan karena sistim yang rapi dan anggota Kongres sesuai UU disana diberi akses ke data pajak.
- Keponakan saya mahasiswa di Taipeh buka warung yang banyak dikunjungi TKI/TKW. Dia gampang tahu pajak yang sudah dia bayar dengan hanya pergi ke kantor Camat atau Lurah minta print data pajaknya.
- Lima tahun lalu saya menjual tanah, ada pajaknya yang disebut BPHTB. Pajak ini dipotong dari harga jual oleh kantor notaris. Ketika saya kontak kring Pajak 1500200, katanya di Kantor Pajak BPHTB itu dicatat bukan atas nama saya, tapi kantor notaris. Wah wah ... Ini administrasi apa ? Mudah-mudahan sekarang sudah berubah.
- Saya punya tanah di Ciganjur. Ketua RT yang baik bayar dulu itu PBB kemudian datang kerumah saya sambil bawa rambutan. Kebetulan saya juga sudah bayar PBB itu melalui ATM. Bukti lengkap dan saya datangi kantor pelayanan PBB setempat. Kata seorang ibu disana: “Saya sarankan bapak relakan saja, nanti biaya mengurusnya bisa lebih besar dari pada uang yang kembali”. Ibu itu berkata jujur karena itu terpakasa saya terima.
Saya masih punya contoh, tapi saya pikir 6 itu sudah cukup untuk menggambarkan bagaimana tertinggalnya kita dalam kerapian admintrasi pajak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H