Pesta demokrasi serentak bagi pemilihan 270 kepala daerah tingkat kabupaten, kota dan provinsi sudah mendekati akhir. Nama-nama kepala daerah terpilih versi hitungan cepat sudah bermunculan. Baik hitungan cepat versi lembaga survey maupun KPU Daerah yang bisa menggambarkan sosok kepala daerah terpilih. Selanjutnya akan ditetapkan dalam sidang pleno KPU daerah masing-masing sebagai kepala daerah terpilih.
Pilkada serentak pada 9 Desember lalu, mencatat sebanyak 715 pasangan calon kepala daerah ikut bertarung. Mereka beradu pesona dan gagasan untuk meraih simpatik pemilih. Dengan menawarkan berbagai program yang dituangkan dalam visi dan misi pasangan calon. Dimana ujung dari visi dan misi para kepala daerah itu sudah pasti sama, yakni sejahterakan daerahnya.
Abaikan 100 Hari Kerja untuk Konsolidasi Politik
Setelah ditetapkan sebagai kepala daerah terpilih, tentu tidak boleh duduk manis. Segeralah tekan 'pedal gas' melaksanakan visi-misinya. Setidaknya tunjukan sedikit wajah perubahan pada 100 hari kerja pertama. Agar optimisme masyarakat tumbuh atas terpilihnya sosok pemimpin baru. Bagai pepatah 'kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda'.
Memang tidak ada rumusan baku, apa saja yang perlu dilakukan pada seratus hari pertama. Karena setiap daerah memiliki tantangannya sendiri. Meski sepatutnya pada 100 hari kerja pertama, kepala daerah terpilih sudah punya prioritas kerja. Bahkan prioritas kerja sepatutnya ditentukan jauh sebelum maju sebagai calon kepala daerah.
Lazimnya, pada 100 hari kerja pertama bagi kepala daerah, memanfaatkannya untuk konsolidasi politik. Dengan membangun dialog dan kerja politik dengan institusi lokal. Baik itu partai politik lokal, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial dan sebagainya. Harapannya mendapatkan dukungan penuh pada masa kepemimpinan lima tahun mendatang.
Tanpa sedikit nyinyir, upaya konsolidasi politik memang sah-sah saja. Hanya terasa konvensional. Terlalu mainstream. Standar dan tidak naik kelas. Apalagi pola-pola semacam itu hanya untuk memuaskan atau meredam emosi elit politik lokal yang kalah. Singkat kata sebatas diplomasi yang sejatinya tidak banyak manfaat bagi rakyat di daerah tempatnya terpilih.
Tidak hanya itu saja, bentuk-bentuk konsolidasi tersebut menggambarkan kualitas aktor politik lokal masih rendah. Dalam kontestasi apapun menang dan kalah adalah realitas. Apalagi pilkada sebagai instrument demokrasi untuk menjaring kepala daerah, sepatutnya hasilnya dihormati seluruh institusi politik.
Bagi yang terpilih tunjukan gebrakan perdana pada 100 hari pertama yang spektakuler. Bagi yang oposisi tunjukan gebrakan saran konstruktif pada 100 hari pertama.  Selanjutnya berkomitmen  bersama mengawal visi-misi kepala daerah terpilih sampai habis masa jabatannya.
Pelayanan Publik dan Perbaikan Ekonomi Lokal