Sering orang salah paham mengenai puasa. Banyak orang yang beranggapan bahwa puasa hanya sekedar menahan makan dan minum saja. Pemahaman ini muncul karena banyak dari mereka hanya memandang puasa dari segi luar (dhahir)nya saja dan mereka banyak yang tidak mengetahui apa sebenarnya rahasia dan hakikat (Makna Batin) dibalik pensyariatan puasa serta syarat-syarat untuk memerolehnya.Hal ini sejalan dengan hadis yang disampaikan oleh Nabi
( )
"Banyak dari orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya merasakan lapar dan dahaga"
Puasa secara etimologi memiliki makna "menahan diri". Sedangkan secara tinjauan syariat, puasa adalah menahan diri dari memperoleh (makan, minum, melakukan) sesuatau yang dapat membatalkan puasa itu sendiri. Tentu dengan pengertian ini telah menjadi sah puasanya seseorang yang tidak makan dan minum serta telah melaksanakan syarat dan ketentuan dari puasa itu sendiri. Tapi apakah cukup hanya berhenti disini? Tentu saja tidak, pemahaman mengenai "menahan diri" ini harus kita perluas, tidak hanya urusan perut menahan dari makan dan minum saja tetapi juga meliputi menahan seluruh anggota badan untuk tidak berbuat dosa.
Memahami makna puasa dengan makna demikian --menahan seluruh anggota badan untuk tidak berbuat dosa- menjadikan kita naik tingkat dari yang awalnya memandang puasa hanya dari segi casing luarnya menjadi juga memerhatikan makna yang terkandung dalam puasa itu sendiri (makna batin). Untuk mempermudah dalam memperoleh makna bathin kami akan sajikan sedikit tips yang kami sarikan dari kitab Ihya' ulumi ad-din karya Ulama terkenal Al-Imam Al-Ghazali.
- Menahan dan mempersempit penglihatan dari melihat hal-hal yang dilarang dan dari melihat sesuatu yang dapat menyibukkan hati untuk terus memikirkan hal itu sampai lupa diri untuk mengingat Allah SWT. Karena semakin banyak melihat maka akan semakin banyak yang harus dipikir.
- Menjaga ucapan dari mengucapkan sesuatu yang tidak berguna, bohong, gibah, mengadu domba, mengolok-olok dan lain sebagaianya. Karena disebabkan hal ini maka puasa kita akan percuma. Pasalnya banyak hadis yang menerangkan bahwa perumpamaan orang yang gibah adalah seperti makan bangkai saudarnya. Jadi seakan-seakan orang itu berpuasa, menahan diri dari makanan halal tetapi, ia justru berbuka dengan memakan daging bangkai saudaranya. Bahkan, sebelum waktunya berbuka pula!. Mengerikan bukan?
- Mencegah pendengaran dari mendengarkan dan memerhatikan omongan-omongan yang dilarang, seperti gibah. Karena sejatinya orang yang menggibah dan orang yang mendengarkan itu hukumnya sama-sama berdosa.
- Mencegah seluruh anggota badan baik tangan atau kaki dari melakukan perbuatan yang dilarang maupun mencegah perut dari makan makanan yang syubhat tatkala ia berbuka. Maka tidaklah berfaidah puasanya jika melakukan hal itu. Perumpamaan orang tersebut adalah layaknya orang yang membangun rumah tetapi ia merobohkan seluruh kota.
- Tidak memperbanyak makan makanan halal saat berbuka. Karena "wadah paling dibenci oleh Allah adalah perut yang terisi penuh dengan makanan halal". Hal yang halal saja jika memenuhi perut termasuk sesuatu yang sangat dibenci Allah, apalagi jika perut dipenuhi makanan syubhat terlebih haram?. Karena apa faidahnya puasa, yang semula bertujuan untuk mengekang musuh Allah yakni Syaitan dan memecah syahwat jika pada akhirnya saat berbuka kita menghilangkan tujuan tersebut dengan memakan makanan yang berlebihan, seakan kita balas dendam karena sejak pagi hingga petang kita tidak makan?. Kita justru akan menghilangkan subtansi dari puasa itu sendiri karena semakin banyak makanan yang masuk kedalam perut kita maka nafsu kita akan semakin kuat. Dan hal yang juga sering terjadi pada kita  adalah saat selain Bulan Ramadhan makanan yang kita punya biasa-biasa saja --sekadar makanan pokok. Namun, pada saat Bulan Ramadhan banyak tersaji makanan diluar kebiasaan kita pada selain Bulan Ramadhan dimeja makan kita. seakan puasa menjadi ajang menghambur-hamburkan harta. Apakah hal itu pantas?.
- Hendaknya setelah berbuka hati kita menjadi semakin tergerak untuk takut (khauf) dan berharap (raja') kepada Allah. Karena kita tidak tahu apakah puasa kita diterima atau tidak? Dan hendaknya sikap ini selalu kita upayakan untuk muncul pada saat setiap kali kita selesai melaksanakan ibadah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H