kebaya. Mereka tengah menyampaikan pesan betapa adi luhungnya budaya bangsa.Â
Ada yang berbeda pada car free day (CFD) di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, kemarin. Berbeda karena hari bebas kendaraan bermotor itu diwarnai ribuan perempuan berpakaianPara perempuan itu ramai-ramai jalan santai, berpawai di jalanan Ibu Kota untuk mengampanyekan Kebaya Goes to UNESCO. Mereka berkomitmen menjadikan kebaya yang merupakan pakaian khas Indonesia dikukuhkan sebagai warisan budaya dunia.Â
Para perempuan itu sedang memainkan peran sebagai duta kebaya. Spanduk-spanduk besar bertuliskan Bangga Berkebaya mereka bentangkan. Tentu, mereka juga mengenakan kebaya.Â
Mereka ingin membuktikan bahwa berkebaya bukan berarti ribet. Mereka yang banyak di antaranya berusia 50 tahun ke atas kuat melangkah dari Jalan Jenderal Sudirman ke Bundaran HI. Jaraknya terbilang cukup jauh, sekitar 6 kilometer.Â
Mereka yang berkebaya itu ialah perempuan-perempuan tangguh. Kecintaan mereka terhadap kebaya begitu tinggi, tekad untuk mengampanyekan agar kebaya menjadi pakaian sehari-sehari begitu kuat.Â
Bagi mereka, kebaya bukan lagi identik dengan pakaian formal. Kebaya kini bisa dikenakan setiap saat di setiap tempat. Kebaya pun bisa dipadankan dengan hijab sebagai pakaian muslimah.Â
Dengan modifikasi, ia bahkan bisa dipakai untuk berolahraga. Itulah yang mereka tunjukan di CFD yang memang disediakan untuk berolahraga.Â
Soal pakaian boleh jadi urusan ringan. Namun, apa yang dilakukan ribuan perempuan berkebaya itu bukan peran main-main. Mereka menjadi pengingat betapa pentingnya semua anak bangsa mencintai budaya sendiri. Mereka menjadi penyampai pesan kepada seluruh kalangan untuk kembali ke jati diri bangsa.Â
Pakaian ialah bagian dari budaya. Pakaian menunjukkan jati diri bangsa. Pakaian juga menjadi bagian dari identitas sebuah bangsa. Maka, mencintai pakaian khas negeri berarti mencintai budaya, meninggikan jati diri, dan bangga dengan identitas bangsa sendiri.
Kenapa peringatan dan pesan itu penting? Harus kita katakan, belakangan banyak orang yang justru bangga dengan pakaian khas bangsa lain. Mereka gemar mengenakan, bahkan menjadikannya sebagai pakaian sehari-hari. Mereka mengaku sebagai anak bangsa Indonesia, tetapi hobi menonjolkan identitas mancanegara.Â
Tidak sedikit yang selalu memakai busana Arab. Tentu, kita sangat menghormati ketika mereka mengenakan pakaian yang memang sesuai tuntunan atau perintah agama. Sebagai umat beragama, begitulah semestinya.Â
Namun, haruskah busana yang merupakan identitas bangsa lain harus kita banggakan pula? Tidak sedikit pula yang gemar memakai pakaian ala Barat. Sama yang dengan kearab-araban, mereka juga bangga dengan gaya kebarat-baratan. Padahal, pakaian itu terkadang menegasikan norma dan kesopanan. Pakaian yang tidak patut kita kenakan sebagai orang Timur.Â
Kita bangsa besar, bangsa yang sarat dengan budaya luhur. Amatlah tidak elok sebagai bangsa besar kita justru menonjolkan budaya orang lain dan meminggirkan budaya sendiri. Petuah bijak mengatakan tanpa budaya sebuah bangsa akan hancur. Agar tidak hancur, menjadi keniscayaan bagi kita untuk menjunjung tingga budaya sendiri termasuk dalam berpakaian. Mengenakan pakaian khas negeri ini bukanlah aib. Bukan pula ketinggalan zaman. Ia justru sebuah kebanggaan tiada tara yang layak kita pamerkan kepada bangsa lain.
Referensi :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H