Kembali kepada contoh bibit jeruk di atas.
Kita bertanya agak sedikit mendalam, 'Mengapa bibit jeruk selalu berbuah jeruk ?'. Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan menyajikan bukti bukti empiris, namun hanya bisa dijawab lewat kegiatan berfikir. Objek pemikirannyapun bukanlah jeruk yang empiris, tetapi jeruk yang abstrak atau jeruk pada umumnya (universal) Â atau konsep jeruk yang ada di dalam fikiran kita.
Dari kegiatan berfikir ini bisa muncul beragam jawaban, diantaranya ialah bahwa bibit jeruk berbuah jeruk karena ada hukum yang bekerja dan mengaturnya. Pengetahuan seperti ini, kita sebut pengetahuan filsafat. Kebenaran pengetahuan filsafat  hanya dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan tidak pernah dapat dibuktikan secara empiris. Jika dapat dibuktikan secara empiris, maka ia berubah menjadi pengetahuan sain.
Kita bertanya lebih jauh lagi, 'Siapa yang membuat hukum yang mengatur agar bibit jeruk berbuah jeruk ?'. Walaupun pertanyaan ini sulit, namun masih dapat dijawab oleh filsafat. Salah satu teori dalam filsafat  misalnya mengatakan bahwa hukum tersebut dibuat oleh alam sendiri secara kebetulan. Kita tidak akan membahas disini kelemahan kelemahan dari teori ini.
Teori lain menyebutkan bahwa hukum itu dibuat oleh Yang Maha Pintar. Kita menyebutnya Tuhan. Ini masih pengetahuan filsafat. Pengetahuan inipun benar, karena logis atau masuk akal. Logis disini dalam pengertian Suprarasional atau  melampaui batas batas rasionalitas.
ADIKODRATI
 Sebagian orang masih 'kepo' dan bertanya lebih tajam dan lebih menusuk. 'Kalau hukum itu dibuat oleh Tuhan, lalu siapa Tuhan itu ?. Kami ingin mengenalNya, kami ingin melihatNya, kami ingin belajar langsung kepadaNya'.
Pertanyaan orang orang 'kepo' Â ini tidak bisa dijawab oleh filsafat maupun sain karena objek yang ingin mereka ketahui bukanlah objek empiris dan tidak bisa dijangkau oleh akal rasional, tetapi ia adalah objek abstrak-suprarasional atau objek metarasional.
Menurut Prof. Ahmad, objek objek suprarasional itu dapat diketahui bukan dengan menggunakan pancaindra, bukan dengan akal rasional, namun dengan menggunakan rasa.
Pernyataannya ini selaras dengan pemikiran filsafati TKB yang menegaskan bahwa imperium rasa merupakan salah satu imperium yang  digunakan manusia dalam menangkap dan memahami fenomena atau peristiwa yang sedang terjadi . Bergson menyebut instrumen rasa ini sebagai intuisi, Kant menyebutnya moral , suara hati atau akal praktis.