Tidak menyangkal kalau beberapa tahun ini potret kerukunan hidup di masyarakat mulai meretas, bahkan nyaris terkoyak. Bagaikan selembar kain yang mulai 'tepok' bilah benangnya. Membuat sangat mudah terkoyak hanya dengan sekali tarikan tangan.
Pernyataan itu bukan tanpa dasar. Mari lihat data SETARA Institute pada Juni 2018. Dimana pada tahun yang sama, kasus kekerasan berlatar agama terjadi 109 peristiwa dengan 136 tindakan. Kasus tersebut tersebar pada 20 provinsi di Indonesia. Dengan kedalaman dampak yang tentu cukup memprihatinkan.
Data lebih tajam terlihat dari catatan Yayasan Denny JA yang menyebut dalam 14 tahun setelah reformasi, tercatat sedikitnya 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Indonesia. Dari jumlah itu paling banyak kekerasan berlatar agama sebanyak 65 persen dan kekerasan etnis 20 persen. Sisanya kekekerasan dengan faktor yang beragam.
Tidak cukup itu saja hasil survey Komnas HAM 2018 menunjukan pola segregasi sosial yang meninggi. Dari survey itu mencatat 80 persen peristiwa diskriminasi ras dan etnis berujung pada tindakan kekerasan. Semua data tersebut menggambarkan kegentingan kehidupan bermasyarakat.
Lantas bagaimana solusinya? Tentu harus disadari persoalan diskriminasi, intoleransi dan kekerasan sosial lainnya mencakup dimensi luas. Pemerintah dan berbagai elemen perlu bergandeng tangan. Terlibat secara aktif secara kolektif. Tidak terkecuali entitas media massa dan aktor-aktor media sosial yang perlu dirangkul secara tepat.
Ada satu elemen yang perlu pemerintah perhatikan, yakni kelembagaan rukun tetangga (RT). Dalam banyak literatur kelembagaan RT masuk dalam Lembaga Kemasyarakatan. Dimana perannya yang strategis terasa kian terabaikan. Pemerintah lebih sering menempatkan peran kelembagaan RT di tingkat kelurahan maupun desa sebagai kelembagaan administrative saja. Membantu pemerintah dalam pendataan penduduk. Tidak menggandengnya pada peran yang lebih optimal, khususnya terkait pada kasus-kasus intoleransi, diskriminasi dan lainnya.
Masyarakat pun menyadari peran RT mulai kentara saat jelang pemilihan umum saja. Baik itu tingkat daerah maupun nasional. Kelembagaan RT dirangkul untuk memvalidasi data pemilih, membentuk kepanitian pemilihan umum, penyiapan lokasi tempat pencoblosan suara dan perhitungan. Itu saja.
Peran RT yang sedikit terlihat lebih cerdas, tampak pada proses penentuan arah pembangunan daerah. Melalui kegiatan musyawarah rencana pembangunan (Musrembang) yang banyak pengurus RT diundang untuk terlibat. Meskipun sebatas mendengarkan dan mengajukan saran yang juga tidak diperdulikan. Lagi-lagi kelembagaan RT yang administratif.
Padahal secara regulasi kelembagaan RT memiliki fungsi yang lebih luas sebagaimana tertuang pada Permendagri No.18/2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa, dimana pada pasal 5 huruf (b) menyebutkan lembaga kemasyarakat memiliki fungsi menanamkan dan memupuk rasa persatuan dan kesatuan. Hal itu berarti kelembagaan masyarakat, RT perlu didorong untuk mencapai fungsi tersebut.
Berbekal dari Pasal 5 huruf (b) itulah sebaiknya pemerintah daerah melakukan upaya pendampingan dan pembianan yang tepat, dalam upaya memenuhi fungsi tersebut. Tidak lagi menjadikan kelembagaan RT sebagai fungsi administrative. Bahkan sebagai aksesori pemerintahan semata.
Harus diyakini bahwa kelembagaan RT yang demokratis akan mampu meredam persoalan diskriminasi ras, etnik dan lainnya. Bahkan kelembagaan RT yang demokratis mampu mencegah aksi intoleransi.
Sayangnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengabaikan fungsi kelembagaan RT. Akibatnya kasus-kasus kekerasaan diskriminasi, intoleransi pun mencuat dipermukaan. Mari optimalkan kelembagaan RT sebagai solusi mengurai persoalan sosial.
Riko Noviantoro, Peneliti Kebijakan Publik, Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H