Mohon tunggu...
Rikson Pandapotan Tampubolon XVI
Rikson Pandapotan Tampubolon XVI Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

sedang belajar ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Titik Didih Suhu Politik Nasional

28 Maret 2014   03:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:22 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari itu tepat Jumat, 14 Maret 2014 di Rumah Si Pitung, Marunda, Jakarta Utara. Sebuah kabar perlawanan yang cukup mengejutkan, menggema ke seluruh negeri. Akhirnya, Jokowi resmi dideklarasikan menjadi calon presiden (Capres) dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Pertanyaan dan misteri mengenai capres PDIP terjawab sudah. Sang Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri—yang memiliki hak prerogatif—telah melepaskan mandatnya kepada sosok yang begitu fenomenal akhir-akhir ini. Sebagaimana data yang dilansir beberapa survei, Jokowi hampir selalu mendapat ranking pertama dalam jajak pendapat mengenai calon presiden Indonesia 2014.

Serasa tak percaya, bagaimana bisa Megawati Soekarnoputri melepaskan begitu saja boarding pass-nya kepada sosok yang bukan merupakan trah Soekarno? Wajar saja, banyak partai politik dijangkiti wabah politik dinasti atau oligarki politik. Pada titik inilah kenegarawan seorang Megawati Soekarnoputri diuji. Dan akhirnya terjawab sudah.

Ada beberapa calon presiden lain yang telah mendeklarasikan diri sebelumnya yaitu Prabowo Subianto (Gerindra), Aburizal Bakrie (Golkar), Wiranto (Hanura) dan Hatta Rajasa (PAN). Partai Demokrat masih sibuk mempersiapkan calon presidennya melalui proses konvensi, diantaranya Dahlan Iskan, Gita Wiryawan, Anies Baswedan, Ali Masykur Musa, Dino Patti Djalal, Endriartono Sutarto, Hayono Isman, Irman Gusman, Marzuki Alie, Pramono Edhie Wibowo, dan Sinyo Harry Sarundajang. Belum lagi, kita berbicara menanti capres dari partai menengah kebawah yang sedang dirumuskan.

Otomatis, kabar mengenai pencapresan Jokowi ini membuat dinamika politik nasional semakin panas. Bahkan, boleh menjadi titik didih (klimaks) dalam pertarungan perebutan kekuasaan menuju RI 1. Banyak capres lain—yang lebih dahulu mendeklarasikan diri menjadi capres—“kebakaran jenggot”. Ada yang berkelakar, masih perlukah pilpres? Euphoria pencapresan ibarat Jokowi telah terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia yang baru.

Pro Kontra Capres Jokowi

Maklum saja, perhitungan—kalkulasi politik--pencapresan Jokowi dinilai beberapa kalangan khususnya internal PDIP akan mendongkrak perolehan suara PDIP di Senayan. PDIP berharap dengan pencapresan Jokowi, langkah partai tersebut akan semakin mulus untuk mendominasi parlemen. Minimal memenuhi syarat pencalonan presiden yaitu 20 persen di DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional. Dengan begitu, PDIP akan lebih leluasa menentukan pemimpin republik ini—pasangan capres dan cawapres--kedepan.

Eskalasi pro dan kontra pencapresan Jokowi—yang semulai ramai dibicarakan—menuju titik klimaks. Bagi barisan pro Jokowi, kabar mengenai pencapresan ini adalah sebuah “kado besar” untuk bursa pemimpin republik ini kedepan. Ditengah-tengah kekosongan pemimpin muda, baru dan terbukti pengalamannya. Jokowi bak oase ditengah-tengah krisis kepemimpinan nasional. Blusukan adalah strategi andalan Jokowi yang berhasil memenangkan hati masyarakat Indonesia.

Sebaliknya, yang selama ini tidak menginginkan kehadiran Jokowi (kontra), pencapresan Jokowi bagai bencana di siang bolong. Berbagai alasan dikemukakan untuk mencibir sang capres PDIP. Utamanya, komitmen Jokowi dalam membangun Propinsi Jakarta. Sebagaimana kita tahu bersama, Jokowi adalah gubernur DKI Jakarta defenitif hari ini, yang baru menjalankan masa baktinya setengah periode.

Menarik untuk mengamati, pernyataan kontra atas pencapresan Jokowi. Ada yang murni yang menginginkan agar Jokowi kembali menuntaskan sisa masa baktinya sebagai gubernur. Dan adapula yang “mendompleng” pada barisan kontra ini, yang berisikan motif politik agar Jokowi mengurungkan niatnya menjadi Presiden Republik Indonesia Ketujuh. Mungkin ini jurus pamungkas yang paling ampuh, yang dimiliki pesaing (rivalitas) Jokowi untuk menjegal pencapresannya.

Menonjolnya sosok Jokowi pasca pencapresan akhirnya membuat persoalan baru. Dalam konteks persaingan politik, Jokowi akhirnya menjadi musuh bersama (common enemy) bagi para pesaingnya. Sebuah konsekuensi kepopuleran tanpa lawan tanding yang setara. Ini juga menurut beberapa survei. Semua beraksi, sampai-sampai pasar pun bergeliat positif—signifikan--pasca isu tersebut. Sebuah fenomena yang tidak lumrah.

Perjanjian Batu Tulis

Nampaknya, pencapresan Jokowi berbuntut pada perjanjian pada dua tokoh yang sebelumnya juga digadang-gadang menjadi capres yaitu Prabowo dan Megawati. Prabowo menilai pencapresan Jokowi telah melanggar perjanjian (wanprestasi) yang mereka buat, saat mereka memilih untuk berpasangan pada pemilihan presiden di tahun 2009.

Ada 7 (tujuh) poin dalam isi perjanjian tertulis tersebut yang sering disebut perjanjian batu tulis. Namun, persoalan utama berada pada poin ketujuh. Yang bunyinya, “Megawati Soekarnoputri mendukung pencalonan Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada Pemilu Presiden tahun 2014”.

Perjanjian yang dibuat di Jakarta, 16 Mei 2009, dituangkan dalam selembar kertas bermaterai ditanda-tangani oleh Prabowo dan Megawati semula hanya desas-desus politik. Kebenaran itu akhirnya dikemukakan oleh Gerindra. Sebab, Prabowo merasa sangat dirugikan akibat kebijakan—yang dinilai sepihak oleh Gerindra—pencapresan PDIP. Megawati dinilai mengkhianati perjanjian dua orang pemimpin.

Hubungan PDIP dan Gerindra pun akhirnya memanas. Gerindra sulit menerima kenyataan. Hal ini ditandai “serangan-serangan” yang dilakukan Prabowo kepada PDIP, khususnya Megawati. Barisan elite PDIP membantah bahwa perjanjian itu tidak berlaku karena pasangan Megawati-Prabowo kalah dalam Pilpres 2009. PDIP berkilah, otomatis perjanjian itu tidak berlaku lagi. Namun, yang menarik tak sekalipun Megawati memberikan pernyataannya secara langsung terkait polemik perjanjian tersebut.

Akan tetapi, semakin Gerindra mengungkit-ungkit persoalan perjanjian tersebut, semakin simpati publik tidak berpihak pada Gerindra. Bahkan seperti bumerang. Gencarnya tudingan Prabowo kepada Megawati malah menyerang berbalik arah. Prabowo dianggap lebay (berlebihan) dalam mengungkit Perjanjian Batu Tulis. Prabowo terkesan jauh dari sosok negarawan.

Masyarakat mungkin berpikir, tidak seharusnya pemimpin terlalu banyak mengeluh akan sebuah kecurangan. Masyarakat sudah lelah dengan pemimpin yang suka mengeluh, yang sering dipertontonkan pemimpin kita hari ini. Masyarakat sudah cukup cerdas. Biarlah, masyarakat cukup tahu dan pasti akan menilai di pertarungan pemilu kedepan.

Didalam politik apapun boleh terjadi. “Hati boleh panas, tetapi kepala harus tetap dingin”. Ungkapan keseharian sederhana, yang boleh jadi menjadi pedoman bersama. Betapapun panasnya suhu politik tanah air, semangat persatuan dan kesatuan harus tetap dijaga. Sejarah telah membuktikan kita pernah berjalan bersama dari satu pesta demokrasi ke pesta demokrasi berikutnya tanpa kericuhan yang berarti.

Indonesia sebagai salah satu Negara demokrasi terbesar di dunia. Harus tetap mencerminkan keadaban politiknya dimata dunia. Demokrasi Indonesia memiliki wajah yang lebih humanis dan menjunjung tinggi bahasa persatuan dalam bingkai Pancasila. Seberapun mendidihnya politik kita, semangat kebersamaan sebagai suatu bangsa harus tetap dijaga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun