Mohon tunggu...
Riko Noviantoro Widiarso
Riko Noviantoro Widiarso Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti Kebijakan Publik

Pembaca buku dan gemar kegiatan luar ruang. Bergabung pada Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mungkinkah Teknologi Drone Mengawal Natuna?

20 Januari 2020   01:43 Diperbarui: 20 Januari 2020   23:58 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masuknya kapal-kapal pencari ikan asal negara Tiongkok merupakan peristiwa serius. Kapal berbendera asing yang masuk tidak hanya melakukan pelanggaran batas kedaulatan, tetapi juga secara terang-terangan menjarah kekayaan negeri.

Kejadian tersebut jelas sebuah tindakan yang tidak dapat ditoleransi. Secara terang-terangan merendahkan kedaulatan sebuah negara. Bahkan dilakukannya berulang-ulang kali.

Dari sejumlah catatan ketegangan Indonesia dan Tiongkok di perairan Natuna mulai menguat sejak tahun 2009. Diawali dengan sikap pemerintah Tiongkok yang memberlakukan Nine-Dash Line di perairan Natuna. Pemberlakukan itu berdasarkan pertimbangan sepihak tentang sejarah pelaut tradisional Tiongkok yang telah mengarungi Natuna sejak abad ke 15 sebagai area tangkapan.

Sejak tahun itulah Tiongkok secara terbuka membiarkan dan melindungi kapal-kapalnya berburu ikan di Natuna. Tidak jarang kapal militer Tiongkok mendampingi kapal-kapal nelayannya berburu kekayaan di negara Indonesia.

Atas tindakan yang tidak terhormat tersebut, pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Melakukan protes dan perjuangan dalam bebagai forum internasional. Pendekatan diplomasi hingga pendekatan serius telah dilakukan, namun kapal berbendera Tiongkok itu tidak pernah surut.

Sikap pemerintah Indonesia sudah cukup tegas. Melakukan penangkapan, pengusiran dan penghalangan kapal dari negara manapun memasuki kawasan Natuna. Bahkan ketegangan meingkat pada tahun 2016, sejumlah kapal Tiongkok ditangkap, antara lain KM Kway Fey dan KM Gui Bei Yu.

Faktanya tidak menghentikan aksi kapal Tiongkok. Termasuk pula kapal-kapal asing dari negara lain. Mereka terus kucing-kucingan mencuri kakayaan di perairan Natuna. Ditambah pula memanfaatkan kelemahan angkatan laut Indonesia dalam pengamanan perairan laut Natuna.

Sejatinya pengamanan laut Indoensia sudah melibatkan banyak lembaga pemerintah. Mulai dari angkatan laut, Badan Kemanan Laut (Bakamla) hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan. Namun ternyata masih belum cukup mampu. Setidaknay menjaga perairan laut Natuna yang memiliki luas 3,6 juta kilometer persegi.

Banyak faktor yang menyebabkan kelemahan pengamanan itu. Pertama alutsista keamanan laut yang minim, kedua anggaran operasional yang rendah dan tiga pemanfaatan teknologi yang tidak optimal. 

Akibatnya operasi pengejaran kapal asing tidak berbuah maksimal. Terbukti dari laporan Bakamla terkait 50 kapal asing yang tertangkap radar beroperasi di Natuna, hanya 12 kapal yang berhasil diburu.

Ketiga penyebab ketidakmampuan mengawal perairan Natuna patut mendapat jawaban cepat. Melalui pemanfaatan teknologi drone atau pesawat nirawak. 

Teknologi drone saat ini telah berkembang sangat pesat. Pemanfaatan teknologi drone yang dilengkapi system pengaman terbaru mampu mendeteksi sekaligus melakukan pencegahan terhadap kapal-kapal asing yang masuk di perairan Natuna.

Pada awalnya penyiapan teknologi drone untuk mengawal laut Natuna sudah pasti mahal. Namun dapat efektif mengawal perairan. Sekaligus kemampuan jelajah yang luas serta dukungan teknologi pengindraan sekaligus pencegahan yang efektif. Sehingga mampu menekan masuknya kapa lasing di perairan Natuna.

Tantangannya adalah keberanian pemerintah Indonesia mengembangkan teknologi drone untuk pengawalan laut. Sekaligus keberanian pemerintah Indonesia mengucurkan dana serta pengembangan personil dalam pengoperasian pesawat nirawak ini. 

Semoga dengan teknologi drone kedaulatan maritim dapat terjaga.

Riko Noviantoro
Peneliti Kebijakan Publik
Institute for Development of Policy and Local Partnersihip (IDP -- LP)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun