Mohon tunggu...
Riko Noviantoro Widiarso
Riko Noviantoro Widiarso Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti Kebijakan Publik

Pembaca buku dan gemar kegiatan luar ruang. Bergabung pada Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Hari Buruh dalam Prespektif Keputusan Presiden

18 April 2019   22:45 Diperbarui: 18 April 2019   22:48 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 1 Mei 2019 nanti menjadi tahun keenam berlangsungnya Hari Buruh sebagai hari libur nasional. Penetapan Hari Buruh sebagai hari libur nasional tertuang dalam Keputusan Presiden No. 24 Tahun 2013 tentang 1 Mei Sebagai Hari Libur. Pemerintah memiliki dasar pertimbangan cukup bijak, yakni menjadikan momentum membangun kebersamaan antara pelaku industrial, agar keharmonisan dapat terwujud di seluruh wilayah Indonesia.

Pertimbangan sosiologis tersebut menempatkan terma harmonis sebagai konsideran dalam keputusan yang diterbitkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pilihan kata hamonis berasal dari kata harmoni yang menunjuk pada suasana keselarasan. Suasana yang saling menyenangkan. Suasana yang saling menguatkan. Hal tersebut yang diharapkan hadir dari penetapan Hari Buruh sebagai hari libur.

Tentu saja keharmonisan yang dimaksud adalah keselarasan pelaku industrial. Dalam hal ini diperankan para buruh dan pemiliki modal serta entitas disekitarnya. Dengan dasar keyakinan bahwa keharmonisan pelaku industrial bisa menjadi energy meningkatkan iklim perekonomian nasional.

Buah dari keharmonisan tersebut ditandai meningkatnya produktifitas pelaku industrial. Kemudian akan  bermuara pada membaiknya pendapatan buruh dan keuntungan usaha. Selain itu juga keharmonisan bertujuan menghapus rasa curiga, dengan menjaga relasi yang saling menghargai dan menghormati antara pengusaha dan pekerjanya.

Sayangnya makna sosilogis yang begitu mendalam dan mendasari Keputusan Presiden ternyata tidak banyak dipahami masyarakat, khususnya pelaku industri.

Penetapan hari libur pada Hari Buruh berubah menjadi suasana penuh kecemasan. Perasaan cemas dan takut yang menyebar ke berbagai entitas sosial. Mulai pengusaha besar, pengusaha menengah, pengusaha kesil, pelajar, sampai masyarakat. Bahkan pemerintah ikut merasakan kecemasan.

Terbayangnya suasana cemas pada Hari Buruh, memang bukan tanpa alasan. Sejarah lahirnya Hari Buruh Internasional memang dilatarbelakangi suasana penuh kericuhan.

Penetapan Hari Buruh itu merujuk pada peristiwa 1 Mei 1886 di Amerika Serikat. Ketika itu Serikat Pekerja di negara adidaya melakukan demonstrasi besar-besaran yang tuntutan pemberlakuan 8 jam kerja serta kenaikan upah buruh.

Aksi massa yang melibatkan puluhan ribu pekerja berlangsung berhari-hari dan berujung kerusuhan. Setelah bom rakitan meledak tepat di alun-alun Hyamarket, Chicago dan menewaskan sejumlah buruh serta aparat kepolisian. Akibat peristiwa itu sedikitnya 100 buruh ditahan polisi.

Kejadian yang memprihatinkan tersebut menjadi pembahasan dalam Konferensi Internasional Sosialis tahun 1889. Dengan tujuan menghormati perjuangan para buruh di AS dan Kanada serta insiden Hyamarket tersebut lahir peringatan Hari Buruh Internasional, yang diperingati setiap 1 Mei.

Berlatar semangat itu peringatan Hari Buruh pun meluas. Berbagai negara setiap tahun bersiaga menghadapi aksi buruh. Tidak terkecuali pemerintah Indonesia. Ragam aksi buruh mencemaskan telah terjadi di Indonesia, antara lain aksi demo marathon di Jakarta, aksi kepung Istana hingga memblokir jalan tol.

Terbitnya Keppres No. 24 Tahun 2013 menjadi bukti pemerintah menghormati peringatan Hari Buruh.  Wujud penghormatan tersebut dituangkan melalui keputusan hari libur pada 1 Mei. Hal itu juga dapat dimaknai Hari Buruh sebagai perayaan untuk semua kalangan, tidak hanya buruh industri. Tetapi juga pekerja pada sektor lainnya.

Lebih menariknya pemerintah menempatkan semangat keharmonisan sebagai nilai mendasar dalam peringatan Hari Buruh. Keharmonisan dalam perayaan bagi semua pihak, yang memungkinkan pula pemerintah sebagai fasilitator perayaan tersebut.

Dari sinilah pemerintah sejatinya bisa menghadirkan pola peringatan Hari Buruh yang lebih produktif. Melalui kegiatan bersama yang ditujukan bagi peningkatan kualitas diri para buruh.

Misalkan saja, Hari Buruh dijadikan moment pemberian beasiswa bagi buruh dan keluarganya untuk melanjutkan pendidikan. Dapat pula program beasiswa untuk peningkatkan keterampilan teknis buruh. Bahkan tidak menutup kemungkinan program meningkatan kualitas keimanan, melalui umroh bersama.

Melalui konsep perayaan Hari Buruh bersama itu dapat menghindari aksi massa turun ke jalan. Buruh tidak perlu lagi beraksi sambil menunjukan kekuatan jumlah buruh dengan atribut-atribut khasnya.

Hari Buruh harus bersama dirayakan, dijadikan sebagai pesta layaknya pesta perayaan hari-hari penting lainnya. Semoga melalui peringatan Hari Buruh mampu membangun kekuatan ekonomi bangsa.

Peneliti Kebijakan Publik
Institute for Development of Policy and Local Partnership

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun