Regulasi tentang rumpun keilmuan dosen (selanjutnya disebut “linieritas dosen”) di Indonesia adalah topik yang tidak pernah terselesaikan perbalahannya.
Tidak terlalu jelas benar apa landasan argumentatif, atau minimal, saintifiknya sehingga Undang-Undang Perguruan Tinggi Nomor 12 menelurkan Pasal 10 tentang Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Yang pasti, pasal ini di kemudian hari menimbulkan kegaduhan di dunia pendidikan tinggi.
Beberapa artikel ilmiah yang diterbitkan di jurnal-jurnal akademik di Indonesia pun sedikit sekali yang benar-benar menekankan fokus penelitiannya kepada topik linieritas dosen. Dari penelusuran literatur di Jurnal Akademik di Indonesia, hanya ada satu penulis yang pernah membahas topik tersebut, yakni Nori Agustini. Nori menyoroti bahwa linieritas dosen berekses pada terbatasnya kepakaran keilmuan dosen hanya berdasarkan nomenklatur keilmuan yang ditentukan oleh kebijakan Ditjen Dikti (sekarang Ditjen Ristekdikti) saja. Implikasinya adalah perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia bisa terhambat.
Bertolak dari temuan di atas, artikel ini akan menjawab tentang apa itu definisi atau pengertian linieritas dosen dan apa saja praktik atau wujud implementasi linieritas di pelbagai perguruan tinggi di Indonesia. Artikel ini ditutup dengan saran mengapa penelitian tentang topik itu mesti digarap secara serius.
Linieritas Dosen
Istilah “Linieritas Dosen” sesungguhnya tidak dikenal di dalam sejarah perguruan tinggi hingga disahkannya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 10 tentang Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Di dalam UU itu pun, istilah “Linieritas Dosen” pun tidak ada. Istilah “Linieritas Dosen” baru muncul di dalam terminologi regulasi baru dua tahun kemudian, yakni pada Surat Edaran 696/E.E3/MI/2014 tanggal 12 Agustus 2014.
Rentang waktu yang relatif singkat, yakni sekitar dua tahun, itu ternyata cukup membawa polemik yang sangat serius di kalangan dosen. Ketidakjelasan tentang apa landasan dan batasan dari rumpun ilmu serta bagaimana pelaksanaannya memicu berbagai pihak memunculkan tafsirnya masing-masing.
Baru pada Surat Edaran Ditjen Dikti 696/E.E3/MI/2014 tanggal 12 Agustus 2014 itu lah publik mendapatkan kejelasan. Prinsip utama yang perlu digarisbawahi adalah ijazah yang diakui sebagai patokan linieritas oleh Ditjen Dikti adalah pendidikan terakhir Strata Dua (S-2) atau Strata Tiga (S-3) (pilih mana yang paling terakhir dimiliki dosen). Bidang keilmuan Strata Satu (S-1) tidak diakui atau diperhitungkan. Patokan itu pun masih berlaku hingga artikel ini dipublikasikan.
Prinsip kedua yang juga harus dicatat adalah pendidikan terakhir dosen tidak harus sama dengan program studi (Selanjutnya disingkat “Prodi”) tempatnya mengajar, baik dalam proses perekrutan dosen baru untuk keperluan membuka atau pendirian program studi baru maupun untuk program studi yang sudah berjalan. Prinsip ketiga adalah linieritas itu bukan kesamaan bidang ilmu (program studi) yang diraih dosen dari jenjang S-1 sampai dengan S-3.
Setelah ketiga prinsip itu dipahami, barulah melangkah ke tahap selanjutnya. Dosen hanya bisa mengurus kenaikan jabatan fungsionalnya jika mata kuliah yang diampunya dan penelitian yang dilaksanakannya berkesusaian dengan bidang keilmuan pendidikan terakhir dosen (tergambar secara kongkret melalui nama program studi tempat dosen tersebut menempuh studi S-2 atau S-3).