Sebagai amanah dari Undang-Undang Nomor 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, pemerintah dalam hal ini Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi RI menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai peraturan pelaksana undang-undang, yang kemudian dibahas di dalam Rapat Pleno Diperluas PB IDI di Hotel Lumire tersebut.
MERUJUK AMAR KEPUTUSAN MK
Dengan ditolaknya judicial review PDUI oleh MK, tentu saja posisi IDI menjadi amat dilemmatis.
Di satu sisi IDI menolak DLP, namun di sisi lain - sebagai bagian dari komponen bangsa yang tunduk dan patuh kepada tatanan hukum di negara ini - IDI harus dapat menerima 'kekalahannya' dan wajib mematuhi keputusan MK yang 'dirasakan amat menyakitkan' itu.Â
Beberapa pertemuan dan rapat yang dilaksanakan bersama sama dengan pemerintah berjalan sangat alot.
Dari beberapa substansi pembahasan, substansi terkait dokter layanan primer (DLP) sempat terhenti karena IDI menolak substansi DLP yang dipandang bertentangan dengan konsep yang dibahas pada forum Muktamar IDI ke-29 tahun 2015.
Dalam surat PB IDI nomor 005246/PB/E.6/03/2016 yang ditujukan kepada Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi RI dinyatakan bahwa PB IDI menolak substansi pembahasan dan menarik diri dari pembahasan DLP.
Namun, pada akhirnya, IDI tampaknya dapat 'menerima' pembahasan DLP dengan 'beberapa catatan kritis' seperti yang ditunjukkan di dalam kajian terhadap draf RPP Pelaksanaan Dikdok yang dipresentasikan oleh Dr. Muhammad  Akbar Sp.S(K),Ph.D, Ketua Bidang Pendidikan PB IDI di dalam forum Rapat Pleno Diperluas itu.
Yang dimaksud dengan catatan kritis disini ialah bahwa IDI akan mengawal RPP Pelaksanaan Dikdok, khususnya yang terkait dengan DLP dengan merujuk kepada amar keputusan MK.
Lalu, hal hal apa saja yang harus dirujuk di dalam amar keputusan MK tersebut ?.
----------
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H