Mohon tunggu...
Rikma Pethak
Rikma Pethak Mohon Tunggu... -

Seorang tua yang sendirian...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gumregah atau Mlumah?

26 Februari 2015   20:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:28 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14249307801681590439

Bisa jadi alasan mereka karena sibuk, tapi sibuk apa? Harusnya kurang dari sebulan dari tanggal kegiatan launching, mereka sibuk mengurusi kegiatan itu termasuk publikasi dan mengamati sosial media sebagai salah satu tempat mereka woro-woro, lha kok ya pada ndak ada yang protes waktu itu? Mosok to luput dari perhatian? Ing atase ada HASHTAG e lho. Ndak meriksa hashtag pho?

Dan yang lebih menakutkan lagi bagi saya, apa jadinya kalau sampai tanggal 7 Maret yang akan datang, tidak ada orang yang mengunggah gambar yang membandingkan poster tersebut dengan poster film World War Z, sehingga poster tersebut resmi jadi poster publikasi kegiatan. Kemudian sehari setelah acara, baru ada yang menyebarkan gambar tersebut ke mana-mana. Kira-kira mau ditaruh di mana muka kita sebagai warga Yogyakarta, yang ngakunya istimewa tapi bikin poster untuk “launching” logo kotanya yang “citizen branding” itu jebul mencontek desain film luar negeri?

Akibatnya adalah, kesan yang muncul dari poster ini bisa jadi adalah ketimbang memberikan pesan “Gumregah” poster tersebut seolah mengajak warga Yogyakarta “Mlumah”, pasrah, manut saja apa yang orang-orang lakukan untuk daerah mereka, misalnya desain poster pengumuman launching ini.

Atau jika dikaitkan dengan film yang dicontek posternya itu, seolah warga Yogyakarta diajak “Gumregah”, tapi bukan untuk bangkit penuh semangat membangun daerahnya, melainkan untuk bangkit dan patuh menurut apa saja yang diperintahkan orang-orang pada mereka. Seperti zombie.

Atau…

Jangan-jangan ini hanya pengalihan isu saja. Jangan-jangan ini biar kita lupa kalau lahan-lahan bermain kita dulu dan anak-anak kita kini sudah berubah jadi hotel, apartemen, dan kos eksklusif yang mahal. Jangan-jangan supaya kita tak sadar kalau pasar tradisional kita sudah terkikis perlahan dan menjelma jadi mall-mall besar. Jangan-jangan biar kita lupa kalau air sumur kita mengering.

Jangan-jangan supaya kita tak menghitung Upah Minimum Propinsi (UMP) DIY yang terhitung rendah dibanding Propinsi lain di Indonesia, sangat sukar meraih harga-harga sewa hotel, apartemen, kos eksklusif, maupun membeli barang-barangdi mall tersebut. Jangan-jangan ada sesuatu yang lebih besar dan tidak akan nyaman bagi masyarakat Yogyakarta. Jangan-jangan seperti saudara-saudara kita dari Betawi, kita -orang Yogyakarta- perlahan-lahan dipinggirkan.

Akhirnya, mungkin sama seperti warga Yogyakarta lainnya saat kemajuan jaman dan pembangunan nampak semakin melindas Yogyakarta dan warganya, saya mung trima mlumah, pasrah melihat bagaimana perkembangan kota ini kelak. Manut kersane Gusti Ingkang Maha Agung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun