Menurut Harian Kompas (16/10/2015), peserta bela negara dibagi menjadi dua kategori, kader pelatih inti dan kader nonpelatih inti. Untuk kader pelatih inti, pelatihan diberikan selama sebulan. Sementara itu, kader nonpelatih inti diberikan pelatihan selama lima hari. Untuk 2015, anggaran yang digelontorkan untuk program ini sebesar Rp 45 miliar. Pada 2016, anggaran akan ditambah 18 miliar lagi.
Jimly Asshidiqie mengatankan bahwa materi bela negara  juga bisa dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan. Dananya diambil dari anggaran pendidikan yang jumlahnya 20 persen dari APBN. Dia juga menambahkan agar program bela negara tidak dijalankan seperti wajib militer karena tidak sesuai dengan kondisi Indonesia.
Pertanyaan penting untuk program bela negara adalah, jika ingin dilaksanakan, apa materi pelatihan apa yang cocok untuk Indonesia?
Senjata Api vs Senjata Pikir
Jika melihat kondisi dunia hari ini, tantangan paling terbesar dari kehidupan bernegara adalah bukan senjata api, melainkan senjata pikir. Bagi saya, senjata api hanya turunan dari proses berpikir. Maksudnya, jika ada masalah, pikiran kita akan memproses luaran yang paling cocok untuk penyelesaiannya. Masalahnya adalah kita cenderung menunggu ada kejadian, baru bertindak. Untuk itu, senjata api terkadang menjadi pilihan yang paling rasional. Contohnya adalah penanganan tindakan terorisme yang terpaksa harus menggunakan senjata api.
Padahal, sebelum terjadi peristiwa, selalu ada pergulatan di pikiran tiap pelaku. Para pelaku pun sebelum bertindak akan bertolak dari suatu masalah yang menurutnya harus diselesaikan. Baik masalah itu dibuat-buat (pseudo-problem) atau memang masalah yang sungguh-sunggh faktual. Hasil pergulatan pikiran itulah yang akan menentukan apakah solusi yang dipilih akan memenangkan semua pihak atau merugikan pihak lain sebanyak mungkin. Di sini, kelihaian bernalar dan beretika menjadi pertaruhan. Kehadiran nalar dan etika itu yang saya maksud dengan senjata pikir.
Memahami Bela NegaraÂ
Untuk memahami konsep Bela Negara, saya merasa perlu untuk mengupas kata "bela" dari frase "bela negara". Ada beberapa makna yang berdekatan dengan kata "bela", yakni merawat, memelihara, menjaga, dan melepaskan dari bahaya. Inti dari beberapa makna kata itu adalah memelihara dengan cara merawat dan menjaga agar terlepas dari bahaya. Bela negara dengan demikian dapat dimaknai sebagai upaya untuk memelihara negara dengan cara merawat dan menjaga agar terlepas dari bahaya.
Lalu, siapa kah yang sedang menghadapi bahaya? Saya putuskan, manusia dan alam di negara Indonesia. Untuk itu, harus ada yang membela. Pembelanya adalah manusia Indonesia itu sendiri. Tidak ada yang lain!
Apakah bahaya yang paling ditakuti orang Indonesia? Barangkali jawabannya jangan-jangan justru sederhana, yakni apakah hari ini kita masih bisa makan dan tinggal dengan layak. Tidak cukup hanya itu. Kita barangkali juga takut tidak bisa sekolah tinggi dan kesulitan memulai usaha. Terlebih tersiar kabar pekerja asing untuk tingkat buruh pun harus dipasok dari luar negeri. Tahun depan, MEA segera menghampiri. Bukan kah ketakutan-ketakutan macam ini yang kerap dipelintir oleh provokator terorisme dalam merekrut eksekutor tindakan teror?
Usulan Materi Bela Negara
Dengan memahami apa yang patut dibela dari negara ini, maka setidaknya ada dua materi yang cocok untuk digunakan sebagai materi bela negara: Pelatihan berpikir kritis dan kewirausahaan sebagai tool studies dan nilai-nilai kebangsaan sebagai content studies.
Dengan berpikir kritis sebagai tools studies, segenap warganegara mendapatkan "haknya" untuk dapat mengolah nalarnya yang selama ini barangkali telah dibuat linglung oleh iklan komersial, siaran televisi yang tidak bermutu, media sosial. Warganegara kita sudah sepatutnya diberikan kesempatan untuk mendapatkan pelatihan berpikir yang lurus. Jangan lupa, para provokator terorisme dan provokator kerusuhan mudah mendapatkan mangsanya ketika orang-orang yang ada di hadapannya lemah dalam bernalar.
Contohnya, ketika ada ayat suci yang dibelok-belokan sedemikian rupa agar menuju kepada tindakan destruktif, warganegara yang sudah terlatih nalarnya dapat mempermasalahkan pembelokkan tersebut sebagai upaya membela diri. Materi berpikir kritis telah disediakan oleh disiplin Ilmu Filsafat. Kementerian Pertahanan dapat menggunakan sumber-sumber materi berpikir kritis yang berlimpah dari internet sehingga dapat menekan biaya serendah mungkin.
Namun, pelatihan berpikir kritis juga harus dibarengi dengan pelatihan kewirausahaan. Rasanya tidak perlu diragukan lagi kepiawaian TNI kita dalam berbisnis. Selain itu, kementerian pertahanan juga dapat meminta dukungan dari para pengusaha, baik senior maupun junior, agar menyukseskan materi pelatihan kewirausahaan dengan mengirimkan pelatih terbaiknya. Dengan pelatihan ini, setiap warganegara mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan potensi homo economicus yang ada pada dirinya untuk berkembang. Ketahanan ekonomi diharapkan bisa terwujud dengan materi ini. Toh, Presiden Joko Widodo juga mendukung pengembangan kewirausahaan. Buktinya, Paket Kebijakan Ekonomi Jilid IV menyebutkan bahwa kredit usaha rakyat (KUR) juga diberikan untuk perorangan dan karyawan. Jadi, antara pelatihan bela negara dan kebijakan paket ekonomi bisa saling bersinergi satu sama lain.
Sementara itu, nilai-nilai kebangsaan juga perlu ditafsirkan ulang. Apakah yang disebut mencintai bangsa ini berarti harus melulu berjuang di lingkup teritori NKRI atau bisa di luar negeri. Sebab, peran penting diaspora kita di luar negeri tidak bisa dipandang sebelah mata.
Penutup
Pelatihan bela negara tidak lah terlalu menyeramkan jika ada upaya memahami dulu persoalan yang dihadapi bangsa ini. Seperti yang sudah disebutkan, saya menengarai bahwa bahaya yang kerapkali ditakuti justru persoalan bertahan hidup. Jika persoalan bertahan hidup tidak segera diatasi, maka tindakan terorisme dan kerusuhan mendapatkan lahan persemaian yang subur. Terlebih jika manusia Indonesia kesulitan berpikir lurus, tentu api kekacauan akan mudah diletupkan. Untuk itu materi berpikir kritis dan kewirausahaan dapat dijadikan bahan pelatihan dalam bela negara sebagai pendamping materi nilai-nilai kebangsaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H