Pada 1 Mei 2019 nanti menjadi tahun keenam berlangsungnya Hari Buruh sebagai hari libur nasional. Penetapan Hari Buruh sebagai hari libur nasional tertuang dalam Keputusan Presiden No. 24 Tahun 2013 tentang 1 Mei Sebagai Hari Libur. Pemerintah memiliki dasar pertimbangan cukup bijak, yakni menjadikan momentum membangun kebersamaan antara pelaku industrial, agar keharmonisan dapat terwujud di seluruh wilayah Indonesia.
Pertimbangan sosiologis tersebut menempatkan terma harmonis sebagai konsideran dalam keputusan yang diterbitkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pilihan kata hamonis berasal dari kata harmoni yang menunjuk pada suasana keselarasan. Suasana yang saling menyenangkan. Suasana yang saling menguatkan. Hal tersebut yang diharapkan hadir dari penetapan Hari Buruh sebagai hari libur.
Tentu saja keharmonisan yang dimaksud adalah keselarasan pelaku industrial. Dalam hal ini diperankan para buruh dan pemiliki modal serta entitas disekitarnya. Dengan dasar keyakinan bahwa keharmonisan pelaku industrial bisa menjadi energy meningkatkan iklim perekonomian nasional.
Buah dari keharmonisan tersebut ditandai meningkatnya produktifitas pelaku industrial. Kemudian akan  bermuara pada membaiknya pendapatan buruh dan keuntungan usaha. Selain itu juga keharmonisan bertujuan menghapus rasa curiga, dengan menjaga relasi yang saling menghargai dan menghormati antara pengusaha dan pekerjanya.
Sayangnya makna sosilogis yang begitu mendalam dan mendasari Keputusan Presiden ternyata tidak banyak dipahami masyarakat, khususnya pelaku industri.
Penetapan hari libur pada Hari Buruh berubah menjadi suasana penuh kecemasan. Perasaan cemas dan takut yang menyebar ke berbagai entitas sosial. Mulai pengusaha besar, pengusaha menengah, pengusaha kesil, pelajar, sampai masyarakat. Bahkan pemerintah ikut merasakan kecemasan.
Terbayangnya suasana cemas pada Hari Buruh, memang bukan tanpa alasan. Sejarah lahirnya Hari Buruh Internasional memang dilatarbelakangi suasana penuh kericuhan.
Penetapan Hari Buruh itu merujuk pada peristiwa 1 Mei 1886 di Amerika Serikat. Ketika itu Serikat Pekerja di negara adidaya melakukan demonstrasi besar-besaran yang tuntutan pemberlakuan 8 jam kerja serta kenaikan upah buruh.
Aksi massa yang melibatkan puluhan ribu pekerja berlangsung berhari-hari dan berujung kerusuhan. Setelah bom rakitan meledak tepat di alun-alun Hyamarket, Chicago dan menewaskan sejumlah buruh serta aparat kepolisian. Akibat peristiwa itu sedikitnya 100 buruh ditahan polisi.
Kejadian yang memprihatinkan tersebut menjadi pembahasan dalam Konferensi Internasional Sosialis tahun 1889. Dengan tujuan menghormati perjuangan para buruh di AS dan Kanada serta insiden Hyamarket tersebut lahir peringatan Hari Buruh Internasional, yang diperingati setiap 1 Mei.
Berlatar semangat itu peringatan Hari Buruh pun meluas. Berbagai negara setiap tahun bersiaga menghadapi aksi buruh. Tidak terkecuali pemerintah Indonesia. Ragam aksi buruh mencemaskan telah terjadi di Indonesia, antara lain aksi demo marathon di Jakarta, aksi kepung Istana hingga memblokir jalan tol.