Mohon tunggu...
Riki Hifni
Riki Hifni Mohon Tunggu... Freelancer - Seseorang yang mengagumi kata-kata

Lahir di Pasuruan

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Menggugah Kesadaran si Hijau dan si Biru dari Ilusi Batu Bara

27 Juli 2024   10:43 Diperbarui: 27 Juli 2024   10:46 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://snips.stockbit.com/investasi/perusahaan-tambang-di-bursa-efek-indonesia

Dengan adanya tanggapan positif dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terkait kebijakan pemerintah yang memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) batu bara kepada organisasi keagamaan, berbagai kritik pun muncul terhadap organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut. Salah satu bentuk kritik yang muncul adalah petisi di change.org dengan judul "Ketua PBNU: Kelola Energi Terbarukan Bukan Tambang Batu Bara." Petisi ini diluncurkan pada 5 Juni 2024, yang bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, dan telah mendapatkan 436 tanda tangan hingga artikel ini ditulis.

Dilain sisi, hal yang sama justru terjadi di Muhammadiyah. Saat ini, sebagian elit dari organisasi Islam tertua yang identik dengan bendera berwarna biru tersebut juga mulai tergiur dengan tawaran yang diberikan pemerintah terkait mengelola industri tambang batu bara. Reaksi negatif ini memicu perlawanan dari kalangan muda Muhammadiyah. Salah satu bentuk perlawanan tersebut diwujudkan melalui petisi dengan judul "Anak Muda Muhammadiyah Menolak Persyarikatan Terlibat Tambang." Hingga artikel ini ditulis, petisi ini telah memperoleh tanda tangan dari sekitar 400 orang.

Berbeda dengan Muhammadiyah, elit PBNU yang lebih dulu menerima tawaran pemerintah terkait tambang mendapatkan kritik keras dari masyarakat. Kritik di media sosial sangat tajam, hingga mengubah lambang NU. Ikon bumi pada lambang NU diganti dengan gambar alat berat untuk menambang. Selain itu, nama NU juga diubah menjadi UN, singkatan dari "Ulama Nambang." Warna hijau pada lambang NU pun diubah menjadi merah. Perubahan pada lambang NU ini menimbulkan kemarahan di kalangan tertentu. Kemarahan ini memicu seseorang untuk melaporkan pihak yang mengkritik NU ke polisi. Pelapor mengklaim bahwa tindakannya adalah bentuk kepeduliannya sebagai anggota NU sekaligus murid KH Sholahuddin Azmi, cucu pencipta lambang NU, KH Ridwan Abdullah. Namun, media kemudian mengungkap bahwa pelapor juga merupakan seorang calon legislatif dari partai yang mendukung Jokowi.

Akibat dari tindakan tersebut, muncullah pro dan kontra terhadap pelaporan ke polisi atas kritik terhadap NU. Namun, bila dicermati secara mendalam pelaporan ke pihak kepolisian atas dasar kritik terhadap diubahnya secara sengaja bendera NU tersebut menandai sekaligus menimbulkan pergeseran wacana secara masif.

Sebelumnya, diskusi terkait tambang untuk NU berfokus pada isu lingkungan hidup dan politik balas budi pasca Pilpres 2024. Namun, setelah adanya pelaporan ke polisi, fokus diskusi bergeser ke isu agama, yaitu pembelaan terhadap lambang NU. Apakah pergeseran wacana ini hanyalah sebuah kebetulan? Atau justru malah kesengajaan?

Untuk memahami pergeseran ini, kita bisa menggunakan perspektif Michel Foucault. Pemikir dan cendekiawan Prancis abad ke-20 ini menyatakan bahwa wacana berhubungan erat dengan kekuasaan dan pengetahuan. Ia juga berpendapat bahwa politik kepentingan dapat terbentuk melalui wacana. Politik kepentingan yang hadir dalam wacana tersebut dapat mempengaruhi sejauh mana ruang demokrasi menyempit atau meluas.

Dengan menggunakan perspektif Michel Foucault, kita dapat memahami bahwa pergeseran wacana dari isu lingkungan hidup dan politik ke isu agama dalam konteks tambang untuk NU tidaklah kebetulan. Perubahan wacana ini tampaknya telah direncanakan sejak awal dan kian menjadi sebuah rencana sempurna karena elit Muhammadiyah saat ini mulai memberikan lampu hijau untuk mengikuti langkah NU untuk terlibat dalam industri batu bara yang kontroversial.

Selama ini, pemerintah telah menggunakan narasi nasionalisme untuk membela industri batu bara yang berpolusi. Setiap kritik terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh tambang batu bara selalu dijawab dengan isu kedaulatan ekonomi dan politik. Namun, tampaknya pendekatan tersebut tidak lagi efektif, karena masyarakat lokal juga menjadi korban dari dampak negatif tambang batu bara.

Singkatnya, batu bara tidak hanya menimbulkan krisis iklim global tetapi juga menyebabkan kerusakan lingkungan di tingkat lokal. Masalah seperti krisis air, pencemaran udara, dan bentuk pencemaran lainnya tidak bisa dipisahkan dari aktivitas tambang batu bara. Oleh karena itu, narasi nasionalisme yang ada perlu diubah.

Menggunakan wacana agama sebagai pengganti narasi nasionalisme merupakan strategi untuk membersihkan reputasi buruk batu bara terkait dampak ekologinya. Terlebih lagi, masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan religius. Dalam konteks ini, penawaran pemerintah kepada organisasi keagamaan untuk mengelola tambang menjadi relevan.

Argumentasi pemerintah yang menyatakan bahwa tawaran kepada ormas agama untuk mengelola tambang bertujuan meningkatkan kesejahteraan umat sebenarnya merupakan upaya untuk menyembunyikan motif ekonomi-politik dan membersihkan reputasi buruk industri batu bara terkait dampak ekologinya. Dalam dunia bisnis, keuntungan menjadi prioritas utama, dan segala cara bisa ditempuh, termasuk memanfaatkan ormas keagamaan dengan narasi agama, sehingga pemerintah dan pengusaha dapat menutupi kerusakan ekologis yang disebabkan oleh tambang batu bara.

Dalam konteks NU misalnya, intelektual sekaliber Ulil Abshar Abdalla bahkan harus rela berperan menjadi juru bicara untuk menggeser isu perdebatan yang mengarah pada urusan tambang batu bara. Dengan menggunakan berbagai argumen yang diklaim sebagai fikih, Ulil membenarkan keputusan elit NU yang menerima tawaran pemerintah untuk mengelola tambang batu bara. Namun, sebagai seorang intelektual, Ulil Abshar Abdalla seharusnya menyadari dampak merusak dari tambang batu bara yang mengancam keselamatan manusia.

Ancaman terhadap keselamatan manusia muncul baik di tingkat lokal maupun global. Secara global, batu bara berkontribusi pada krisis iklim, yang menyebabkan bank-bank internasional mulai enggan memberikan kredit kepada industri yang merusak lingkungan tersebut.

Sejak 2022, beberapa bank mulai menghentikan pendanaan untuk industri batu bara yang berpolusi. Standard Chartered, salah satu bank terbesar di Inggris, telah menghentikan dukungan ke PT Adaro Energy Tbk (ADRO), perusahaan batu bara terbesar kedua di Indonesia. Langkah ini diikuti oleh DBS, bank terbesar di Singapura, serta Malayan Banking Berhad (Maybank) dari Malaysia, yang juga menghentikan pembiayaan untuk kegiatan tambang batu bara.

Selain untuk memenangkan perdebatan di media, penggunaan wacana agama juga bertujuan untuk membatasi ruang demokrasi. Dengan beralihnya fokus dari isu ekologi ke agama, ruang perdebatan menjadi semakin sempit. Penggunaan wacana agama akan dijadikan alat untuk membungkam pihak-pihak yang memiliki pendapat berbeda. Penyempitan ruang demokrasi ini akan didukung oleh pasal-pasal yang dapat diinterpretasikan secara luas, seperti tentang penistaan simbol-simbol keagamaan dan sejenisnya.

Pertanyaannya adalah, apakah publik akan tetap diam saat wacana agama digunakan untuk mendukung kepentingan elit ekonomi-politik yang memihak batu bara? Diharapkan, pada akhirnya publik akan bersuara menentang penggunaan wacana agama untuk melindungi kepentingan industri tambang batu bara ini.

Di berbagai tempat, kesadaran kolektif tentang perlunya menjaga lingkungan hidup semakin meningkat. Jika bank-bank besar dunia dapat didorong untuk lebih memperhatikan keberlanjutan lingkungan, maka seharusnya ormas keagamaan juga bisa diharapkan untuk mengambil sikap yang serupa.

Kesadaran akan bahaya kerusakan lingkungan akibat proyek tambang batu bara sudah seharusnya diperkuat dan semakin diperkokoh dengan adanya organisasi masyarakat seperti NU dan Muhammadiyah. Bukan tanpa alasan, sebab dua organisasi tersebut merupakan organisasi islam terbesar di Indonesia yang di dalamnya terdapat banyak harapan masyarakat agar dua organisasi tersebut dapat memberikan kemaslahatan bagi negeri. Kini, rakyat Indonesia, bukan hanya umat Islam, sedang menunggu masing-masing elit baik elit si "hijau" maupun si "biru" untuk segera siuman dan menyadari bahwa mereka saat ini sedang terancam menjadi tumbal industri tambang batu bara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun