Rencana pemerintah memulangkan sejumlah mantan anggota Islamic State ke Indonesia, menuai banyak kritikan. Pasalnya mantan anggota Islamic State identik dengan kelompok teroris.Â
Tak ayal, rencana pemerintah itupun dituding melakukan pelanggaran atas UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Karena mantan Islamic State sejatinya sudah melakukan pelanggaran atas status kewarganegaraannya.
Terlepas dari itu semua bukan berarti tanpa jalan keluar. Dalam UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan pun mengatur jalan tengahnya. Misalkan mengajukan kembali permohonan sebagai warga negara Indonesia yang kemudian mengucapkan sumpah setia sebagai warga negara Indonesia. Hal itu dijelaskan pada Pasal 12 sampai pasal  25, UU No.12 Tahun 2006.
Setidaknya itu pendekatan prosedural yang dapat dilalui mantan anggota Islamic State yang ingin pulang ke Indonesia. Meski itu pun tidak cukup mengingat permohonan tersebut perlu persetujuan dari Presiden. Kemudian baru dapat diturunkan sebagai dokumen kewarganegaraan.
Persoalan yang sejatinya lebih rumit adalah pemahaman ideologi mantan anggota Islamic State ini. Dalam sudut pandang ideologi Pancasila sudah pasti yang dilakukan mantan Islamic State tidak sedikit pun yang bersesuain dengan ideologi bangsa. Bertolak belakang dan jauh dari apapun yang digariskan.
Namun lagi-lagi bukan tanpa jalan keluar. Masih ada pendekatan lain untuk meluruskan pemahaman ideologi yang keliru tersebut. Meskipun derajat persoalannya bisa menjadi berbeda-beda pada setiap mantan anggota Islamic State ini. Sehingga pendekatannya pun menjadi bervariasi dan treatment yang tidak sama.
Pelurusan paham ideologi mantan anggota Islamic State adalah titik tekannya. Pelurusan ideologi yang sudah terkontaminasi tersebut tidak dapat dilakukan dengan cara biasa saja. Apalagi membiarkan hidup dalam lingkungan sosial biasa. Masyarakat dapat menjadi korban terpapar ideologi teroris.
Langkah yang diyakini tepat adalah mengisolosi mantan teroris di sebuah pulau tersendiri. Dimana pola kehidupannya diatur dalam ritme yang ditetapkan pemerintah. Sekaligus pola pendidikan dan informasi yang diterimanya. Harapannya mampu mempercepat pelurusan ideologi mantan anggota Islamic State ini.
Namun bukan tanpa resiko pula. Pemerintah perlu mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk menata pulau teroris. Tidak pula pantas mengisolosi dengan mengabaikan hak-hak dasar sebagai manusia. Karena setiap orang, punya kesempatan menjadi lebih baik. Semoga.
Riko Noviantoro
Peneliti Kebijakan Publik
Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP)