Sepintas kedua kata tersebut terlihat sama. Namun, ternyata keduanya memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Meskipun tidak dapat dipungkiri, kedua kata tersebut masih  memiliki benang merah yang saling terhubung untuk mengikat objek yang sama yakni al-qur'an. Hampir disetiap kitab atau buku yang membahas tentang ulum al-qur'an tatkala membahas tentang qiraah sab'ah pasti juga akan membahas sab'ah ahruf.
Terdapat hadis Nabi yang mengatakan bahwa al-qur'an turun menggunakan tujuh huruf (sab'ah ahruf). berikut hadis yang dimaksud.
-- : -- -- :
Dari Ibnu Abbas r.a.: bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: Malaikat Jibril membacakan kepadaku (al-qur'an) dengan satu huruf, tetapi aku terus saja memintanya untuk memberikan tambahan. Sampai pada akhirnya dia menambahkan hingga tujuh huruf.
Dari hadis ini jelas bahwa al-qur'an diturunkan tidak dengan menggunakan satu huruf saja, melainkan hingga tujuh huruf. Faktor terbesar yang melatarbelakangi hal ini adalah karena Bangsa Arab memiliki banyak suku yang berbeda-beda. Terlebih lagi, masing-masing dari suku tersebut memiliki kosa kata tersendiri untuk menyebutkan satu benda yang sama. Tujuan terbesar mengapa al-qur'an diturunkan hingga tujuh huruf adalah untuk memfasilitasi dan mempermudah dari masing-masing suku tersebut  untuk bisa membaca al-qur'an sesuai dengan tuntunan Nabi. Karena memang kebiasaan mereka (menggunakan kosa kata berbeda pada satu objek benda) itu sudah tertanam kuat sehingga sulit untuk terlepas. Disisi lain, mereka diperintah untuk membaca al-qur'an sesuai dengan keadaan al-qur'an itu sendiri saat pertama kali diturukan (tidak boleh dirubah). Â
Dari uraian diatas kita sedikit banyak mengetahui apa yang dimaksud ahruf dalam hadis diatas. Maksud dari ahruf dalam hadis tersebut (menurut pendapat yang paling masyhur) adalah tujuh  kata yang berbeda (secara huruf yang membentuknya), namun makna yang dikandung sama. Contohnya adalah kata "berjalan" dalam surat al-baqarah ayat 2. Saat pertama kali turun ayat ini, kata "berjalan" digambarkan dengan kata yang berbeda-beda seperti )yang terdapat dalam mushaf sekarang), , .
Perlu diperhatikan pula, bahwa tujuh huruf tersebut bukan patokan resmi. Dalam artian, ketika suku Arab telah sepakat untuk mengungkapkan dengan satu kata bagi nama suatu benda maka al-qur'an hanya diturunkan dengan satu kata tersebut. Pun juga jika disepakati dua kata maka al-qur'an menurunkan dengan dua kata tersebut dan bagi setiap suku boleh untuk memilih diantara keduannya yang dirasa paling mudah. Begitu seterusnya hingga tujuh kata.
Namun, seiring dengan perkembangan islam di wilayah Arab juga telah banyak suku-suku di Arab yang sudah mengetahui karakteristik dari ragam Bahasa Arab, maka pada masa ke-khalifah-an Usman bin Affan ragam bahasa al-qur'an tersebut diseragamkan menjadi satu dengan menggunakan patokan bahasa Suku Quraisy, karena memang al-qur'an pada dasarnya turun dengan lisan mereka. Khalifah Usman membuat kebijakan pembukuan al-qu'an melalui tangan panitia penulisan al-qu'an (kuttab al-wahyi) dan mushaf yang dihasilkan bernama Mushaf Usmani (mushaf yang sekarang beredar).
Sementara qira'ah sab'ah itu baru muncul sekitar 200 hijriah atau pada masa tabi'in. dari sini saja sebenarnya tampak jelas bahwa sab'ah ahruf dengan qira'ah sab'ah itu berbeda jauh. Meskipun sudah tampak perbedaannya, kita akan mengkaji tentang qira'ah sab'ah.
Qira'ah adalah madzab atau cara yang ditempuh oleh imam qiraat yang berbeda dengan imam lainnya mengenai pelafalan al-qur'an. Perbedaan pelafalan yang dimaksud mengenai huruf maupun keadaannya (tebal tipisnya huruf, panjang pendeknya huruf dan sebagainya) atau dengan kata lain tidak menyangkut masalah pengungkapan beberapa  kata yang memiliki satu makna yang sama (sab'ah ahruf). sedangkan sab'ah adalah tujuh imam yang memiliki madzab atau cara bacaan yang berbeda antar satu imam dengan imam lainnya.
Istilah qira'ah sab'ah dipopulerkan oleh Abu Bakar Ahmad bin Musa bin Al Abbas atau lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Mujahid. Beliau mendedikasikan umurnya untuk meneliti ragam qiraat yang tersebar dan dibawa oleh para sahabat -dari Nabi Muhammad Saw- kepada para tabiin dengan sanad yang muttasil (bersambung). Beliau juga memilih ragam qiraat yang menurutnya dianggap paling valid sanad dan ke-shahihannya. Dari berbagai macam qiraat yang tersebar beliau hanya memilih tujuh ragam qiraat yang dirasa memiliki tingkat kevalidan paling tinggi. Tujuh qiraat tersebut adalah tujuh qiraat yang kita kenal sekarang ini. Seperti imam Nafi', Ibnu Katsir, Ibnu Amir, Abu Amr, Hafs, Hamzah, dan  Ali al-Kisa'i.
Rumusan Imam Ibnu Mujahid bahwa Imam qiraat itu ada tujuh, sebenarnya banyak ditentang oleh para ulama lain. Mereka menyayangkan Ibnu Mujahid hanya mengambil tujuh imam qiraat saja. Karena dengan tujuh imam qiraat ini, akan menimbulkan presfektif bahwa yang dimaksud dengan sab'ah ahruf (pada hadis diawal) adalah tujuh imam qira'at ini. Padahal hal itu salah besar, sab'ah ahruf yang dimaksud dalam hadis bukanlah tujuh imam qiraat yang sedang kita bahas ini.
Meskipun demikian, usaha Ibnu Mujahid mengumpulkan tujuh imam qiraat ini tidak bisa kita bilang salah. Pasalnya dibalik perumusan jumlah tujuh imam tersebut terselip sebuah hikmah salah satu contoh gampangnya adalah munculnya tulisan ini. Kita menjadi semakin tahu bahwa sab'ah ahruf bukanlah qira'ah sab'ah sebagaimana yang diasalahprespektifkan oleh sebagian orang. Proses mencarian tahu tersebut yang membuat kita terus belajar, belajar dan belajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H